Minggu, 02 Januari 2011

Sejarah bacaan Al qur'an di Tunisia

Sejarah bacaan Al qur'an di Tunisia

Bagi orang yang pernah plesir ke Tunisia atau pergi haji pasti akan mendengarkan bacaan masyarakat tersebut yang memiliki perbedaan pada umumnya. Secara garis besar variasi tersebut mengikuti bacaan nafi' yang meliputi dua perawi Qolun dan Warsy, berbeda dengan mayoritas orang yang menggunakan riwayat Hafs dari Asim.

Namun asal muasal kebudayaan islam di sana tidak berasal dari Tunisia melainkan Qoiruwan. Salah seorang prajurit muslim yang pertama kali menginjakkan kaki di tanah tersebut adalah Uqbah bin nafi' ( beliau lahir pada era nabi tapi menurut versi yang kuat tidak termasuk sahabat ). Pada tahun 50 H uqbah membangun kota ini untuk pertama kali yang di gunakan sebagai tempat persinggahan para prajurit saat Invasi. Pada saat ini ada beberapa nama yang termasuk pembaca Al Qur'an seperti Abu Mansur Al Farisi.

Sesudah Uqbah bin Nafi' datanglah Hassan bin Nu'man yang selanjutnya diikti Musa bin Nushair. Di tangannya mulailah beberapa terobosan baru yang tidak terkhusus pada Al qur'an. Namun perkembangan yang bagus terjadi pada masa Umar bin Abdul Aziz dimana beliau mengirimkan dua belas pengajar Al Qur'an, salah satunya bernama Ismail bin Abid Al Ansori pendiri masjid Al Qoiruwan.

Abad kedua menjadi masa keemasan karena di Qoiruwan muncul nama-nama hebat semisal bahlul bin Rasyid, Abdullah bin Abi Hasan, dan Muawiyah bin Shamadih. Sebagaimana halnya cendekiawan cendekiawan lain yang berkunjung ke Qoiruwan dan menyebarkan ilmunya di sana seperti Yahya bin Salam, Ibrahim Muhammad Al Syaibani dan Abu Sulaiman ( muridnya Al Kisa'i ).

Pada abad ketiga muncullah sekolahan yang diasuh Abi Abdillah Muhammad bin Umar Ibn Khoirun Al Andalusy yang selanjutnya diserahkan kepada Abu Bakr bin Saif dan ismail bin Abdillah Al Nahhas. Ibnu Khoirun kemudian mendirikan masjid di Qoiruwan, melalui masjid inilah bacaannya ( qira'at ) nafi' menjadi popular dan dikemudian hari menjadi bacaan resmi negara setelah Qodli Abu Abbas Abdullah bin Thalib memerintahkan Muhammad bin Burghuts Al Qorwy untuk tidak mengajarkan Al qur'an selain versi Nafi'.

Bisa disimpulkan Ibn Khoirunlah yang awal mulanya mempopulerkan riwayat Warsy dari Nafi melalui Thoriqoh dari riwayat Al Azroq. Variasi ini kemudian mendapat otoritas penuh dari Al qadli Abu Al Abbas Abdullah bin thalib yang memerintahkan Muhammad bin Burghuts hanya mengajarkan bacaan Nafi'.

Selain Ibnu Khairun ada satu nama lagi yang cukup popluer di kalangan para pengajar Al qur'an pada kurun waktu tersebut. Beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin sufyan al Qoiruwany Al Maliki yang namanya terkenal di pesisir Afrika utara. Banyak murid muridnya kemudian menjadi imam serta rujukan dalam wacana Al Qur'an seperti Al Husary, Ibnu Balimah, Atiq bin Ahmad.

Satu catatan penting yang diutarakan Ibn Al Jazari dalam " ghoyah al nihayah " nya, sebelum kedatangan Ibnu Khoirun ke Qoirwan masyarakat setempat lebih condong ke variasi hamzah yang notabene mengikuti aliran Kufah. Namun semenjak kedatangan Ibnu Khoirun hampir semua kaum muslim berbondong bondong menggunakan variasi Nafi' yang mencakup dua perawi, qolun dan Warsy. Bahkan bacaan Hamzah pun pada akhirnya tergeser di mata masyarakat sampai akhirnya pemerintah melakukan justifikasi dengan tidak mengajarkan Al qur'an selain versi Nafi'.

Membaca Al qur'an tidak hanya bernilai positif bagi pembaca yang bersangkutan namun juga melahirkan arah berbudaya masyarakat tersebut. Terkadang suatu ketika muncul pergeseran paradigma yang berimbas pada akulturasi dan terus berlangsung sampai sekarang.

Rabu, 08 Desember 2010

Studi beberapa variasi ayat Al qur'an terhadap hukum perdata ( al ahwal al syakhshiyyah )

prolog
Beberapa ayat al Qur'an yang berisi perintah, larangan atau kebijakan-kebijakan lain tersusun dengan menggunakan kalimat sederhana dan mudah dipahami. Syarat mutlak eksistensi kitab suci agar para pembaca memahami dengan jelas maksud maupun kandungan dalam mencari intisari sebuah ajaran meskipun hal ini tidak menafikan maksud lain yang dikodifikasi secara tersandi.

Beberapa bagian tersebut membahas hubungan antar manusia dengan bentuk khusus seperti pernikahan, warisan, dan hal-hal yang berhubungan dengan keduanya semisal talak, ruju', nafkah, pembagian harta gono gini dan lain sebagainya yang lazim dikenal dengan hukum perdata.

Ada kesulitan dari para ahli dimanapun dalam menentukan batasan-batasan tersebut secara tegas. Hal ini disebabkan karena asal muasal undang undang tersebut adalah memecahkan sengketa yang terjadi antara dua pihak. Tapi di sisi lain praktek yang terjadi seringkali melibatkan aspek lain seperti keuangan, nama baik seseorang, wakaf, baik yang menyangkut aturan dalam negeri atau praktek-praktek lain yang mengharuskan seseorang registrasi ke sebuah instansi.

Disinilah dilema tersebut yang sampai saat ini terus berputar. Di satu negara mungkin saja kasus uang khulu' masuk ke hukum keuangan karena memang bersinggungan langsung dengan uang bahkan menjadi salah satu bagian vital sebuah problem namun di negara lain bisa juga dikategorikan hukum perdata karena uang tersebut berakar dari perceraian antar suami istri yang menuntut suami menjatuhkan talak kepada istri atas uang kompensasi tersebut.

Mungkin akan sedikit bijak kalau kita menilik sumber primer kaum muslimin yang menjadi rujukan awal para ahli dalam membuat keputusan. Sebagaimana kita ketahui Al qur'an menyebutkan produk hukum yang terkadang satu kalimat memiliki perbedaan bacaan di antara para qari'. Seperti kalimat " واحدة " pada surat Al Nisa' ayat 3 dan 11. Sebagian orang membaca huruf ta' dengan nasab karena menjadi khabar " كان ". Versi ini juga menjadi standar bacaan yang berlaku di seluruh dunia pada saat ini dan diamini mayoritas kaum muslim. Namun kenyataannya ada perbedaan di antara cendekiawan muslim dengan di atas. Versi tersebut adalah bacaannya Abu Ja'far yang membaca ta' di atas dengan rafa'.

Meninjau beberapa variasi ayat di dalam hukum perdata
Kebanyakan produk hukum yang ada di dalam Al qur'an berada pada Surat Al Baqarah yang menjadi surat-surat Madaniyyah. Aturan perundangan yang ditujukan kepada kaum muslimin tersebut seringkali ayat-ayatnya memiliki variasi di antara para cendekiawan. Penetapan hukum di Madinah memang sangat tepat karena pada saat itu kondisi sosial politik relatif stabil dibandingkan Makkah. Sikap masyarakat Yatsrib yang terbuka terhadap masyarakat luar menjadikan ajaran Rasulullah lebih cepat berkembang sehingga tanpa tempo yang relatif panjang upaya membumikan pun tercapai.

1. Surat Al Baqoroh ayat 233
Pada ayat 233 yang berbunyi " لا تضار والدة بولدها " ada perbedaan Ulama' dalam memberi harakat ra' meskipun semuanya sepakat mentasydid dan memanjangkan mad. Ibnu Katsir, Abu Amr, Ya'qub membaca dengan rafa'. Sedangkan Nafi', Ibnu Amir, Asim, Hamzah, Kisai membaca dengan nasab. Perbedaan tersebut tejadi karena melihat adanya idgham pada ra' yang awal dengan yang kedua.

Ulama yang membaca rafa' mengasalkan kalimat tersebut dari dua ra' dengan membaca ra' pertama secara kasrah dan ra' kedua secara dlommah. Berbeda dengan golongan yang membaca nasab mengasalkan ra' pertama secara fathah dan ra' kedua secara sukun.

Versi pertama menetapkan kalimat tersebut adalah kata kerja dari tempo sekarang ( fi'il mudlori' ) yang menjadikan istri sebagai subyek. Secara kasar petikan ayat di atas bisa kita maknai " tidaklah seorang ibu mendapatkan dlarar ". Versi kedua hampir memiliki makna serupa dengan pertama akan tetapi ada makna lain yang berbeda dengan kalimat pertama yaitu larangan yang tersimpan dalam penggalan tersebut.

Seruan yang ditujukan pun mengarah ke dua personal berbeda. Tafsiran pertama menyerukan kepada ibu dan menghendaki pemahaman bahwa saat dia mendapatkan kemudlaratan dari ayah tidak boleh membalas perlakuan tersebut kepada anak. Dengan kata lain tindakan kriminal yang dilakukan kepada orang lain tidak boleh terjadi hanya karena orang tersebut telah mendapatkan perlakuan criminal dari orang lain.

Sedangkan sasaran versi kedua memiliki arti lain dari pendapat awal. Mereka ( Ulama'-Ulama' penafsir ) mengartikan seruan yang terkandung dalam kalimat tersebut berlaku kepada seorang suami. Dia tidak boleh melakukan kekerasan kepada istri yang bisa mengakibatkan istri tersebut mengabaikan kewajibannya dalam menyusui bayi maupun memberikan kasih sayang kepada anak.

Secara sekilas hampir tidak ada perbedaan mencolok diantara dua penafsiran di atas namun ada karakteristik hukum yang timbul dari keduanya semisal saat dihadapkan pada kasus seperti ini. Ada istri yang mengadu kepada hakim meminta cerai dari suaminya karena suami tersebut tidak memberi nafkah lahir kepadanya. Suami tersebut kemudian bersikukuh kepada hakim mengenai kelalaian istri tersebut yang tidak menyusui si bayi sehingga alasan dari pihak suami untuk tidak memberi nafkah bisa dikatakan logis.
Berpijak dari pendapat pertama maka sang Hakim tidak boleh membenarkan gugatan dari istri karena telah mengindahkan seruan Al Qur'an agar tidak melakukan dloror kepada bayi dan dari sini kita menyimpulkan bahwa sang suami menang. Namun bukan berarti sang suami lepas sepenuhnya dari tuntutan tersebut karena mungkin saja gugatan istri justru dimenangkan dengan memandang nash-nash lain yang menguatkan posisi istri.

Kasus tersebut sedikit berubah tatkala kita memandang tafsiran kedua. Si suami kalah dan si istri dimenangkan Hakim dalam tuntutannya berdasarkan ayat di atas yang menyeru kepada suami agar tidak melakukan tindakan salah seperti apapun kepada istri. Hal ini -sebagaimana di atas- juga bukan berarti menutup peluang suami untuk memenangkan kasusnya, mungkin saja ada peluang untuk menang dengan menimbang dalil-dalil lain yang melarang seorang istri melalaikan kewajibannya sehingga hal itu berbuntut kepada tindakan suami.

Poin penting dari pemahaman di atas adalah larangan melakukan dloror kepada orang lain meskipun secara keseluruhan penulis lebih memilih tafsiran pertama. Namun bukan berarti penulis tidak setuju secara mutlak dengan tafsiran kedua. Ada kalanya alasan yang diutarakan suami jauh lebih tepat daripada tuntutan yang diungkapkan istri, semua kembali kepada kebijaksanaan Hakim dalam menanggapi dua bagian tersebut. Hakim harus di tuntut hati-hati dalam menimbang dan menilai masalah. Pun tidak lupa efek dloror yang diterima kedua belah pihak agar tidak terjadi kesenjangan dalam memutuskan masalah.

2. Surat Al Baqarah ayat 229
Penggalan ayat lain yang memiliki perbedaan bacaan adalah ayat 229. Secara khusus potongan tersebut berbunyi :

ولا يحل لكم أن تأخذوا مما آتيتموهن شيأ إلا أن يخافا أن لا يقيما حدود الله

Titik konsentrasi perbedaan tersebut ada pada kalimat " إلا أن يخافا " yang ya' nya dibaca dengan menggunakan mabni ma'lum ( kata kerja aktif ) dan kalimat sesudahnya yang berbunyi " أن لا يقيما " menjadi maf'ul bih. Susunan ini memberi makna bahwa khouf ( ketakutan ) yang memperbolehkan seorang laki-laki untuk menerima harta dari istri adalah saat hal tersebut keluar dari dua belah pihak. Dengan makna lain sang suami takut tidak menunaikan kewajibannya sehingga sang istri kemudian menderita begitu juga sebaliknya sang istri takut melanggar kewajiban yang diembannya sehingga memberi tebusan kepada suami sebagai talak yang dijatuhkan kepadannya.

Sebagian Ulama' lain seperti Hamzah, Abu Ja'far dan Ya'qub membaca dengan kalimat " يخافا " ya' nya terbaca dengan mabni majhul dan kalimat sesudahnya menjadi penguat kalimat sebelumnya. Penggalan kaliamat ini hampir sama dengan makna di atas bahwa sebuah tebusan yang di terima seorang suami dari istri sebagai talak adalah saat keduanya takut dalam melalaikan tugas masing-masing.

Tidak ada perbedaan mencolok di antara kedua peafsiran di atas. Semua bacaan tersebut mengharuskan adanya khouf saat seorang istri meminta talak kepada suami. Perbedaan yang mendasar adalah tafsiran pertama menghendaki suami istri tersebut sebagai subyek yang sedang mengalami ketakutan dalam menjalankan perintah Allah sedangkan tafsiran yang kedua memberi artian bahwa pensyaratan wujudul khouf berasal dari Allah yang diberikan kepada mereka berdua saat keduanya takut dalam menjalankan amanat Allah.

Memang benar tidak ada perbedaan yang mencolok di antara dua penafsiran di atas tetapi hal yang perlu di ingat adalah penafsiran tersebut memiliki perbedaan dalam mengambil sebuah hukum saat kalimat tersebut bersinggungan dengan kalimat pengecualian yang jatuh sebelumnya yaitu " إلا ".

Dalam gramatikal arab kalimat tersebut dikenal dengan istilah istitsna'. Kalimat pengecualian tersebut memiliki dua macam, muttasil dan munfasil. Pengertian yang pertama adalah sebuah susunan kalimat pengecualian dengan memasukkan kalimat yang dikecualikan ( mustatsna / mustatsna alaih ) sebagai bagian dari yang mengecualikan ( mustatsna minhu ). Sedangkan pemahaman yang kedua adalah susunan pengcualian dengan tidak memasukkan kalimat yang dikecualikan ( mustatsna / mustatsna alaih ) sebagai bagian dari kalimat kalimat yang mengecualikan ( mustatsna minhu ).

Diferensiasi ini kemudian mengakibatkan perbedaan pemahaman dalam menetapkan khulu', apakah poin tersebut harus terjadi saat dua pasutri tersebut dalam keadaan takut ataukah cukup dengan perasaan takut yang lahir pada salah satunya atau mungkinkah tanpa ada perasaan takut seorang istri boleh memberikan harta kepada suaminya sebagai tebusan atas talak yang diterimanya. Al Azhary, Al Nakho'i dan Daud Al Dlohiri berpendapat bahwa harus ada rasa ketakutan yang timbul pada diri seorang istri sehingga perasaan tersebut menyebabkan keinginan yang kuat dari dalam dirinya untuk berpisah. Sedangkan sebagian besar Fuqaha' menyatakan tidak ada keharusan bagi seorang istri akan hal hal tersebut. Jadi manakala ada keinginan kuat dari dalam dirinya, syara' membuka pintu selebarnya untuk berpisah. Mereka menegaskan pada firman Allah yang lain

فإن طبن لكم عن شيئ منه نفسا فكلوه هنيئا مريئا

3. Surat Al Baqarah ayat 240
Ayat tersebut berbunyi :

والذين يتوفون منكم ويذرون أزواجا وصية لأزواجهم متاعا إلى الحول غير إخراج

Kalimat " وصية " di atas punya dua variasi bacaan. Sebagian orang membaca dengan rafa', dan sebagian lagi dengan nasab. Bagi orang yang membaca rafa' ada beberapa i'rob yang memungkinkan pada kalimat tersebut. Pertama, kalimat " وصية " menjadi mubtada' dan " لأزواجهم " khobar. Secara umum memang status subyek bersifat khusus seperti contoh " Muhammad pergi ke pasar " namun ada juga kasus-kasus tertentu yang memperbolehkan subyek berasal dari kalimat-kalimat umum dengan maksud dan tujuan tujuan tertentu, dalam ayat di atas adalah menjadikan wasiat hanya khusus pada pasangan hidup mereka. Kedua, kalimat " وصية " menjadi mubtada' dan khobarnya terbuang. Konsep seperti ini banyak digunakan di susunan bahasa manapun bahkan bahasa Indonesia sekalipun. Salah satu contoh kongkret semisal ada pertanyaan dari seorang guru " siapakah yang absen pada hari ini ? ", si murid cukup menjawab satu nama yang absen seperti " Soleh ". Toh semestinya jawaban yang komplit adalah " soleh yang absen ". Tentu saja penghapusan seperti ini harus ada kepahaman dari dua belah pihak agar semuanya sama-sama mengetahui maksud dan tujuan ucapan yang diungkapkan. Ketiga, kalimat " وصية " menjadi khobar dari mubtada yang dihilangkan. Poin ini sama dengan poin kedua hanya saja penghapusan yang terjadi di sini adalah subyek, berbeda dengan kedua yang mengalami penghapusan pada prediket. Penghilangan ini dalam bahasa Indonesia sebagaimana jawaban seseorang yang cukup dengan " di pasar " saat diberi pertanyaan " dimanakah Muhammad ? " karena pada dasarnya asal mula jawaban tersebut berupa " Muhammad ada di pasar ". Berhubung yang ditanya sudah mafhum dengan pertanyaan maka lontaran jawaban pun juga sudah cukup tanpa menggunakan Muhammad.

Masih ada alasan alasan lain mengenai kemungkinan penulisan harakat pada kalimat tersebut selain tiga macam di atas. Namun tampaknya tiga i'rob di atas sudah cukup menjawab kebingungan yang terjadi manakala kita memaknai secara harfiah susunan kalimat pada ayat di atas karena sisi yang paling penting dari sini adalah memahami makna dengan menyeluruh.

Ayat 240 dari surat Al Baqarah memiliki pembahasan yang panjang seputar hukum. Sebagian besar orang menyatakan ayat tersebut dimansukh dengan ayat 234 dari surat yang sama. Mereka menyatakan bahwa praktek tersebut adalah kebiasaan yang dianut masyarakat Jahiliyah dan sempat dipakai pada masa awal umat islam. Berhubung ada ayat lain yang berbeda dengan ayat tersebut yang kedudukannya menghilangkan konsepsi tradisi maka mereka kemudian memilih ayat 240 untuk dinonaktifkan pemakaiannya meskipun sebenarnya masih ada jalan lain untuk menggabungkan dua dalil tersebut dengan mengarahkan maksud masing masing kea rah yang berbeda.

Selain itu, para Ulama jug memiliki pandangan yang berbeda mengenai makna wasiat. Sebagian orang menganggap makna tersebut adalah harta dan nafkah selama setahun, sebagian yang lain menafsiri dengan memberi tempat tinggal selama setahun. Berangkat dari kalimat " إلى الحول " kiranya kedua pemahaman tersebut bisa saja masuk kedalam keumuman yang terkandung pada kalimat " حول " atau dengan kata lain kata haul yang ditulis tanpa qoyyid memberi pemahaman secara umum yang akan memasukkan dua maksud di atas.

Walaupun penggalan ayat ini berimplikasi terhadap hukum yang memiliki perbedaan di antara para Ulama' hampir kesemua hukum tersebut tidak ada yang berasal dari i'rob pada kalimat " وصية ". Karena tujuan utama kalimat tersebut adalah mewajibkan wasiat ( sesuai penafsiran di atas ) pada istri mereka saat suami mereka meninggal selama satu tahun meskipun ada perbedaan harfiyah pada salah satu kalimat tersebut.

4. Surat Al Baqoroh ayat 236 dan 237
Ayat 236 dan 237 adalah dua ayat berbeda yang memiliki hubungan erat di antara keduanya. Ayat pertama ( Al Baqarah 236 ) menyiratkan secara umum kebolehan seorang suami terhadap istri selama belum disetubuhi meskipun suami tersebut tidak menyebut mahar pada saat akad. Keterangan ini seakan menjelaskan larangan Rasulullah atas menikah yang hanya didasari dengan mengikuti hawa nafsu bahwa menikah yang dianjurkan adalah menikah dengan niat baik meskipun seorang lelaki setelah menikah akan melakukan larangan yang tidak diperbolehkan sebelumnya namun sah setelah menikah, bahkan hukum tersebut diperbolehkan secara mutlak ( baik si istri belum atau menerima mahar ).

Ayat kedua menerangkan tentang status mahar yang disebutkan si suami secara jelas pada waktu akad. Pada kasus ini saat suami mentalak istri dan belum pernah menggauli sama sekali ada aturan khusus menganai batasan mahar yang boleh diambil suami. Batasan tersebut adalah setengah dari jumlah keseluruhan mahar. Jadi si suami tidak boleh mengambil lebih banyak dari setengah seperti dua pertiga, tiga perempat, empat perlima kecuali si istri merelakan pengambilan tersebut.

Pada dua ayat ini ada kalimat yang memiliki perbedaan di antara para cendekiawan. Kalimat tersebut adalah " تمسوهن " yang dibaca Hamzah dan Ali Al kisa'i dengan " تماسوهن ". Padanan ini merujuk pada kalimat " مفاعلة " yang memiliki makna asal muthowa'ah, yaitu sebuah kegiatan yang dilakukan seseorang dan mendapat respon serta balasan dari orang lain.

Kelemahan bacaan mayoritas adalah kalimat tersebut menunjuk kepada perbuatan yang dilakukan satu orang, padahal aktifitas hubungan sumi istri dilakukan oleh kedua belah pihak sehingga kalau kalimat tersebut dipaksakan maka akan merubah makna asli menjadi metafora.

Kelemahan lain adalah implikasi terhadap hukum karena secara nalar tidak mungkin syara' menangguhkan hukum iddah hanya kepada menyentuh sedangkan sentuh menyentuh adalah sebuah keniscayaan yang tidak mungkin dihilangkan. Karena hal tersebut maka upaya memaknainya harus dengan melarikan makna asal ke makna yang yang mirip yaitu hubungan suami istri.

Bacaan Hamzah yang berupa " تماسوهن " memang cukup pas dengan konteks iddah yang diterima wanita sesudah talak meskipun tidak secara penuh karena kalimat tersebut tidak mengalami perubahan secara frontal. Perubahan tersebut hanya berkutat seputar perbuatan yang dilakukan satu orang menjadi dua orang atau beberapa orang dan tidak merubah makna asal kecuali kalimat tersebut dijadikan kalimat majas.

Hampir semua kalimat " تمسوهن " memiliki versi lain di semua ayat Al qur'an, satu contoh lain seperti pada surat Al Ahzab ayat 49

ياأيها الذين آمنوا إذا نكحتم المؤمنات ثم طلقتموهن من قبل أن تمسوهن

Pada surat Ahzab tersebut Hamzah dan Kisa'i juga membaca dengan panjang sesudah huruf mim. Persamaan yang ada di surat-surat lain juga sebagaimana yang terdapat pada surat Al Baqarah bahwa perbedaan bacaan tidak menyebabkan perbedaan hukum kecuali pada ayat tersebut mengalami naskh atau di jelaskan dengan ayat-ayat lain.

Pandangan Ulama' pada surat Al Baqarah ayat 236 justru terletak pada kalimat sesudahnya yaitu " ومتعوهن ", ada kontroversi seputar dalalah pada kalimat tersebut. Sebagian orang menilai bahwa pemberian mut'ah adalah wajib karena melihat makna asal sebuah perintah. Alasan lain adalah kalimat-kalimat sesudahnya yang berbunyi " على الموسع قدره وعلى المقتر قدره ", maksudnya yaitu setiap orang mempunyai kadar masing-masing yang disesuaikan dengan kemampuan mereka sendiri baik orang tersebut kaya atau miskin. Sebagian yang lain menyatakan bahwa pemberian tersebut tidak wajib dan secara otomatis tentu saja makna dari perintah tersebut adalah sunnah atau nadb. Mereka mendasarkan argumennya pada kalimat yang jatuh sesudahnya yaitu " حقا على المحسنين ".

5.Surat Al Nisa' ayat 12
Al qur'an memisahkan harta wasiat dan harta warisan. Persamaan dari keduanya adalah harta tersebut berasal dari si mayit yang diberikan setelah mayit tersebut meninggal. Perbedaannya adalah harta wasiat diperuntukkan kepada selain ahli waris sedangkan harta warisan hanya dikhususkan kepada ahli waris. Ayat ini menerangkan bagian warisan yang diterima ahli waris dari mayit setelah pembagian harta wasiat.

Titik fokus yang menjadi konsentrasi pembahasan ini adalah frase

فإن كان رجل يورث كلالة أة امرأة وله أخ أو أخت

Salah satu perhatian penting pada kalimat tersebut adalah " يورث " yang dibaca mayoritas dengan pasif ( mabni majhul ). Pada versi ini minimal ada dua makna yang keluar dari sini. Perbedaan versi tersebut terjadi karena perbedaan makna kalalah di kalangan para ahli yang memberi penafsiran kalimat tersebut dengan harta maupun mereka yang memaknainya dengan individu. Hal yang sama juga terjadi saat " يورث " dibaca dengan aktif ( mabni ma'lum ).

Yang dimaksud saudara laki laki atau saudara perempuan pada barisan di atas adalah saudara seibu. Pengambilan makna ini bukan tanpa sebab, para penafsir memiliki kecocokan dengan bacaan salah satu sahabat Nabi Ubay bin Kaab dengan versi

وله أخ أو أخت من الأم

Variasi sama juga terjadi pada bacaannya Saad bin Abi Waqqash yang berbunyi

وله أخ أو أخت من أم

Berangkat dari bacaan asing sebagaimana di atas Abi Hayyan kemudian mendakwa Ijma' dari para mufassirun tentang makna saudara laki-laki/saudara perempuan. Hal senada tentang pendakwaan tersebut juga berasal dari cendekiawan lain yang menutup penafsiran selain dari saudara seibu.

Hal ini bukan berarti memberi pemahaman bahwa qiraat syadz bisa menjadi rujukan secara mutlak karena hal ini akan bertentangan dengan tipologi Al Qur'an itu sendiri. Namun bacaan tersebut memiliki peran layaknya hadis nabawi yang menjelaskan keumuman kalimat Al Qur'an dengan menambahkan potongan kalimat lain sehingga maksud tertentu frase tersebut menjadi lebih jelas.

Karena kedudukannya yang seperti hadis ahad pada beberapa kasus tidak semua sarjana muslim sepakat pada dengan maksud sebuah ayat yang memiliki penambahan atau perubahan tersebut. Terkadang mereka memilih keumuman ayat yang jauh lebih fleksibel dengan maksud dan kehendak sang penafsir sendiri. Sebagian lagi lebih memilih dalil lain sebagai tempat berpijak mengingat kemungkinan dalil tersebut lebih kuat menurutnya.

Perbedaan pengambilan hukum tersebut selain potongan surat Al Nisa' ayat 12 di atas. Semua Ulama' sepakat maksud dari " وله أخ أو أخت " adalah saudara seibu dengan mengambil pemahaman tersebut dari bacaan-bacaan asing versi Ubay dan Saad. Bacaan tersebut dimasukkan hadis ahad yang hanya digunakan saat tidak penjelasan ayat Al qur'an yang mutawatir maupun hadis Nabawi mutawatir dan Msyhur. Sebuah alasan logis mengingat bacaan asing tersebut bisa jadi hanya pendapat mereka sendiri yang tidak diasalkan dari sabda Nabi.

Epilog
Hukum perdata dalam alam sadar masyarakat Indonesia memiliki pemahaman muamalah secara umum, namun hukum perdata pada tulisan ini hanya dikonsentrasikan pada hubungan suami istri dan permasalahan permasalahan yang berhubungan dengan keduannya. Penyebabnya adalah terbatasnya terma akhwal syakhsiyyah pada hal hal tertentu yang menyebabkan konsep tersebut sedikit mengecil dibandingkan dengan fakta yang terjadi di Indonesia.

Ada banyak ayat yang bersinggungan dengan hukum perdata dan memiliki variasi kalimat selain ayat ayat di atas. Perubahan kalimat yang terjadi pada ayat tersebut tidak hanya i'rob namun juga asal derivatif kalimat tersebut, seperti kalimat " العفو " ( Al baqarah : 215 ) yang dibaca rafa' dan nasab, kalimat " يطهرن " ( Al Baqarah : 222 ) yang tho' nya di sukun dan tasydid, kalimat " كرها " ( Al Nisa' : 19 ) yang kaf nya di fathah dan di dlommah, kalimat " أحصن " ( Al Nisa' : 25 ) yang dipakai secara aktif dan pasif, kalimat " تساءلون " yang sin nya di tasydid maupun tidak, kalimat " الأرحام " yang mim nya di fathah maupun di kasrah ( dua ayat terakhir terletak di surat Al Nisa' : 1 ), dan masih banyak lagi kalimat-kalimat lain yang tidak mungkin disebutkan secara menyeluruh.

Variasi kalimat yang disebutkan di atas banyak juga yang menyebabkan lahirnya perbedaan deskripsi. Tetapi kenyataannya semua perbedaan tersebut sama sekali tidak menimbulkan perbedaan pemahaman sehingga hukum yang lahir pun memiliki makna yang tidak sama. Surat Al Baqarah ayat 233 memiliki perbedaan kalimat yang berimplikasi pada perbedaan gambaran di sebuah ayat, namun hal tersebut sama sekali tidak menimbulkan perbedaan hukum sehingga poin hukum tersebut pun tetap. Surat Al Baqarah ayat 229 perbedaan hukum pada salah satu kalimatnya yang mengakar dari kalimat " إلا " dengan menggolongkan kata tersebut ke " متصل " atau " منقطع ". Surat Al Baqarah ayat 240 yang melahirkan ide ide beragam dari sebagian besar cendekiawan memiliki variasi pada salah satu ayatnya, namun ide tersebut bukan menjadi sebuah konsekuensi dari variasi ayat meskipun kalimat yang bersangkutan memiliki efek besar terhadap pemahaman ayat, hal sama juga terjadi pada ayat 236/237. Bahkan bacaan syadz sekalipun pada kasus warisan tidak memberi pengaruh terhadap perbedaan terminologi yang menyebabkan hukum berbeda, justru dengan melihat kasus di atas posisinya tidak lain hanyalah penjelas dari mutawatir.

Kamis, 29 April 2010

النظرية العامة في الخطبة

الحمد لله الذي عم الإنسان في العالم بالتناسل وجعل النكاح سبيل كل مسلم طريقة التسلسل والصلاة والسلام على محمد صلى الله عليه وسلم الذي سن بتشريع الزواج أسوة حسنة لمن كان يرجوا الله واليوم الأخر وذكر الله كثيرا وعلى أله وصحبه أجمعين
الخطبة هي مقدمة للزواج ويختلف شكلها بحسب اختلاف المواطن والثقافة ومنها ما اعتاد بعض الناس تقديمها من قراءة الفاتحة للدلالة على التراضي به وحصول الوعد به من الجانبين وقبول كل منهما هدابا الأخر وقبول الزوجة أو وليها المهر كله أو بعضه
وقد وردت عبارات متنوعة عند علماء السلف في تعريف الخطبة. ففي المذهب الحخنفية "والثاني أن أصل الخطبة من الخطاب الذي هو الكتاب يقال خطب المرأة خطبة لأنه خاطب في عقد النكاح وخطب خطبة أي خاطب بالزجر و الوعظ والخطب الأمر العظيم لأنه يحتاج فيه إلى خطاب كثير كذا ذكره الإمام الرازي أطلقها فشمل المعتدة عن طلاق بنوعيه وعن وفاة وعن عتق وعن غير ذلك ولم أره صريحا وعلم منه حرمة خطبة المنكوحة بلأولى وتحرم تصريحا وتعريضا كما في البدائع" وقد جاء أيضا في فقه المالكية "الخطبة بكسر الخاء قال في التوضيح عبارة عن استدعاء النكاح وما يجري من المجاورة" ووجد في فقه الشافعية "تستحب الخطبة بكسر الخاء وهي التماس النكاح لأنه صلى الله عليه وسلم خطب عائشة بنت أبي بكر وخطب حفصة بنت عمر رواها البخاري" وكذالك ما في كتب الحنابلة "خطبة ( بالكسر )وخطبة ( بالضم ) الفرق بينهما: أن الخُطبة هي الكلمة التي يخطب بها الخطيب، مثل خطبة الجمعة، والخِطبة بكسر الخاء هي طلب التزوج من المرأة، قال الله تعالى ولا جناح عليكم فيما عرضتم به من خطبة النساء"
وبالنظر إلى ما ورد في تعاريف المذكورة يمكن أن يتحد صفتها بأن يطلب الرجل أو وكيله أو وصيه إذا كان قاصرا إلى ذوي فتاة أو سيدة التزوج بها ويكون التماس الزواج من جهة المخطوبة بكل ما يستدعي النكاح من الفاظ وإن لم تكن مصاغة من اسلوب الخطب. والخطبة أن يكن بالتصريح والتعريض
و مهما اختلفوا في التعبير عن ماهية الخطبة اتفقوا في العناصر المتعلقة الذي يعقد بعدها وهي تسمى أيضا بالشروط .وأما شروط صحة الخطبة عند المسلمين:
1. أن تكون المراة محلا للزواج بحيث لا تكون محرمة على الخاطب لا حرمة مؤبدة ولا تكون محرمة مؤقتة
2. ألا تكون المخطوبة معتدة من طلاق رجعي لا بطريق التصريح ولا بطريق التعريض. أما إذا كانت معتدة عدة وفاة فيجوز خطبتها تلميحا لا تصريحا مصداقا لقوله تعالى "ولا جناح عليكم فيما عرضتم به من خطبة النساء"
3. أن لا تكون المخطوبة قد سبق غيره غلى خطبتها لقوله صلى الله عليه وسلم "لا يخطب أحدكم على خطبة أخيه"
4. أن تتلقى المخطوبة أو ذووها الخطبة بالقبول
والخطبة ما دامت مقدمة للعقد ليست عقدا فهي عند المسلمين ليس لها إجراءات دينية في كثير من البلاد الإسلامية. وإنما في لبنان بعد الخطبة وقبل إجراء الزواج من استيفاء الإجراءات الشكلية القانونية التي بينتها المواد من 1 إلى 13 من قرار وحقوق العائلة. وهذه الإجراءات هي:
1. أن يتقدم الخاطبان بإفادة من مختار المحلة التي يقيمان فيها تسمى شهادة مختار
2. أن يتقدم الخاطبان إلى طبيب يعينه القاضي لفحصهما وبيان ما إذا كان كلاهما أو أحدهما لديه مانع صحي أعطاهما الطيب المكلف شهادة بسلامتهما من الأمراض السرية وأهليتهما للزواج
3. أخذ موافقة الولي بالنسبة للمخطوبة إذا كانت بكرا أما إذا كانت ثيبا فموافقة الولي أمر شكلي عملا بحديث "الأيم أحق بنفسها من وليها والبكر يزوجها أبوها". مفهوم الحديث انه إذا لم يكن للبكر أب قام مقامه أحد العصبة يقدم في ذلك الأقرب فلأقرب للفتاة المخطوبة
4. بعد استيفاء هذه الإجراءات يعلن عن الزوج بين الخاطبين إباحة المحكمة مدة عشرة أيام لبيان ما إذا كان ثمة معترض على عقد هذا الزواج فإذا لم يتقدم أحد باعتراض أعطت المحكمة إذنا بإجراء عقد الزوج بين الخاطبين وعينت أحد موظفيها أو رجلا من خارجها ليقوم بتنظيم العقد. أما إذا حصل اعتراض من ولي المخطوبة أو من سواه يكلف الخاطب و المخطوبة أو المعترض أن يحضروا جميعا امام المحكمة حيث تستمع إلى مختلف وجهات النظر ثم تصدر قرارها إما برفض الإعتراض والإذن بالعقد ولا بد للمحكمة في الحالتين معا أن يكون قرارها معللا
فلما كانت تلك الشروط لم يستوف عليها إلا المسلمون لم تطبق تلك الشروط إلا عليهم وعلى ذلك لزم الشروط الأخرى على أهل الأديان من المسيحيين والإسرائيليين
فأما الشروط لصحة انعقاد الخطبة عند المسيحيين في لبنان من كاثوليك وأرثوذكس , فهي:
1. رضى المتبادل بين الخاطبين او من يقوم مقامهما من ولي أو وكيل
2. أن يكون الخاطبان اهلا للزواج
3 أن لا يوجد مانع من موانع الزواج مثل الإختلاف في الإختلاف في الدين أو القريبات المحرمات
4. أن يكون الخاطبان خاليين من المراض السارية
5. تقديم العربون أو خاتم الخطبة وتوابعه وهو ما يسمى عند المسلمين ( علامة )
6. تحديد موعد مقبل للزواج وفي حال إغفاله غايته سنة واحدة من تاريخ الخطبة إذا كان الخاطبان تابعين لأبرشية واحدة وإلا فالحد الأقصى سنتان لغير المقيمين بأبرشية واحدة
وبالنسبة للطائفة الإنجلية فإن قانون الأحوال الشخصية الخاص بها يشرط :
1. أن تتم بالرضى المتبادل بتمام الحرية بين الخاطبين
2. أن تجري بوصفها عقدا دينيا أمام السلطة الروحية المختصة
3. أن تسجل لدى هذه السلطة في سجلاتها الرسمية
4. ان يكون الخاطب قد أتم السابعة عشرة من عمره والمخطوبة الخامسة عشرة
وأما الخطبة عند الطائفة الإسرائيلية فهي محصورة بالمواد الواردة في النشرة القضائية من ص 369 إلى 427, وخلاصتها ان الخطبة عند الإسرائيلين عبارة عن عقد يتفق به المخاطبان على ان يتزوجا بعضهم شرعا في أجل مسمى بمهر مقدور وبشروط يتفق عليها
العدول عن الخطبة والتعويض
ليست الخطبة عقدا يلتزم فيه الطرفان قبل بضها بالإلتزامات لها قوة الإلتزام وغاية ما يمكن أن يقال في الخطبة إذا تمت انها وعد بعقد. ولكل من الطرفين العدول عن هذا الوعد وعدم المضي في إبرام عقد الزواج وهذا محل اتفاق بين الفقهاء لأن القول بغيره يترتب عليه ان الزواج قد ينعقد في احيان بدون رضاء الطرفين أو أحدهما وليس هذا شأن عقد الزواج لما له من خطر والمصلحة توجب اعطاء كل من الطرفين التحللمن الخطبة اذا وجد ما يدعوا لذلك ولكن الحكم فيما يكون قد قدم من المهر أو الهدايا ؟ إذا كام الخاطب قدم لمخطوبته المهر أوجزأ منه وحصل عدول عن الخطبة فله أن يسترد ما دفع على أنه مهر لأن المهر من أحكام عقد الزواج والزواج لم يتم فكان له أن يسترد ما دفع بهذه الصفة, وعلى ذلك فهو يسترد عين ما دفع إن كان قائما بعينه فإن لم يكن قائما بعينه فإنه يسترد مثله ان كن مثليا وقيمته ان كان قيميا
وإذا قدم أحد الطرفين للأخر هدايا حال الخطبة وعدل عنها فإن هذه الهدايا تأخذ حكم الهدية و ذالك كلام مختلف فيه عند الفقهاء فمذهب الحنفية على ان الهبة يجوز الرجوع فيها إلا لمانع من موانع الرجوع في الهبة وموانع الرجوع أقسام ( 1 ) زيادة الموهوب ( 2 )موت أحد الطرفين ( 3 ) العوض عن الهبة ( 4 ) خروج الموهوب عن ملك الموهوب له ( 5 ) الزوجية القائمة بين الواهب والموهوب له وقت الهبة ( 6 ) القرابة المحرمية بينهما ( 7 ) هلاك العين الموهوبة له.
وجمهور الفقهاء على انه لا يجوز الرجوع في الهبة بعد قبضها لكن بعضهم خالف في حكم الهدايا في الزواج, فلمالك تفصيل فإن كان شرط متبع عمل بالشرط أوالعرف لأن المعروف عرفا كالمشروط شرطا وإذا لم يوجد فإن كان العدول من جهة الخاطب فلا يسترد من المخطوبة ما أهداه إليها وإن كان قائما بعينه لديها, فإن كان العدول من جهتها فإنه يسترد ما أهداها بعينه وقيمته أومثله إن هلك أواستهلك.
وهل يستوجب هذا العدول التعويض إذا لحق الأخر ضرر ؟ قد تكون الخطبة موظفة واستقالت بسبب الخطبة لكي تستعد للزواج بالخاطب فهل يحكم بتعويض عن الإضرار في هذه الحالة وأمثالها أم لا ؟ إن الخطبة ليست عقدا ملزما وانه لا يمكن من الطرفين العدول في أي وقت وان هذا ليست إلا استعمالا لحق مشروع لمن يعدل فلا يمكن مع ذلك أن يسأل تعويضا, وفضلا عن ذلك قد يؤدي إلى الإجبار على الزواج مع انه عقد يجب أن يباعد بينه وبين أي نوع من أنواع الإجبار أو عدم الرضا
وقيل بأن العدول وإن كان حقا للخاطب إلا أنه قد يكون سببا في التعويض إذا أسيئ استعماله إذ المقرر في الحديث " لا ضرر ولا ضرار" وسار على هذا الراي بعض المحاكم. والأوفق بالتعويض ان يقال إذا عدل عن الخطبة غير مجرد العدول دخل فيما أصاب الطرف الأخر كأن يطلب إعداد الجهاز ويطلب ترك العمل فتركت ,وأساس التعويض هنا ليس المسؤولية العقدية لكن الالمسؤولية التقصيرية. أما إذا كان الضرر ناشئا عن مجرد العدول غير المصحوب بأي فعل سبب الضرر فلا تعويض هنا

والله تعالى أعلم

المراجع :
1. عبد الوهاب خلف ,أحكام الأحوال الشخصية في الشريعة الإسلامية على وفق مذهب أبي حنيفة وما عليه العمل بالمحاكم, دار القلم للنشر والتوزيع, كويت, طبعة ثانية 1990
.2 زين الدين ابن نجيم الحنفي, البحر الرائق شرح كنز الدقائق, ج ,4 دار المعرفة, بيروت, دون سنة
.3 شمس الدين أبو عبد الله محمد بن محمد بن عبد الرحمن الطرابلسي, مواهب الجليل لشرح مختصر الخليل, محقق زكريا عميرات, مكتبة رقمية, مدينة منورة, طبعة خاصة 2003
4. زكريا الأنصاري, أسنى المطالب في شرح روض الطالب, ج 3, محقق محمد محمد تامر, دار الكتب العلمية, بيروت, طبعة أولى 2000
.5 محمد بن صالح بن محمد العثيمين ,الشرح الممتع على زاد المستقنع, ج 12, دار ابن الجوزي, مملكة السعودية العربية, طبعة أولى 1428
6. مصطفى الرافعي, الأحوال الشخصية في الشريعة الإسلامية والقوانين اللبنانية, دار الكتاب اللبناني ومكتبة المدرسة, لبنان, طبعة أولى 1983
7. عبد العزيز عامر الأحوال الخصية في الشريعة الإسلامية فقها وقضاء الزواج دار الفكر العربي بيروت طبعة أولى 1984

Senin, 26 April 2010

الإلتزامات المالية في العاجلة والأجلة في إطار السياسة الشرعية النقضية والموضوعية



بسم الله الرحمن الرحيم الحمد لله الذي أتم نعمة الإنسان بالإيمان والإسلام ورتب أموره بالسياسة في المشارق والمغارب وسائر البلدان وأوجد مصالح الدين ورفع علوه وأمجد شأن المسلمين بتطبيق الشريعة في أي حالة ومكان والصلاة والسلام على محمد صلى الله عليه وسلم خير الأنام الذي كان عليه أسوة حسنة في ترتيب الملك والخلافة وتنظيم سلطة العدالة الخيرية في إطار الرعية الإسلامية المباركة وعلى اله وصحبه أجمعين.


المال وتطوره

المال جمعه الأموال وهو ما ملكته من جميع الأشياء سواء أكان عينا أم منفعة. أما المال في الإصطلاح فالذي عليه فقهاء الحنفية " ما يميل إليه الطبع ويمكن ادخاره لوقت الحاجة " فهو اسم لغير الأدمي خلق لمصلحة الدمي وأمكن إحرازه والتصرف فيه على وجه الإختيار.

ورأى الشافعي أن المال لا يقع إلا على ما له قيمة يباع بها وتلزم متلفه وإن قلت وما لا يطرحه الناس مثل الفلس وما أشبه ذلك.

والعبرة عنده خاص فيما علق بأمرين وهما :
( 1 ) ما له قيمة مثل الحيوان والسيارة والبنيان ولو كان وجود ذلك قليلا.
( 2 ) ما لم يطرحه الناس مثل الفلس وما أشبه ذلك.
ودخل هذا التعبير ما عبر به الأحناف مع أنهم زاد قيدا أخر وهو امكان الإدخار وقت الحاجة.

والحنابلة يرون أن المال ما فيه منفعة مباحة لغير حاجة أو ضرورة. وقالوا إن المال ما يباح نفعه مطلقا أو اقتناءه بلا حاجة.

وقال المالكية إن المال ما يقع عليه الملك ويستبد به المالك عن غيره إذا أخذه من وجهه ويستوي في ذلك الطعام والشراب واللباس على اختلافها وما يؤدي إليها من جميع المتمولات.
وهم يخالفون في أن العبرة للمال الملك الذي نسب إليه المالك بخلاف الحنابلة فإنهم جعلوا المنفعة ضابطا لإعتبار المال .

وبالرغم إلى اختلاف إصطلاحهم وضابطهم فإن الإسلام قد اعترف بوجود المال وأمكنه في موضعه وقرر شأنه في بعض الأحكام حتى رتب عليه أمورا خاصة. ولكن قد خالف شأن المال في هذا الزمان مع ما قبلها مخالفة شديدة ولم ترجع تلك المخالفة من ناحية الإستعمال فقط بل من الدور والقيمة. وكان استعمال المال في الزمان الماضي قد تمثل بالحيوان والذهب والفضة وسائر المعادن المعتبرة قيما بالنسبة لذلك المجتمع ولكن الحيوان هو مال أساسي في العصور المتقدمة حتى كان مرجع الغني والفقير إلى كثرته وفقره وعلى ذلك لا مرار في إعتباره .

فالإسلام يضبط تملك الحيوان ويحدده للشخص وكانت مشروعيته قد بحث في الفقه تارة في الزكاة وتارة في البيع وتارة في الكفارة ودلت نصوص علماء السلف على ذلك, مثاله ما قال في أسنى المطالب :

"حكم زكَاة المواشي وجوبا وانتفاء ولَها أَي الزكَاة أَي وجوبِها خمسة شروط وذَكَر الأصل سادسا وهو كَمال الملك ليخرج به المال الضال والمغصوب ونحوهما"

فإذا تأملنا هذه العبارة وجدنا أن الإسلام أمر التوسط في إعطاء المال وتملكه بدليل أن الأمر بوجوب الزكاة لم يكن إلا مع توافر النصاب وهذه حكمة مشروعية الزكاة من الله سبحانه وتعالى.

وقد استعمل الحيوان أيضا في المعاملة وسمي بالمقايضة. إذن فالمقايضة هي بيع عرض بعرض أي سلعة بسلعة ويشترط في هذا البيع أن يكون كل من العرضين مباحاً طاهراً منتفعاً به مملوكاً لصاحبه مقدوراً على تسليمه للمشتري. ولكن يلزم أن ينبه أن هذا العرض إن كان من الربويات وبيع بربوي من جنسه فيشترط الإضافة إلى شروط بيع الربوي من الحلول و المماثلة والتقابض في مجلس العقد، وكذلك إذا بيع الربوي بربوي من غير جنسه اتحد معه في العلة كالتمر بالشعير فيشترط الحلول والتقابض لا التماثل.

بالنسبة للعصور المتقدمة لا توجد مشكلة خطيرة على أساس أن المهم من المتبادل التراضي ولكن المقايضة قد أدت مع تداول الأزمنة والأمكنة إلى الصعوبة كعدم اعتبار الشاة مثلا قيما بالنسبة للمجتمع الأخر وعدم اختصاره للإختزان. وعلى ذلك فالشخص الذي يملك ما يتاجر به يجب أن يبحث عن شخص آخر يريد هذا الشيء وعنده شيء مقبول يعرضه في المقابل

ثم استعمال المال في عصر الأوائل اتجه إلى النقود حيث إن أفلاطون ذكر خاصية النقود كونه وسيطا( Medium of Exchange) للبدل ورأى أن النقود ليس لها قيمة ذاتية بل ذهب إلى مهاجمة استعمال الذهب والفضة في سك النقود على اساس أن استخدام غيرهما من النقود يؤدي إلى نتائج غير محمودة من الناحيتين الأخلاقية والإجتماعية.

وبعده تبعه أرسطو الذي كانت نظريته تخالف في بعض الجوانب وهي تتلخص فيما يلي :
1 - بالرغم من أن النقود لها وظائف عديدة إلا أن الوظيفة الأساسية لها هي وساطتها في عمليات التبادل.
2- النقود لا بد أن تكون ذات قيمة سلعية في حد ذاتها وذلك لكي تؤدي الوظيفة الأولى وهو وساطتها للتبادل، ويعني هذا الفرض أن النقود لا بد أن تكون شيئًا له منفعته الذاتية وله قيمته التبادلية المستقلة عن الوظيفة النقدية.

وقد أضاف علماء الاقتصاد على ذلك بعد مرور الأزمنة من عصر أرسطو إلى خاصية التبادل هذه خصائص أخرى, هذه هي :
1- النقود مقياس للقيم.
2- النقود أداة لاختزان القيم.
3- النقود أداة لقياس المدفوعات المؤجلة.

وكانت النقود هي معيارا عاما في معاملة الناس إلى بعضهم وتداول في كثير من البلاد بل وضع هناك أحكام تتعلق بهذه كالزكاة والبيع وتصاريف أخرى إحتاج الناس إليها. ومن بعض الأحكام ما تتعلق بالذات إما لكونها ثمنا أو لكونها مطعوما حتى لا يجوز الإرتكاب إلى غيرها.


الربا والأموال الربوية

إن التعامل بالنقود قد اقترن مع الأشياء التي تحتمل أنها صحيحة أو فاسدة بيد أن هناك معيارا من الشارع على المجتمع الإسلامي في تكوين المصلحة العظيمة التي بها فتح عليهم بركات من السماء والأرض. وذلك مستمد من نصوص القرأن الكريم وسنة نبيه محمد صلى الله عليه وسلم وكلام الصحابة والتابعين وتابعيهم ومن الذين بعدهم في تطبيق القيود من الأحكام الشرعية. فمن القيود ما هي داخلة في القواعد العامة للربا. لأن في الربا شروطا التي لو لم يستوف فيها اتبعوا الشهوات في تحصيل أموالهم وتنازعوا في تتبع أمورهم حتى ظهر الفساد في البر والبحر بما كسبت أيديهم.
وعلى ذلك يثور السؤال ما المراد بالربا ؟

قال الإمام النووي في المجموع ما نصه

"الربا مقصور وهو من ربا يربو فيكتب بالألف وتثنيته ربوان واختار الكوفيون كتابته. وتثنيته بالياء بسبب الكسرة في أوله ولكن غلطهم البصريون. قال الثعلبي "كتبواه في المصحف بالواو". وقال الفراء "إنما كتبوه بالواو لأن أهل الحجاز تعلموا الخط من أهل الخبرة ولغتهم الربوا فعلموهم صورة الخط على لغتهم" قال "وكذلك قرأها أبو سماك العدوى بالواو وقرأ حمزة والكسائي بالامالة بسبب كسرة الراء وقرأ الباقون بالتفخيم لفتحة الباء" قال "وأنت بالخيار في كتبه - بالالف والواو والياء - والرماء بالميم والمد –". والربية بالضم والتخفيف لغة في الربا وأصله الزيادة وأربى الرجل وأرمى عامل بالربا "

فقد بين النووي إشتقاق الربا ة وبأنه اختلف العلماء في كتابته أهو بالواو أو بالياء حتى ترتب عليه إختلافهم بالنطق أهو بالفتح أو بالإمالة. ولكن المهم في أخذ الأحكام الشرعية المعاني من دلالة النص. وعلى ذلك فالمأخوذ من نصوص الأية والحديث الواردين في الربا الحكم الشرعي ولا مجال في اختلاف النطق والكتابة.

والربا بالقصر لغة الزيادة, قال الله تعالى "إهتزت وربت" أي زادت ونمت. وهو شرعا نقد على عوض مخصوص غير معاوم التماثل في معيار الشرع حالة العقد أو مع تأخير في البدلين أو أحدهما.

وهو ثلاثة أنواع :
( 1 ) ربا الفضل, وهو البيع مع زيادة أحد العوضين على الأخر. ولا يكون إلا في متحد الجنس.
( 2 ) ربا اليد, وهو البيع مع تأخير قبضهما أو قبض أحدهما. نسب إليها لعدم القبض بها أصالة.
( 3 ) ربا النساء, وهو البيع لأجل بمعنى اشتمال العقد على المدة وإن قصرت.
وقد زاد بعض الفقهاء ربا القرض ولكن يمكن من ربا الفضل.

وقد وجدت هناك الأية الواردة في تحريم الربا, وهي :
( 1 ) وأحل الله البيع وحرم الربا.
( 2 ) الذين يأكلون الربا لا يقومون إلا كما يقوم الذي يتخبطه الشيطان من المس.
( 3 ) ياأيها الذين أمنوا لا تأكلو الربا أضعافا مضاعفة.
( 4 ) ياأيها الذين أمنوا اتقوا الله وذرو ما بقي من الربا.
( 5 ) يمحق الله الربا ويربي الصدقات.

وأما الأحاديث من رسول الله صلى الله عليه وسلم, فمنها :
( 1 ) ما روى ابن مسعود رضي الله عنه أنه قال "لعن الله أأكل الربا وموكله وشاهده وكاتبه".
( 2 ) ما روي عن سمرة بن جندب أنه سلى الله عليه وسلم أنه رأى الليلة رجلين, رجلين رجل قائم ورجل على وسط النهر بين يديه حجارة, فأقبل الرجل الذي في النهر, فإذا أراد الرجل أن يخرج رمى الرجل بحجر في فيه فرده حيث كان, فجعل كلما جاء ليخرج رمى في فيه بحجر فيرجع كَما كَان فقيل ما هذا فَقَال الذي رأيته في النهر أكل الربا
( 3 ) ما روي عن أبي هريرة أنه صلى الله عليه وسلم قال " ليأتين على الناس زمان لا يبالي المرء بما أخذ المال أمن الحلال أم من الحرام".

فقد دلت نصوص الأية والحديث على تحريم الربا إجماعا وعلى أنه من الكبائروقيل إنه كان محرما في جميع الشرائع لقوله تعالى " وأخذهم الربا وقد نهوا عنه " وكان خطاب النهي موجه على الأمة السابقة.

ثم بين النووي نقلا من الشافعي والأصحاب أنه إذا باع مالا ربويا فهناك أحوال فمنها أنه إذا باع بجنسه فيحرم فيه ثلاثة أشياء, التفاضل والنساء والتفرق قبل التقابض ومنها أيضا أنه إذا باع بغير جنسه لكنهما مما يحرم فيهما الربا بعلة واحدة كالذهب والفضة والحنطة والشعير والتمر بالملح والزيت بالعسل فيجوز فيهما التفاضل والنساء والتفرق قبل التقابض.

والربا يشمل المعين وما في الذمة, ولا يكون إلا في عقد لأنه إذا لم يكن في عقد فيمكن أن يسمى دفع ما زاد هبة أو هدية فهو جائز بل قد تكون سنة. وجاء الربا أيضا في الأموال الخاصة مع شروط معينة. فالأموال التي تتعلق بالربا تعتبر أموالا ربوية.
ثم ورد سؤال, ما هي الأموال الربوية ؟

وقد بين الخطيب الشربيني في كتابه الإقناع :

" وهو لا يكون إلا في ( الذهب والفضة ) ولو غير مضروبين ( و ) في ( المطعومات ) لا في غير ذلك.

والمراد بالمطعوم ما قصد للطعم اقتياتا أو تفكها أو تداويا كما يؤخذ ذلك من قوله صلى الله عليه وسلم الذهب بالذهب والفضة بالفضة والبر بالبر والشعير بالشعير والتمر بالتمر والملح بالملح مثلا بمثل سواء بسواء يدا بيد فإذا اختلفت هذه الأجناس فبيعوا كيف شئتم إذا كان يدا بيد أي مقابضة فإنه نص فيه على البر والشعير والمقصود منهما التقوت فألحق بهما ما في معناهما كالأرز والذرة ونص على التمر والمقصود منه التفكه والتأدم فألحق به ما في معناه كالزبيب والتين وعلى الملح والمقصود منه الإصلاح فألحق به ما في معناه كالمصطكي والزنجبيل ولا فرق بين ما يصلح الغذاء أو يصلح البدن فإن الأغذية تحفظ الصحة والأدوية ترد الصحة.
ولا ربا في حب الكتان ودهنه ودهن السمك لأنها لا تقصد للطعم ولا فيما اختص به الجن كالعظم أو البهائم كالتبن والحشيش أو غلب تناولها له أما إذا كانا على حد سواء فالأصح ثبوت الربا فيه ولا ربا في الحيوان مطلقا سواء جاز بلعه كصغار السمك أم لا لأنه لا يعد للأكل على هيئته"

فالتحديد في بيع الربوي أن يكون بالذهب والفضة والمطعومات سواء أكان برا أو شعيرا أو تمرا أو ملحا, وهو مأخوذ مما رواه عبادة بن الصامت عن قوله صلى الله عليه وسلم " الذهب بالذهب والفضة بالفضة والبر بالبر والشعير بالشعير والتمر بالتمر والملح بالملح مثلا بمثل سواء بسواء يدا بيد فإذا اختلفت هذه الأجناس فبيعوا كيف شئتم إذا كان يدا بيد".

وقد أجمع العلماء مما ذكر في الحديث الشريف وهي الذهب والفضة والبر والشعير والتمر والملح بأنها ربوية. وإختلف الناس في ثبوت الربا فيما عداها فحكي عن طاوس وقتادة ومسروق والشعبي وعثمان البتي وداود بن علي الظاهري أنه لا ربا فيما عدا الستة المنصوص عليها فلا يجوز التخطي عنها إلى ما سواها تمسكا بالنص ونفيا للقياس واطراحا للمعاني.

وذهب جمهور الفقهاء ومثبتوا القياس إلى أن الربا يتجاوز المنصوص عليه إلى ما كان في معناه. وهذه المسألة فرع على إثبات القياس, والكلام فيها يلزم من وجهين:
1- من جهة إثبات القياس, فإذا ثبت كونه حجة ثبت أن الربا يتجاوز ما ورد عليه النص من الأشياء الستة.
2- من طريق الإستدلال الظاهر, والدليل على ثبوت الربا من طريق الظاهر ثلاثة أشياء:
(1)قوله تعالى "وأحل الله البيع وحرم الربا" . والربا اسم للزيادة والفضل من طريق اللغة والشرع.
أما اللغة فكقولهم قد ربا السويق إذا زاد وقد أربا علي في الكلام إذا زاد في السب وهذه ربوة من الأرض إذا زادت على ما جاورها.
وأما الشرع فكقوله تعالى "يمحق الله الربا ويربي الصدقات" أي يضاعفها ويزيد فيها وقوله "فإذا أنزلنا عليها الماء اهتزت وربت" أي زاد ونمت.
وإذا كان الربا مما ذكر إسما للزيادة دل عموم الأية على تحريم الفضل والزيادة إلا ما خص بدليل.
(2)ما روي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه نهى عن بيع الطعام إلا مثلا بمثل. والطعام إسم لكل مطعوم من بر وغيره في اللغة والشرع.
أما اللغة فكقولهم طعمت الشيئ أطعمه وأطعمت فلانا كذا إذا كان الشيئ مطعوما وإن لم يكن برا.
وأما الشرع فكقوله تعالى "كل الطعام كلن حلا لبني إسرائيل" يعني كل مطعوم فأطلق عليه إسم الطعام. وقوله تعالى "فمن شرب منه فليس مني ومن لم يطعمه فإنه مني" فسمى الماء مطعوما لأنه مما يطعم. وقالت عائشة "عشنا دهرا وما لنا طعام إلا الأسودان التمر والماء. وإذا كان اسم الطعام يتناول كل مطعوم من بر وغيره كان نهيه عن بيع الطعام بالطعام محمولا على عمومه إلا ما خص بدليل.
(3)أن النبي نص على البر وهو أعلى المطعومات وعلى الملح وهو أدنى المطعومات فكان ذلك منه تنبيها على أن ما بينهما لاحق بأحدهما لأنه ينص تارة على الأعلى لينبه على الأدنى وينص تارة على الأدنى لينبه على الأعلى, فإذا ورد النص على الأعلى والأدنى كان أوكد تنبيها على ما بينهما .

أما علة الربوي في الذهب والفضة فكثر أقوال علماء الشافعية فيه فمنهم من رأى أنها جنس الأثمان ومنهم من رأى أنها قيم المتلفات ومن أصحاب الشافعية من جمعهما وكل ذلك قريب.

وقال أبو حنيفة العلة فيه أنه موزون جنس فجعل علة الذهب والفضة الوزن كما جعل علة الربا والشعير الكيل ودلائله في المسألتين مشتركة ثم خص الإحتجاج في هذه المسألة بترجيح علته وإفساد علتنا, واحتج لذلك بثلاثة أشياء :
1- أن ثبوت الربا في الذهب والفضة مستفاد بالنص ولا فائدة في استنباط علة يستفاد منها حكم آصلها حتى لا يتعدى إلى غيرها والتعليل بالوزن متعد وبالأثمان غير متعد.
2- لو جاز تعليل الذهب والفضة بكونهما ثمنا وذلك غير متعد لجاز تعليلهما بكونهما فضة وذهبا فلما لم يجز أن يعلل الذهب بكونه ذهبا ولا فضة بكونها فضة لعدم التعدي لم يجز أن يعلل بكونهما ثمنا لعدم التعدي.
3- أن التعليل بالأثمان منتقض بالطرد والعكس. فنقض طرده بالفلوس وهي أثمان في بعض البلدان ولا ربا فيها عند الشافعية ونقضه عكسا بأواني الذهب والفضة ليست أثمانا وفيها الربا.

وأما الدليل على ثبوت علة الربا عند الشافعية مع فساد علته فثلاثة أشياء :
1- أن التعليل بالوزن يثبت الربا في الموزون من الصفر والنحاس والقطن والكتان ولو ثبت فيه الربا بعلة الوزن كما ثبت في الذهب والفضة بهذه العلة لوجب أن يستوي حكم معموله ومكسوره في تحريم التفاضل فيه كما استوى حكم معمول الذهب والفضة ومكسوره في تحريم التفاضل بهذه العلة فلما جوزوا التفاضل في معمول الصفر والنحاس دون مكسوره وتبره حتى أباحوا بيع طشت بطشتين وسيف بسييفين ولم يجوزوا التفاضل في معمول الفضة والذهب ومنعوا من بيع خاتم بخاتمين وسوار بسوارين دل على افتراقهما في العلة واختلافهما في الحكم ولو اتفقا في العلة لاستويا في الحكم فبطل أن يكون الوزن علة الحكم.
2-أنه لو كان الوزن في الذهب والفضة علة يثبت بها الربا في موزون الصفر والنحاس لوجب أن يمنع من إسلام الذهب والفضة في الصفر والنحاس لإتفاقهما في علة الربا كما منع من إسلام الفضة في الذهب لإتفاقهما في علة الربا فلما جاز إسلام الذهب والفضة من الصفر والنحاس ولم يجز إسلام الفضة في الذهب دل على إفتراق للحكم بين الفضة والذهب وبين الصفر والنحاس في علة الربا فبطل أن يكون الوزن علة الربا.
وهذان الدليلان إحتج بهما الشافعي في إبطال الوزن أن يكون علة الربا
3- أن الأصول مقررة على أن الحكم إذا علق على الذهب والفضة إختص بهما ولم يقس غيرهما عليهما فإذا تأملنا أن الزكاة لما تعلقت بهما لم يتعد إلى غيرهما من صفر أو نحاس أو شيئ من الموزونات ولما حرم الشرب في أواني الذهب والفضة إختص النهي بهما دون سائر الأواني من غيرهما كذالك وجب أن يكون الربا المعلق عايهما مختصا بهما وأن العلة فيهما غير متعدية على غيرهما.

و لكن لا خلاف بينهم في أن الأصل من معيار الشارع لاعتبار الربوية غير المطعومات الذهب والفضة لأنه المنصوص من قوله صلى الله عليه وسلم أولا ولأنه لا توجد نقود أخرى أقوى من غيرهما ولأن الناس يعترفون أن المعادن الأخرى لا تعادل نفيسهما ولأن قيمة جوهرهما أقوى من الأموال الأخر حتى ولو كان هناك مال يعتبر نفيسا عند بعض الناس كالزبرجد ولكن لما عز وجوده فلا عبرة به لأن النادر كالمعدوم فإذا ندر وجود شيئ حكم بعدمه كما في القاعدة "النادر كالمعد وم".

وأما علة الربا في المطعومات فشرح الشربيني على أنه يشتمل على نوعين :
1- التقوت, وهو ما عبر به صلى الله عليه وسلم البر والشعير. ولكن لما كان قوت أهل البلد مختلفا فيه ألحق به ما إعتبروه قوتا كالأرز والذرة.
2- التفكه والتأدم, وهو المراد بما نص عليه صلى الله عليه وسلم التمر. ولكن لما كان تنوع الأمكنة في باقي البلدان تجعل إختلاف التفكه والتأدم متباينة وانحصار النوع في مكان واحد لا يمكن على أهل بلده جعل أنواع أخرى تفكها وتأدما أقيم مقامه مثل الزبيب والتين مما هو إصلاح للناس.

ومن إختصاص الربوية دلالتهاعلى التقوت والتفكه والتأدم فهي تشير على إنحصار الربوية في المطعومات, فلأجل ذلك لا ربا في حب الكتان ودهنه ودهن السمك لأنها لا تقصد للطعم ولا فيما اختص به الجن كالعظم أو البهائم كالتبن والحشيش أو غلب تناولها له.

مهما شرح الشربيني المراد من المطعومات أبان الماوردي أن هناك مذاهب كثيرة في تفسير البر والشعيرمن أصحاب المعاني على مذاهب شتى :

1- مذهب محمد بن سيرين أن علة الربا المنفعة في الجنس, فأجرى الربا في جميع الأجناس ومنع التفاضل فيه حتى التراب بالتراب.
الإستدلال:
واحتج بأن النبي صلى الله عليه وسلم ذكر أجناسا منع من التفاضل فيها, ثم قال "فإذا اختلف الجنسان فبيعوا كيف شئتم يدا بيد". فشرط في جواز التفاضل إختلاف الجنس فثبت أن علة الربا الجنس, فلا يجوز أن يباع شيئ بجنسه متفاضلا أبدا.
المناقشة :
ويناقش هذا الإستدلال بأدلة أخر :
( ا ) ما رواه عبد الله بن عمر أن النبي صلى الله عليه وسلم جهز جيشا فنفدت إبله فأمرني أن أشتري بعيرا ببعيرين إلى إبل الصدقة فلما إبتاع صلى الله عليه وسلم بعيرا ببعيرين بطل أن يكون الجنس علة لوجود التفاضل فيه وأذن النبي صلى الله وسلم به.
( ب) ما روي عن علي رضي الله عنه أنه باع جملا له بعشرين جملا إل أجل.
( ج ) ما ورد عن ابن عمر أنه باع راحلة له بأربعة رواحل إلى أجل ولم يظهر لهما مخالف.
فأما قوله صلى الله عليه وسلم "فإذا إتلف الجنسان فبيعوا كيف شئتم" فعطف على ما قدم ذكره من الأجناس الستة التي أثبت فيها الربا بالنص فجوز فيها التفاضل مع إختلاف الجنس فلم يدل ذلك على تحريم التفاضل مع اتفاق الجنس في غير ما ورد فيه النص
2- مذهب الحسن البصري, أن علة الربا المنفعة في الجنس فيجوز بيع ثوب قيمته دينار بثوبين قيمته ديناران.
الإستدلال
واستدل بأن ثبوت الربا مقصود به تحريم التفاضل وفضل القيمة يقع ظاهرا كفضل القدر, فلما ثبت أن الربا يمنع من التفاضلفي القدر وجب أن يمنع التفاضل في القيمة.
المناقشة
( ا ) نوقش بما سبق من ابتياع النبي صلى الله وسلم بعيرا ببعيرين, وفضل القيمة بينهما كفضل القدر.
( ب ) ان مقصود البياعات طلب النفع والتماس الفضل, فلم يجز أن يكون ما هو مقصود البياعات علة في تحريم البياعات
( ج ) أن تحريم تفاضل القيمة في الجنس مع تساوي القدريقتضي تحليل تساوي القيمة في الجنس مع تفاضل القدر, وهذا محظور.
3- مذهب سعيد بن جبير, أن علة الربا تقارب المنافع في الأجناس فمنع التفاضل في الحنطة بالشعير لتقارب المنافع والتفاضل في الباقلاء بالحمص وفي الدخن بالذرة لأن المنفعة فيهما متقاربة.
الإستدلال :
واحتج بان الجنسين إذا تقاربا في المنفعة تقلربا في الحكم والمتقاربان في الحكم مشتركان فيه.
المناقشة
وبطل هذا الإستدلال بما ورد من النص بجواز التفاضل في البر بالشعير مع تقارب منافعهما وما دفعه النص كان مطرحا.
4- مذهب ربيعة,أن علة الربا جنس يجب فيه الزكاة فأثبت الربا في كل جنس وجبت فيه الزكاة من المواشي والزروع ونفاه عما لا تجب فيه الزكاة.
الإستدلال
إحتج بأن الربا تحريم التفاضل حثا على المواساة بالتماثل وأموال المواساة ما ثبت فيها الزكاة فاقتضى أن تكون هي الأموال التي ثبت فيها الربا.
المناقشة
ما سبق من ابتياع النبي صلى الله عليه وسلم بعيرا ببعيرين, والإبل جنس تجب فيه الزكاة, وأثبت الربا في الملح وهو جنس لا تجب فيه الزكاة
5- مذهب مالك, أنه مقتاة مدخر جنس فأثبت الربا فيما كان قوتا مدخرا ونفاه عما لم يكن مقتاة كالفواكه وعما كان مقتاة ولم يكن مدخرا كاللحم.
الإستدلال
أما مالك فاحتج بأن ذلك علة يشابه الأصل بأوصاف وما كان أكثر شبها بالأصل كان أولى.
المناقشة
ويناقش هذا الإستدلال بأنه لا يوجد هذه الأوصاف في الأصل, فالملح ليس بقوة وقد جاء النص بثبوت الربا فيه, والرطب ليس بمدخر وفيه الربا.
فإن استشكل بان الرطب يئول إلى حال الإدخار في ثاني حال.
فالجواب
الرطب الذي لا يصير تمرا ليس يئول إلى حال الإدخار وفيه الربا مع أن هذا لا يخرج الرطب من أن يكون غير مدخر في الحال
6- مذهب أبي حنيفة, أن علة الربا في البر أنه مكيل جنس فأثبت الربا في كل ما كان مكيلا وإن لم يكن مأكولا كالجص والنورة ونفاه عما كان غير مكيل ولا موزون وإن كان مأكولا كالرمان والسفرجل.
الإستدلال
ثبت الإستدلال بطريقين :
( أ ) إثبات الكيل علة.
وقد إحتج في إثبات الكيل علة بأمور:
( - ) ما روي عن النبي صلى الله عليه وسلم "لا تبيعوا البر بالبر ولا الشعير بالشعير إلا مثلا بمثل وكذلك ما يكال ويوزن".
( - ) أن التساوي في بيع البر بالبر مباح والتفاضل فيه محظورولم يعلم التساوي المباح من التفاضل إلا بالكيل فوجب الكيل علة لتمييز المباح من المحظور.
( - ) أن الجنس صفة والكيل مقدار والتعليل بكونه مكيلا جنسا يجمع حالتي البر صفة وقدرا.
(ب) إبطال أن يكون الطعم علة.
وقد احتج في إبطال أن يكون المطعوم علة بأمور :
( - ) أن الطعم في المطعومات مختلف والكيل في المكيلات مؤتلف فبعد أن يكون علة.
( - ) أن من الأشياء ما يؤكل قوتا ومنه ما يؤكل أدما ومنه ما يؤكل تفكها والكيل لا يختلف فكان أولى أن يكون علة من المطعوم الذي يختلف.
( - ) أن المطعوم صفة أجلة لأن البر إلا بعد علاج وصنعة والكيل صفة عاجلة لأنه يكال من غير علاج ولا صنعة وإذا كان الحكم منه متعلقا بإحدى الصفتين كلن تعليقه أولى من تعليقه بالصفة الأجلة.
( - ) أن علة الربا في البرهي ما منعت من التفاضل وأوجبت التساوي, وقد يوجد زيادة الطعم ولا ربا ولا يوجد زيادة الكيل إلا مع حصول الربا.
المناقشة
يناقش هذا الإستدلال كذالك من طريقين:
( أ ) إثبات أن المطعوم علة. وقد رد هذا الإستدلال بأمور
( - ) ما روى بشير بن سعيد عن معمر بن عبد الله أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن بيع الطعام بالطعام إلا مثلا بمثل. فكان عموم هذا الخبر إشارة إلى أن علة الربا الطعم لأن الحكم إذا علق باسم مشتق من معنى كان ذلك المعنى علة لذلك الحكم.
( - ) أن علة الشيئ في ثبوت حكمه ما كان مقصودا من أوصافه ومقصود البر هو الأكل فاقتضى أن يكون علة الحكم.
( - ) أن الأكل صفة لازمة لذات المعلول والكيل صفة زائدة عن المعلول والصفة اللازمة أولى أن تكون علة من الصفة الزائدة.
( - ) الأكل علة يوجد الحكم بوجودها ويعدم بعدمها, والكيل علة يوجد الحكم مع عدمها ويعدم الحكم مع وجودها, وإذا كان - مثلا – الزرع حشيشا أو قصيلا لا ربا فيه لعدم الأكل عند الشافعية وعدم الكيل عند الحنفية, وإذا صار سنبلا ثبت فيه الربا عند الشافعية لأنه مأكول وثبت فيه الربا عند الحنفية وهو غير مكيل.
( ب ) إبطال الكيل أن يكون علة. فرد هذا من خمسة أوجه :
( - ) أن النبي صلى الله عليه وسلم نص على أربعة أجناس كلها مكيلة فلو كان ذلك تنبيها على الكيل لاكتفى بذكر أحدهما.
( - ) أن الكيل قد يختلف في المكيلات على اختلاف البلدان وتقلب الازمان, فالتمر يكال بالحجاز ويوزن بالبصرة والعراق والبر يكال تارة في زمان ويوزن أخرى والفواكه قد تعد في زمان وتوزن في في زمان فلم يجز أن يكون الكيل علة لأنها تقتضي أن يكون الجنس الواحد فيه الربا في بعض البلدان ولا ربا فيه في بعضها وكذالك في بعض الازمان.
( - ) أن النبي جعل الكيل علما على الإباحة لنهيه صلى الله عليه وسلم عن بيع البر بالبر إلا كيلا بكيل فلم يجز أن يكون الكيل علما على الحظر.
( - ) أن الكيل موضوع لمعرفة المقادير من الأشياء فلم يجز أن تكون علة الربا كالزرع والعدد.
( - ) أن من جعل الكيل علة أخرج من المنصوص عليه ما لا يمكن كيله لقلته كتجويز بيع تمر بتمرين.
7- مذهب سعيد بن المسيب والشافعي في القديم, أنه مأكول مكيل أو موزون جنس. وقد يطلق هذا بأخصر من هذه العبارة فقال مطعوم مقدر جنس, فعلى هذا القول ثبت الربا فيما كان مأكولا أو مشروبا مكيلا كان أو موزونا وينتفي عما كان غير مكيل ولا موزون وإن كان مأكولا أو مشروبا وعما كان غير مأكول ولا مشروب وإن كان مكيلا أو موزونا.
الإستدلال
واحتج بأمور :
( أ ) أن المنصوص عليه يختص بصفتين الأكل و الكيل وليست إحدى الصفتين أولى فاقتضى أن يكونا معا علة الحكم.
(ب) أن الربا إنما جعل في الأشياء التي يمكن استباحة بيع بعضها ببعض بكيل أو وزن فكان الكيل والوزن علة الحكم
المناقشة
يناقش هذا الإستدلال بما سبق أن يكون الوزن علة.
8- مذهب الشافعي في الجديد أن علة الربا مأكول جنس, ومن الشافعية من قال مطعوم جنس أو بعبارة أخر الطعمية.
الإستدلال
واحتج بقوله صلى الله عليه وسلم "الطعام بالطعام" وهو يدل على أن العلة الطعم وإن لم يوكل أو يوزن لأنه علق ذلك على الطعام وهو مشتق على الطعم, وتعليق الحكم على الإسم المشتق يدل على التعليق بما منه الإشتقاق.

وليس كل المذاهب قويا بل هناك مذاهب لم تنتشر أراءه في هذا الإتجاه. وذلك بعد استبعاد المذاهب التي لا تعتمد على نص من كتاب أو سنة يؤيد مذهبها ولأنها جائت عن اجتهاد يتعارض مع النصوص الصريحة التي تبطل مذهبهم, وهي مذهب ربيعة ومذهب ابن سيرين ومذهب سعيد بن جبير .

ثم إذا بيع الأموال الربوية فلا بد أن ينظر من ناحيتين :
( 1 ) إذا كانا من جنس واحد فالشروط ثلالثة, الحلول, والمماثلة, والتقابض قبل التفرق.
( 2 ) وإذا كانا من جنسين فلا بد أن يتوافر شرطان وهما الحلول والتقابض.

ولكن يؤخذ من اعتبار المماثلة بالكيل في المكيل وبالوزن في الموزون أنه لا عبرة بالقيمة رأسا. فلو بيع مد تمر برني بمد صيحاني صح ذلك ولو تفا وت في القيمة. ومحله في غير بعض صور القاعدة المسماة بقاعدة مد عجوة ودرهم, فإنه يعتبر في ذلك البعض المماثلة في القيمة أيضا.

وضابط هذه القاعدة هي أن يجمع عقد واحد جنسا ربويا في الجانبين متحدا فيهما مقصودا وأن يتعدد المبيع جنسا أو نوعا أو صفة سواء حصل التعدد المذكور في الثمن أم لا.
والمراد بالجانبين المبيع والثمن.
والمراد بالمقصود ليس تابعا لغيره.
ومعنى التعدد أن ينضم إلى ذلك الجنس الربوي جنس أخر ولو غير ربوي.
فالقيود المشتمل عليها هذا الضابط ستة :
( 1 ) أن يكون العقد واحدا, ومعنى حدته عدم تفصيله بأن لا يقابل المد بالمد والدرهم بالدرهم. وخرج به ما لو فصل كأن قال بعتك هذا بهذا وهذا بهذا.
( 2 ) أن يكون الجنس ربويا. وخرج به ما لو كان غير ربوي كثوب ودرهم بثوبين.
( 3 ) أن يكون الجنس الربوي في الجانبين. وخرج به ما لو كان في أحدهما فقط كثوب ودرهم بدرهمين.
( 4 ) أن يكون الجنس الكائن فيهما واحدا. وخرج به ما لم يكن واحدا بأن يكون المشتمل عليه المبيع ليس مشتملا عليه الثمن والكل ربوي كصاع بر وصاع شعير بصاعي تمر.
( 5 ) أن يكون مقصودا بالعقد. وخرج به ما إذا كان تابعا لمقصود بالعقد كبيع دار فيها ماء عذب بمثلها.
( 6 ) أن يتعدد المبيع. وخرج به ما إذا يتعدد كبيع دينار بدينار.
وبقي من القيود قيد واحد وهو التمييز - عدم الخلط – ولكن هذا في خصوص صور الجنس وصور النوع.
وخرج به ما إذا لم يتميزوا بأن خلط الجنسان أو النوعان وبيعا بمثلهما أوبأحدهما خالصا, فإنه لا يضر وليس من القاعدة المذكوة بشرط أن يكون المخلوط به بالنسبة للجنس شيئا يسيرا بحيث لا يقصد إخراجه ليستعمل وحده. وأما بالنسبة للنوع فلا فرق بين اليسير والكثير كما هو مقتضى كلام الرافعي والنووي. والفرق بين الجنس - حيث قيد الخليط فيه بالسير - وبين النوع - حيث أطلق الخليط فيه أن الخليط إذا كثر في الجنس لم تتحقق المماثلة بخلاف النوع.
وبقي منها أيضا أن لا يكون أن لا يكون الجنس الربوي ضمنيا في الجانبين بأن كان ظاهرا في كل منهما أو ظاهرا في أحدهما ضمنا في الأخر كبيع سمسم بدهمه. وخرج به ما لو كان ضمنيا فيهما فإنه لا يضر.

والعقد الذي يشمل على هذه القاعدة باطل إلا ثلاثا من صور اختلاف الصفة :
( 1 ) ما لو بيع صحيح ومكسر بمثلهما.
( 2 ) ما لو بيع صحيح ومكسر بصحيحين.
( 3 ) ما لو بيع صحيح ومكسر بمكسرين.
فقيمة الصحيح في الثلالث مساوية لقيمة المكسر. وإنما جوزوا في الصفة لتساوي القيمة ولغلبة الإتحاد فيها وهو لا يخطئ إلا نادرا بخلاف الجنس والنوع.

وأما سبب البطلان في الجميع أن العقد مشتمل أحد طرفيه على مالين مختلفين وهو يوجب توزيع الطرف الأخر عليهما بالقيمة, والتوزيع يقتضي تحقق المفاضلة أو الجهل بالمماثلة.

ولا يجوز العقد مع توافر قاعدة مد عجوة ودرهم وكذلك لا يجوز التعامل مع اختلال الشروط المذكورة من الربوي, فإذا تعاطيا مع العلم أثم لإرتكابه النهي وهو الربا ولكن إذا تعاطيا مع عدم العلم أولا ثم تبين الأمر لزم رد المال إلى الصاحب.


البيع, الإقتصاد, النقود الورقية

العقد ربط أجزاء التصرف بالإيجاب والقبول شرعا . ومن ثم إذا وجد بعض منه لزم إيجاد البعض الأخر لأنه إذا لم يتوفر صار ذلك نقصا, وذلك يوجب بطلان العقد عادة. فإذا تعاملا بمبيع وثمن واشتمل شروطه متوافرة صح العقد واستلزم البائع الثمن والمبيع المشتري.

ثم البيع لغة مقبلة شيئ بشيئ على وجه المعاوضة. فخرج نحو ابتداء السلام ورده ومقابلة عيادة مريض بعيادة مريض أخر, فلا تسمى بيعا في اللفة.

وهو اصطلاحا عقد معاوضة محضة يقتضي ملك عين أو منفعة على الدوام لا على وجه القربة. فشمل منه بيع المنافع على التأبيد كبيع حق البناء والخشب على جداره وكبيع حق الممر بأن لا يصل الماء إلا بواسطة ملك غيره.
وخرج بالمعاوضة الهبة مطلقا.
وخرج بالمحضة نحو النكاح.
وخرج بالدوام الإجارة فإنها - وإن كانت فيها مقابلة منفعة بمال - ليست على الدوام.
وخرج ب " لا على وجه القربة " نحو القرض فإنه - وإن كان فيه معاوضة مال بمال - على وجه القربة.

وأركان البيع ثلاثة : عاقد, ومعقود, وصيغة. ولكن في الحقيقة ستة, لأن كل واحد من الأركان الثلاثة تحته قسمان.
فالأول تحته البائع والمشتري.
والثاني تحته الثمن والمثمن.
والثالث تحته الإيجاب والقبول.

ومفهوم البيع كما اقتضى التعريف السابق قد اشتمل على معنى الإقتصاد عاما. وقد رتب الإسلام نظاما في هذا صالحا للمجتمع. فكان النظام الأصلح للمجتمع هو النظام النابع من التجربة الإجتماعية القائم على أساس من القيم المثل العليا القابل للتطور والتقدم لمواجهة حاجات المجتمع المتزايدة. وكل نظام إقتصادي لا بد أن يكون قادرا على مواجهة المشاكل الإقتصادية وأن يجد لها الحل المناسب والصحيح وأن يحقق لجميع الأفراد.

وفي سبيل ذلك لا بد أن تتوافر الحريات اللازمة لتمكين الأفراد من الإعراب في رغباتهم. فالعدل والمساوة وتكافؤ الفرص ومنع الإستغلال من طبقة لطبقة أخرى وحق الفرد في العمل وحريته في الجد والإجتهاد والكسب دون استغلال غيره والعمل على رقى المجتمع وتقدمه ماديا وروحيا وتوفير حرية الإختيار لكل فرد بحيث لا يضر على صالح الأخرين وتوفير الضمانات اللازمت للأمن والإستقرار في حياة الأفراد كل أولئك هي المقاييس القومية للرفاهية.

وإذا تأملنا معاني القرأن الكريم قد روعي فيها عدم الحرج وتقليل التكاليف والتدرج في التشريع وجدنا أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أسس بنيانا في هذا المجال. وظهر في المدينة المنورة التي طبق فيها التشريع ثلاث طوائف صور معها أحوال الإقتصاد الإسلامي له مثل في تكوين المجتمع الصالحي :
( 1 ) طائفة المهاجرين الفقراء بعد أن تركوا أموالهم بمكة وكان أغلبهم يعمل بمكة في التجارة يكسب منها الأموال. وصف في القرأن الكريم " للفقراء المهاجرين الذين أخرجوا من ديارهم وأموالهم يبتغون فضلا من الله ورضوانا وينصرون الله ورسوله أولئك هم الصادقون " ووصف الطبقة التي تليهم في الهجرة بقوله " والذين جاءوا من بعدهم يقولون ربنا اغفر لنا ذنوبنا ولأخواننا الذين سبقوانا بالإيمان ولا تجعل في قلوبنا غلا للذين أمنوا ربنا إنك رؤوف رحيم " .
( 2 ) طائفة سكان يثرب الذين ناصروا واتبعوا النور الذي أنزل معهم, وكذلك اليهود من الأوس والخزرج الذين أحبوا الله ورسوله. وكانت مهنة أكثرهم الزراعة وتعهد الثمار والأشجار والفاكهة وكانوا ذوي عدد وثروة. وصفهم الله تعالى بقوله " والذين تبوءوا الدار والإيمان من قبلهم يحبون من هاجر إليهم ولا يجدون في صدورهم حاجة مما أوتوا ويؤثرون على أنفسهم ولو كان بهم خصاصة ".
( 3 ) طائفة اليهود من أهل المدينة الذين طالما أشعلوا نار الخصومة والحرب بين الأوس والخزرج وسخروا برسالة محمد صلى الله عليه وسلم وأصحابه.

مجتمع الفقراء والأغنياء والمفسدين والمتأمرين لا بد فيه من بناء جديد وحركة بعث وتجديد التفت الرسول إلى علاج هذه المشكلات واحدة تلو الأخر بإلهام وتسديد.

اتجه أولا إلى علاج مشكلة الفقر والتفاوت الشديد بين الأغنياء والفقراء في الثروة خاصة بين الأنصار والمهاجرين, فأخى بينهم اخاءا فريدا مهما ظهرت هناك مشاكل أخرى.

ثم اتسع نطاق الدعوة الإسلامية وتتابع الناس إلى الدخول في دين الله أفواجا وأصبح من الحتم حدود إقتصادية لأن الباعث الإقتصادي في صدر الإسلام لم يكن الرغبة في الحصول على حد أقصى للإشباع بأقل جهد كما هو شائع بين المفاهيم الإقتصادية بل هو لم يكن ذا أهمية عند المسلمين.

لم يكن تنظيم الإسلام للإقتصاد في البيع وتحريم الربا فقط كما سبق بل هناك أنواع من صور الإقتصاد الذي قد اعترف كالسلم والرهن والحجر والصلح والحوالة والضمان والشركة والوكالة الإقرار والعارية والغصب والشفعة والقراض والمساقاة والإجارة والجعالة والمزارعة وإحياء الموات والوقف والهبة واللقطة والوديعة وغيرها من الصور التي لم تفتح أي نوع من الضرر والإضرار في التعامل الإجتماعي.

ثم إن الواقع التاريخ قد تكلم بأن الدولة الإسلامية في زمان رسول الله صلى الله عليه وسلم لم يشتمل الإقتصاد التعاملي فقط بل بل اشتمل أيضا على المورد الإسلامي. ومنه الزكاة, وهي إحدى الواجبات بل الأركان المهمة في الإسلام التي كانت موردا أساسيا.

وكان من عدالة الإسلام أنه فاوت في مقدار أموال الزكاة بحسب سعة أربابها وما ينالهم في تحصيلها من نصب ونفقة. فأوجب العشر فيما كانت مشقة تحصيله ونفقته قليلا كالزروع والثمار التي يباشر الإنسان حرث أرضها وبذرها, وربع العشر فيما كان الثمار فيه موقوفا على عمل متصل من رب المال مثل الضرب والتنقل في البلاد.

ثم هناك موارد أخرى غيرها التي دخلت في بيت أموال المسلمين كالغنيمة والفيئ والجزية والخراج والإقطاع - وهو النظام الذي يجعل الأرض ملكا للمسلمين بحكم الفتح وليس لها مالك يطالب بها -. وهذه الموارد يشمل أي نوع من الأمور التي يعتبر قيما كالماشية والأرض الموات والمعادن خاصة الذهب.

ولكن صار التعامل بالبيع مع الذهب والفضة في هذا العصر مما صعب على الناس تحصيله. وقد قام مقامه الورقية التي استعملت نقدا وتدور في المعاملة كما استعمل الذهب والفضة في العصر السابق. وبالنظر إلى استعماله يمكن أن تعرف النقود الورقية بأنها عبارة عن قطع من أوراق خاصة مزينة بنقوش خاصة تحمل أعدادا صحيحة يقابلها في العادة رصيد معدني بنسبة خاصة يحددها القانون ، وتكون صادرة من حكومة ما أو من هيئة رسمية ليتداولها الناس عملة.

والسؤال الذي يطرح حوله, لماذا كان استعمال النقود الورقية شيئا عظيما ؟ مع أنها ليست إلا ورقة, ومن الذي أبدى هذا الفكر ؟ مع أن الإعتبار العام في الثمنية ذهبا.

في تاريخ الناس توجد الأشياء من الأمور التي لم تكن في ذاتها قيمة مرتفعة واستعملت ألة للتبادل والمعاملة إلا في أماكن قليلة وحاجة خاصة, مثل تالي ستيك وهو المال الذي استخدم وكان شكله بالعصا واستعمل من سنة 1100- لما تولى الملك هنري الأول الإنجلترا - حتى سنة 1826, وكذلك ما وقع في الألماني خلال الانتعاش في مرحلة بعد الحرب الأولى بل كان طباعة المال أيضا من رقائق الألومنيوم، وقماش الحرير، وأوراق اللعب وحتى من مخلفات الحرب. وأمثالها كثيرة لكن غالبه وقع في العصر الماضي.

أما استعمال الورقية نقدا فلم تكن في العصر الحاضر فقط لكن الصينيون هم أول من يتعامل به. فقد حكى المقريزي أنه لما رحل إلى بغداد أخرج له أحد التجار ورقة فيها خطوط بقلم. وذكر أن هذه الأوراق مأخوذة من ورق التوت فيها لين ونعومة وأن هذه الأوراق إذا احتاج الإنسان – في بلاد الصين – لخمسة دراهم دفعها فيها وأن ملكها يختم لهم هذه الأوراق وينتفع بما يأخذ بدلا عنها.

وفي القرن الحديث, كان بنيامين فرانكلين اعتبر أول من أسس النقود الورقية لأنه أنشأ النقود الورقية منذ الطبعة الأولى في شكل رقي - وكانت قبله تستخدم لتمويل حرب الإستقلال في الولاية المتحدة - ولأجل تكريم خدماته أخلد صورته في أعلى العملة من الدولار وهومائة دولار. وإن كان قبله شخص اسمه جون لاو الأسكتلندا التي تقدم للحزب في سلطة الفرنساوي ورقة النقود كوسيلة للتبادل. والسبب هو أن يعتبر الذهب نادرة جدا وعدم لينونته في استخدام الأموال. ولكن لما كانت أزمة إقتصادية أصابتها لم يعتبر أول من أسسها.

وجملة النقود الورقية في أول مرحلتها تجب أن تكون ذات صلة مع مبلغ ذهب الذي يملكها البلد المعين لكي يقع الترتيب الإقتصادي ولكي لا يقلل الإنسان من شأن موقف ورقة النقود. ومفهوم هذه مماثل أولا في إنجلترا عام 1694 عندما أصدر بنك إنجلترا على ما وصفوه أوراق النقود. وكان هذا البنك بخط اليد وقوائم اسم الطرف الذي يحق له مثل هذه الأوراق النقدية.

وبالنظر إلى تطور التاريخي من أول مرحلته حتى الأن ظهر مذاهب لدى بعض الناس في إجراء النقود الورقية عند التعامل. ومن هذه الأراء ما ذهب أن تكون النقود الورقية أقيمت مقام الذهب بحيث ان البنك الذي أصدرها لزم أن يكون له مبلغ ذهب معين يساوي قيمته مع قيمة النقود الورقية. ومن ثم يصلح أن تعتبر النقود الورقية وسيلة للتبادل في أي المعاملة كما جعل الذهب كذلك.

أما بالنسبة لجنيه مصري فهو تمشى مع مراحل :
- ارتبط اصدار النقود الورقية بإنشاء البنك الأهلي المصري سنة 1898ووكل له حق إصدار البنكنوت بجانب مزاولته للأعمال المصرفية العادية, ولكن ظل تفوق الجنيه الذهبي على الجنيه الورقي في حركة التعامل اليومية بين المواطنين.
- مع قيام الحرب العالمية الأولى صعب استيراد الذهب الفضة من الخارج فزاد الإعتماد على العملات الورقية. ومع اتساع التعامل بأوراق النقود واستخدامها في المعاملات الكبيرة صدرت أربعة نماذج جديدة للأوراق ذات الفئات الكبيرة. وأول هذه النماذج كان لورقة نقد الفئة الخمسة جنيهات شهر سبتمبر 1913, وفي اليوم التالي صدرت الورقة فئة العشرة جنيهات, ثم الورقة الجديدة من الخمسين جنيها, وأخيرا صدرت المائة جنيه الجديدة.
- وفي عام 1930 بدا لأول مرة في تاريخ أوراق النقد المصري وضع العلامة المائية على الأوراق بمختلف فئاتها. و كان أول استخدام للعلامة المائية عندما قام البنك في 23 ابريل 1930 بإصدار نموذج جديد للورقة النقدية من فئة الجنيه مطبوعة عليها الصورة المائية لأبي الهول, وفي مايو 1935 صدرت ورقة جديدة من فئة الخمسين قرشا وعليها العلامة المائية للجعران.
وشيئا فشيئا حدث انتشار للعملة الورقية بصورة كبيرة مثل الملك فؤاد ثم الملك فاروق الذي طبعت صورته لأول مرة على أوراق النقد في عام 1946, ثم تم استبدال صورة الملك فاروق بعد ثورة 23 يولي 1952 بصورة تمثال الملك الفرعوني توت عنخ أمون.
- في سنة 1957 أطلق اسم البنك المركزي رسميا على البنك الأهلي وتأكد إشراف الحكومة عليه.
- وفي سنة 1961 أنشئ البنك المركزي المصري واستقل بذلك عن البنك الأهلي وأصبح له وحده منذ ذلك التاريخ الحق في إصدار النقود الورقية في مصر.

والمتتبع للجنيه المصري يجده أنه كان مرتبطا في البداية بالجنيه الإستراليني بحكم الإحتلال الإنجلترا لمصر إلى أن حدث تدهور كبير للجنيه الأستراليني مما أثر على الجنيه المصري. فانضمت مصر إلى صندوق النقد الدولي في عام 1945, وبذلك بدأت علاقة الجنيه بالدولار حيث تحدد سعر الجنيه المصري بما يعادل خمسة دولارات أمريكية.

وبالرغم من أن الأوراق النقدية في الأصل مدعومة بمبلغ ذهب كامل من قبل مخزون الذهب وفي تنميتها - لأن الأوراق النقدية نادرا ما تبدل تماما عن الذهب مرة أخرى - بدأ البعض إصدار أوراق النقود لم تدعم بمبلغ ذهب كاملا. ثم في سنة 1971 الولاية المتحدة الأمريكية قررت أنه لم يعد ربطه مع مبلغ الذهب ولو قطعة.

ومن ثم صار حالة النقود الورقية فارغة وبلا معنى ويمشي كوجود الورقة العادية. إلا أن هناك عادة من الناس يعترفون بوجودها ويتقبلون دورها. فصار العادة التي في المجتمع تقوي إعمالها وتمكن استعمالها وتصحح التعامل بها. ولأنه لو انتفينا وجودها فهل هناك بديل يصلح أن يعمل عنها. ولو وجد ذلك البديل لم نقطع أن كل المجتمع قد تقبلها واحتاج إلى تطور تاريخي مكن صالحته في الإستعمال.

فكما أن هناك مذاهب اقتصادية في تحديد النقود الورقية كذالك اختلف الفقهاء في اعتبارها. وخلاصة ما في النقود الورقية بالنظر من الشارع, هل يثبت لها صفة الثمنية تجري عليها الأحكام الشرعية فيه ثلاثة أقوال :

( 1 ) إن النقود الورقية ليست لها أثمانا وليست نقودا شرعية, وإنما هي عبارة عن سندات بديون على من أصدرتها وبالتالي لا تأخذ وصف الثمنية. وبهذا قال بعض العلماء المعاصرين منهم الشيخ محمد أمين الشنقيطي والشيخ أحمد الحسيني والشيخ عبد القادر بن أحمد بن بدران والشيخ المطيعي.
ووفقا لهذا القول الذي اعتبر النقود الورقية سندات بدين على من أصدرها فتأخذ هذه النقود أحكام الدين من عدم جواز بيعها بدين وعدم جواز السلم لأن رأس المال يشترط أن يكون نقدا وتجب الزكاة فيها عند من أوجبوا الزكاة في مال الدائن ولا يجوز بيع بعضها ببعض لأنها سندلت بديون كما لا يجوز شراء الذهب بها لأن الذهب يشترط في تبادله يدا بيد وعينا بعين.
الإستدلال :
- وجود تعهد مكتوب على النقود الورقية بتسليم قيمتها لحاملها, وغالبا ما يكون هذا التعهد من الحكومة.
- تستمد قيمة النقود الورقية من التعهد الرسمي المكتوب على كل ورقة بدفع قيمتها عند الطلب.
- إن الدولة تضمن قيمتها كاملة عند إلغائها أو إبطالها مع أن الثمنية لا يمكن إبطالها.
المناقشة :
- قد يكون هذا القول مقبولا في طورها الأول عندما كانت بحق سندات الديون وكان ذلك في ظل النقود النائبة أو الوثيقة حيث كانت النقود وقتئذ مغطاة برصيد من الذهب او الفضة.
- إن هناك فرقا جوهريا بين سندات الديون والنقود الورقية حيث أن سندات الديون ما أخذ على المدين للتوثيق خشية الضياع ولا يقصد التعامل بها ولا ينتفع الدائن بدينه إلا بعد قبضه. أما النقود الورقية فالأصل فيها والغاية منها هو التعامل والتداول ولا يملك أحد ردها او عدم قبولها.
- لو فقدت أو تلفت النقود الورقية فليس لمالكها مطالبة الجهة المصدرة لها .
- إن القول بأن الأوراق النقدية سندات ديون يوقع في حرج شديد حيث يؤدي ذلك إلى عدم وجوب الزكاة كما يؤدي إلى عدم صلاحية رأس المال في السلم أو الشركات.

( 2 ) إن النقود الورقية ليست أثمانا, وإنما هي عروض تجارة فلا تأخذ صفة الثمنية ويجري عليها سائر أحطام العروض. وبهذا قال الشيخ عليش من متأخري المالكية والشيخ عبد الرحمن السعدي وغيرهم.
ووفقا لهذا القول فإن هذه النقود يسري عليها سائر أحكام العروض من عدم جريان الربا فيجوز بيع بعضها ببعض متفاضلا أو نسيئة. وذلك لأن الربا محرم في الأصناف الربوية والنقود الورقية. وكذلك لا يصح السلم بها لأن السلم ينبغي أن يكون رأس ماله نقدا. ولا تجب الزكاة فيها إلا أعدت للتجارة. وقد خفف بعضهم من هذا الحكم فقال بوجوبها رغم قوله بعدم ثبوتها حرصا على مصلحة الفقراء.
الإستدلال :
- الورق النقدي مال متقوم مرغوب ومدخر يباع ويشترى ولكن تخالف ذاته ومعدنه ذات الذهب والفضة ومعدنهما.
- الأوراق النقدية تتغير قيمتها بالرواج والكساد, فتقاس على الفلوس وقد اعتبر الشافعي وغيره الفلوس نقودا.
- إذا انقطعت أو أبطلت الدولة التعامل بها فلا قيمة لها.
- انتفاء الجامع بين الورق النقد والنقدي المعدني في الجنس والقدر. أما من ناحية الجنس فالورق النقدي قرطاس والنقد المعدني معدن نفيس. وأما من ناحية القدر فالنقد المعدني موزون والنقد الورقي فلا دخل للوزن ولا للكيل.
- عدم جريان الربا فيها.
المناقشة
- إن الإعتبار بأن الأوراق عروض وسلع ينتفع بها, هذا قبل أن تتحول إلى نقود بطبعها وإعدادها على شكل معين. ومن ثم فالعبرة بما انتقل الورق النقدي من جنسه الأصلي إلى جنسه الإستعمالي لإعتبار الإلزام بالتعامل بها وأنه يحمل قيمة معينة.
- ليست النقود الورقية عروضا ولا صلة بها, لأنها ليست بينها وبين العروض مناسبة يمكن أن يتكأ عليها بل بينهما فرق. حيث ان العروض تقصد للإنتفاع بأعيانها. أما النقود الورقية فلا تطلب للإنتفاع بأعيانها وإنما هي تطلب لتكون أثمانا ووسيلة للحصول على غيرها.
- وأما القول بانتفاء الجامع فيرد عليه بأن الجامع موجود وهو الثمنية الثابتة للنقود الورقية باصطلاح الكل والعرف العام.
- وأما القول بعدم الجريان على الربا فيها فرد بأنه لو لم تصلح هذه الأوراق ففيه ما لا يخفى من الفساد والتضييق على الناس في معاملاتهم.
- وأما القياس على الفلوس فرد بأن النقود الورقية أعلى رواجا من الفلوس في السابق وأصبح لها قوة إبراء غير محدودة.

( 3 ) إن النقود الورقية إلزامية تثبت لها صفة الثمنية, فهي تعد بديلا نقديا عن النقود الذهبية والفضية ويجري عليها سائر أحكامها خاصة بعد أن استقر الناس على اعتمادها وقبولها مقياسا للقيم ووسيطا للتبادل وأداة للإدخار. وإلى هذا ذهب غالبية الفقهاء منهم الشيخ أبو حسن الكشناوي والشيخ عبد الله بن منيع والشيخ حسن مأمون والشيخ أحمد هريدي والشيخ أحمد زرقا والشيخ علي السالوس وغيرها.
ولكنهم - وإن اتفقوا على القول بثمنية النقود - اختلفوا في تخريجها ودرجتها بالنسبة للنقدين على أربعة أقوال :
الأول, ذهب فريق منهم إلى أن النقود الورقية كالفلوس في طروء الثمنية عليه ( بخلاف المذهب الثاني, فإنهم اعتبروا النقود الورقية فلوسا ). وبهذا الدكتور تقي الدين العثماني, والشيخ أحمد الخطيب, والشيخ أحمد زرقا.
وحجتهم في ذلك أن النقود الورقية عملة رائجة بسبب إلزام الدولة بها, فراجت رواج النقدين فأشبه الفلوس.
ونوقش بأن بأن هذا قياس مع الفارق حيث إن الفلوس لها قيمة ذاتية غير القيمة النقدية. أما النقود الورقية بحسب ذاتها فليست لها أية قيمة.
الثاني, وذهب فريق منهم إلى أن النقود الورقية متفرعة عن الذهب والفضة وبدل منها. وللبدل حكم المبدل منه. ومن ثم فتقوم مقام النقدين. وبهذا الشيخ عبد الرزاق عفيفي والشيخ عبد الجبار السبهاني.
وحجتهم : أن النقود الورقية تعتمد على تغطيتها بالذهب والفضة فهي قائمة في الثمنية مقام ما تفرعت عنه لأنها في ذاتها لا تساوي شيئا.
ونوقش : بأن هذا القول مبني على أن النقود الورقية مغطاة غطاء كاملا بالذهب والفضة. وهذا خلاف الوافع.
الثالث, وذهب الأخر إلى أن النقود الورقية تثبت لها صفة الثمنية, ولكن الثمنية القئمة بالنقود الورقية دون الثمنية القائمة في النقدين.
وحجتهم : أن النقود الورقية ليست ذهبا ولا فضة ولكنه أعطي وصف الثمنية لإصطلاح الناس على التعامل بها, فتكون الثمنية فيها أقل من النقدين. ولا يسري عليها أحكام النقدين إلا ما يتناسب مع طبيعتها. ومن ذلك ربا النسيئة, فيحرم التعامل بها نسيئة. ولا باس بالتعامل بها لأن الحاجة ماسة إلى التعامل بهذه النقود.
ونوقش : بأننا إذا قلنا بأن وصف الثمنية ثابت للأوراق النقدية لجريان التامل بها فإنه يجب جريان الربا في التعامل بكل أنواعه, لأن مقتضى التحريم في الذهب والفضة هو الثمنية فهذا يقتضي أن تلحق النقود الورقية بالذهب والفضة في التحريم.
الرابع, وذهب الأخرون إلى أن النقود الورقية عبارة عن نقد قائم بذاته كالذهب والفضة وغيرها من الأثمان. فهي تعامل معاملة الذهب والفضة مع أنها شيئ أخر غيرهما, تقوم النقدية فيها كقيامها في الذهب الفضة. والأوراق النقدية أجناس متعددة بتعدد الجهات التي أصدرتها.
الإستدلال
- إن النقود الورقية تقوم بكل وظائف النقود, وحيث أصبحت ثمنا للمبيعات فهي وسيلة التبادل ومعيار القيم وأداة للإدخار.
- إن قوة النقود الورقية تستمد على ما عليه البلاد من حالة إقتصادية وإصدار الدول القوانين بالإلزام بها وحمايتها.
- إن النقود الورقية موغلة في الثمنية. فالثمنية فيها أوضح من الذهب والفضة لأن النقود الورقية لا يمكن أن تكون سلعة فإذا ألغي التعامل بها فلا قيمة لها. بخلاف النقدين فكانا أثمانا وقد يتحول إلى سلع.
- قد حرم الربا في النقدين الذهب والفضة لما يترتب على التعامل بها من مفاسد. ونفس المفاسد حاصلة في النقود الربوية, فيجب النهي عن التعامل الربوي في النقود الورقية.
- قد تحقق في النقود الورقية شرط النقود, وهي تلقي الناس لها بالقبول.
- اختلاف جهات الإصدار من قوة وضعف وسعة وضيق ونفوذ السلطان كل ذلك يقتضي أن تكون هذه النقود الورقية أجناسا مختلفة باختلاف جهات إصدارها. فكما أن الذهب والفضة جنسان لإختلاف كل منهما عن الأخر في القيمة الذاتية.
المناقشة :
- إن قيام النقود الورقية وظيفة لكل المعامل سببه قبول عامة الناس على إعمالها. فلو فرضنا أن عامة الناس استعمل ورق الشجر أو غصنه وتقبلوا بكل ما صدرت منها لجاز. وكذلك النقود الورقية.
- إن الإستماد على ما عليه البلاد من حالة إقتصادية وإصدار القوانين بالإلزام بها وحمايتها لا يدل على أنها نقد قائم بذاتها. لأن وجود النقد يدل على ذاتها كالذهب فإن ذاته يدل على أنه شيئ نفيس بخلاف النقود الورقية فإن ذاتها لا تدل على شيئ عظيم بل على الخسارة. وأما قوة الإقتصاد وإصدار القوانين بالإلزام والحماية فلأن النقود الورقية تتعلق بالمعاملة التي لو قطت فسد حياة الناس ومعاشهم. فلو فرض أن البلد أبدل النقود الورقية بالنقود الأغصانية واتفق كل الناس لجاز.
- إذا أصبحت النقود الورقية موغلة في الثمنية فليست بسبب ذاتها ولكن بسبب عادة الناس للمعاملة بها. بل يمكن أن تكون النقود الورقية موغلة في الثمن, بمعنى أنها إذا تحولت إلى سلع لم تصر إلى شيئ لا قيمة لها بل مازالت شيئا نفيسا واعتبروا قيمتها حتى إذا كسرت وصارت غبارا لم يتركوا وأخذوها. بخلاف النقود الورقية فإنها إذا دخلت إلى جهة الإصدار الأخر لم يتعاملوا وتركوها بل يعتبر هذا جريمة في بعض الأماكن. وكذلك إذا أبدلت الدولة نوع النقود الورقية بنوع أخر فلا يجوز التعامل بالنقود الورقية القديمة.
- إن حرمة الربوي بالنقود الورقية باعتبار أنها مع مبلغ من المال. وذلك جار في الزمان الماضي. أما بالنسبة للزمان الحاضر فقد كان كثير من الدول لم تكن مع مبلغ إلا مع قلة. بل يوجد دولة التي لم تقابل النقود الورقية منها بمبلغ من المال كدولة المتحدة الولاية الريكية. فكان اعتبار الربوي منها بحسب عادة أهلهم وقبولهم.
- إن القبول لها لم يدل على أن في ذاتها قيمة نفيسة بل هو بعادة الناس على القبول بها. بل لو كان هناك عادة الناس بقبول جلد الشاة أو البقرة أو غيرها ألة للتعامل صار من الضروري استعمالها.
- إن إختلاف جهات الإصدار من قوة وضعف وسعة وضيق ونفوذ السلطان لم يثبت أن ذاتها لها قيمة نفيسة تصحح أن ثمنيتها أعلى من الذهب والفضة بل لأنها صارت ألة للتعامل بحيث انه لو فقد الناس لأصابهم مشقة وضيق في المعاملة. ولذلك كان نفوذ السلطان للمصلحة وهي دفع الضيق والمشقة الذي لو عدمت النقود الورقية لم يوجد المعاملة بين الناس.

وذهب شيخنا وأستاذنا نصر فريد بأن هذه النقود الورقية من الوجهة الفقهية الشرعية نقود اصطلاحية وعرفية وشرعية في التعامل بها للضرورة إليها وحاجة الناس للتعامل بها لتيسير كل أمور حياتهم ومعشهم, وذلك لأن العرف الذي لا يخالف النص الشرعي عرف صحيح يعول عليه في استنباط ومعرفة الأحكام الشرعية.

وبذلك يمكن أن تدخل النقود الورقية في القياس الشرعي بضابط ومعيار ثابتين من حيث الوزن المالي لكل وحدة مالية مبينة بأصل شرعي حقيقي ترتبط به وتقاس عليه في كل الأحوال. ويمكن أن تدخل أيضا في الأجناس الربوية بطريق القياس الشرعي باعتبار أن الميزان الحسابي الثابت المرتبط بأصل ثابت له من الشرعي يمكن التعويل عليه واعتباره شرعا .

وهذا الإتجاه موافق مع رأينا وصالح أن يعمل به. ولو كان هناك في هذا العصر بعض الناس لم يعترف ثمنية النقد إلا بالذهب, لأن الإحتياج بها لا يمكن أن ينف ولو كانت النقود الورقية بحسب ذاتها الأصلي لم تدل على شيء عظيم.

ثم السوال بعد ذلك لم يتوقف, ومن الأسئلة التي تدور حولها هي هل كان استعمال النقود الورقية من الحالة الإضطرارية أو من الحالة الإختيارية بحيث أنه لو وجد هناك سوق مثلا يتعامل فيه أناس بالذهب مع أنهم يعترفون أيضا نقدية الورقة. وهل يلزم علينا اللجوء إلى الذهب باعتبار أنه المنصوص في القرأن والسنة ؟ أو استويا الطرفان من استعمال الذهب أو النقود الورقية ؟

وبالنظر إلى هذه الحالة يمكن أن يكون الطرف الثاني - وهو استواء الطرفين من استعمال الذهب أو النقود الورقية - المختار. وذلك لأنه لا يصير وجود النقدية الورقية شيئا ملغى مع أن هناك ذهبا يتفق قيمته حتى ينفى استعمالها في التعامل.

ولكن الأهم من هذه الإجابة أصبح هذا التفكير قويا وحاولوا أن يجعل الذهب مصدرا أساسيا في الأسواق التجارية خاصة بعد الإفلاس الإجمالي الذي أصاب دولة الأمريكية وباقي الدول الكبرى سنة 2007. فنظروا بأن النقود الورقية التي كانت مستعملة في دولة الأمريكية وباقي الدول الأوربا لم تستطع أن ينخفض سعره في وقت مع أنه لا توجد النقود أقوى منها. ثم بعد ذلك أبدوا رأيهم بأنه لا يلزم علينا اللجوء إلا إلى الثمنية الأصلية وهي الذهب.


ومهما جوزنا تداول النقود فلقد أثر في حالة على وجوده نفسه في المجتمع. وهذا التأثير ربما كان بالإرتفاع المتزايد في أسعار السلع والخدمات. سواء أكان هذا الإرتفاع ناتجا عن زيادة كمية النقد بشكل يجعله أكبر من حجم السلع المتاحة أو عن زيادة في الإنتاج فائضة عن الطلب الكلي أم كان بسبب ارتفاع تكاليف الإنتاج.

وهذه الصورة تسمى التضخم, وليس من السهل تحديد متى يصبح ارتفاع الأسعار تضخما ولو كان هنا مقادير في حساب السعر السوقي أو تحديد جملة النقود الورقية التي تتداول في المجتمع.


التضخم

وبالنظر إلى الواقع يمكن تحديد معنى التضخم بأنه عملية ارتفاع الأسعار بشكل عام ومستمر مرتبطة بألية السوق يمكن أن يكون سببه عوامل مختلفة من بين أمور أخرى أوزيادة الطلب على السلع الاستهلاكية أو إطلاق عدم توزيع السلع. وبعبارة أخرى التضخم كون عملية التراجح في قيم العملات بشكل مستمر. وإن مستويات الأسعار التي تعتبر ارتفاع معدلات التضخم لا يشير بالضرورة أنه تضخم. وهو يعتبر مفروضا إذا حدث ووقع زيادة الأسعار بشكل مستمر وأصاب كلا من الطرفين كالبائع والمشتري وكالمالك والعامل وكالدائن والمدين.

كما أنه يستخدم مصطلح التضخم بمعنى زيادة المعروض من الأموال في ما يعتبر سببا في ارتفاع الأسعار أحيانا, يستعمل أيضا هناك طرق عديدة لقياس معدل التضخم. ولكن اثنان الأكثر استخداما وهما :
( 1 ) مؤشر أسعار المستهلكين وهو الرقم القياسي الذي يقيس متوسط سعر السلع والخدمات المستهلكة من قبل الأسر.
( 2 ) معامل انكماش الناتج المحلي الإجمالي. وهو يظهر التغير في أسعار جميع السلع سواء أكان سلعا جديدة أو سلعا جديدة منتجة محليا أو خدمة من الخدمات.

وبالنظر إلى سببه, يمكن أن يكون سببه عن طريق أمرين. وهما :
( 1 ) طلب سحب. وهو يحدث بسبب الإفراط في الطلب الكلي حتى يكون هناك تغيير في مستوى الأسعار أدت زيادة الطلب على السلع والخدمات. وهي تؤثر في زيادة الطلب على عوامل الإنتاج حتى صار ذلك سببا إلى ارتفاع السعار.
( 2 ) الطلب الإستمراري على تكاليف الإنتاج. ووقع له ذلك بسبب ارتفاع تكاليف الإنتاج ( المدخلات ) حتى أدى في أسعار المنتجات ( المخرجات ) مرتفعا. وارتفاع تكاليف الإنتاج بسببين , بزيادة الأسعار وزيادة الأجور.

ويمكن أن يضبط سبب وجود التضخم بصور, منها :
( 1 ) مستويات الإنفاق الكلي التي تتجاوز قدرة الشركة على إنتاج السلع والخدمات.
( 2 ) طلب الأجور من العمال أعلى مما سبق.
( 3 ) الزيادة في أسعار السلع المستوردة.
( 4 ) زيادة عرض النقود بطريق طباعة الجديدة مفرطا.
( 5 ) الفوضى من السياسي والإقتصادي.

وباعتبار أصله فالتضخم ينقسم إلى قسمين :
( 1 ) التضخم الذي يأتي من داخل البلد. وهو يحدث بسبب العجز في المزاينة الممولة عن طريق طباعة النقود الجديدة وانهيار السوق الذي أدى إلى ارتفاع أسعار الغذائية لتكون مكلفة.
( 2 ) التضخم الذي يأتي من خارج البلد. وهو التضخم الذي وقع نتيجة لإرتفاع أسعار السلع المستوردة. وهذا يمكن أن يحدث نتيجة لتكلفة إنتاج السلع وراء البلدة الأخرى أو زيادة في الرسوم الجمركية على السلع.

ويقسم أيضا بحسب مقدار تأثير التغطية على أسعار إلى نوعين :
( 1 ) إذا كانت الزيادات في الأسعار التي وقعت يرتبط مع واحد أو اثنين فقط, فالتضخم يسمى التضخم الإغلاقي.
( 2 ) إذا حدث ارتفاع السلع بصفة عامة, فالتضخم يسمى التضخم المفتوحي.
ولكن إذا كان التضخم بهجوم كبير في جميع الأوقات بحيث تكون الأسعار تتغير باستمرار ولا يمكن للناس أن يحمل المال لمدة أطول بسبب انخفاض قيمة من المال فيسمى التضخم بالتضخم الجامح أو الإفراطي.

وكذلك يمكن تقسيم التضخم إلى :
( 1 ) التضخم الخفيف بالقدر أقل من 10 % سنويا.
( 2 ) التضخم المتوسط بالقدر بين 10% إلى 30% سنويا.
( 3 ) التضخم التغليظي بالقدر 30% إلى 100% سنويا.
( 4 ) التضخك الإفراطي بالقدر أكثر من 100% سنويا.

التضخم له تأثير إيجابي وآثار سلبية اعتمادا على ما إذا كان ضعف وقوة التضخم. وإذا كان التضخم معتدلا أو خفيفا فله تأثير إيجابي بمعنى أن من شأنه أن يحفز الاقتصاد بشكل أفضل، وهذا هو لزيادة الدخل القومي والحصول على الناس متحمسون للعمل والادخار والاستثمار. وكذلك التضخم المتوسط.

وعندما يكون هناك تضخم لا يمكن السيطرة عليه في الاقتصاد لم يكن الناس سعداء حول العمل، والادخار، أو جعل الاستثمار والانتاج لأن الاسعار ترتفع بسرعة ولأنهم - مثل موظفي الخدمة للمدنية أو الموظفين والعاملين في القطاع الخاص - دار أن تكون عليهم ساحقة للتحمل والحفاظ على الأسعار بحيث تصبح حياتهم متراجعا متزايدا وسقطت من وقت لآخر.

وبالنسبة للأشخاص الذين لديهم دخل ثابت، فالتضخم هو مكلف وضار للغاية. نأخذ مثالا على موظف حكومي متقاعد في عام 1990. في عام 1990 معاشه التقاعدي هو كافية لتلبية ضرورات الحياة، ولكن في عام 2003 أو ثلاثة عشر عاما في وقت لاحق، والقوة الشرائية للنقود قد تكون فقط نصفا. وهذا يعني أن المال التقاعدي لم يعد كافيا لتلبية احتياجات الحياة. بخلاف العكس الذين ليس لديهم دخل ثابت وهم الناس الذين يعتمدون على دخل الربح من أي شيئ غير مستقر مثل رجال الأعمال فقد لا ينال لهم تكليف وضار من وجود التضخم. وكذلك الموظفون الذين يعملون في الشركات التي ليس لها تأثير قوي من التضخم.

التضخم يتسبب أيضا في الناس يترددون في حفظ المال بالبنك بسبب انخفاض قيمة العملة في الواقع. طبعا ادخار المال في البنك يكسب الفائدة ، ولكن إذا كان سعر الفائدة أعلى من معدلات التضخم انخفض قيمة المال على أي حال. وبعده عندما كان الناس يترددون في توفير المال فالأعمال التجارية والاستثمار يكون من الصعب تطويره لأنه لتطوير الأعمال في العالم يتطلب من البنوك الحصول على أموال من المدخرات العامة.

بالنسبة للأشخاص الذين إقترضوا من البنوك ( المقترضين ) التضخم مفيد لأنه في ذلك الوقت دفعوا الديون المستحقة للدائنين وقيمة المال الذي قبض قبله هو أقل مما كان في ذلك الوقت للاقتراض. وعلى العكس فالدائنون يقبضون خسائر لأن قيمة الدين المقابل أقل من وقت الاقتراض.

وبالنسبة للمنتجين، ويمكن أن يكون مربحا إذ بالتضخم الإيرادات التي يحصلها أعلى من الزيادة في تكاليف الإنتاج وعندما يحدث هذا سيتم تشجيع المنتجين لمضاعفة إنتاجها ( حيث يحدث هذا عادة في الشركات الكبيرة.( ولكن عندما حصول التضخم أدى إلى ارتفاع تكلفة الإنتاج في نهاية المطاف ضر ذلك إلى المنتجين. فالمنتجون يترددون على مواصلة الانتاج ويمكن للمنتجين وقف الإنتاج لفترة من الوقت ولكن في الواقع إن لم تكن قادرة على متابعة معدل التضخم ودفع تكلفة الإنتاج فقد تكون الشركة المصنعة قريب الإفلاس (يحدث عادة في الشركات الصغيرة).

بشكل عام, فالتضخم يمكن أن يؤدي إلى انخفاض الاستثمار في بلد ما مما دفع ارتفاع أسعار الفائدة، وعدم تنفيذ التنمية، وعدم الاستقرار الاقتصادي، والعجز في ميزان المدفوعات، وتدني مستويات الحياة والإزدهار.

فالصور التي كما سبق هي من الآثار الاقتصادية بالتضخم. وفي جميع الحالات بالتقريب كان هناك قلق عام في وقت التضخم المفرط. ثم إذا أصبحت هذه القضية في المنظور الإقتصادي فكيف الاستجابة من ناحية الفقه بشأن المشاكل المذكورة. فمن الأسئلة التي هي مشكلة للمجتمع :
( 1 ) هل صار إلزاميا للحكومة رفع رواتب المجتمع الذين لديهم دخل ثابت مثل موظف متقاعد بعد حدوث التضخم, لأنه حصل عليه نفس المبلغ من الراتب؟
( 2 ) عند أن حدث التضخم فعالم الأعمال والإستثمار صعب فيه التشغيل لأن في الاستثمار مع تطوير التمويل مطلوبا من البنك ويجب الحصول عليه من المدخرات العامة. فهل يجب على الحكومة تقديم قروض على البنوك أو تقديم الإعانات على عامة الناس؟
(3 ) مثلا إذا اقترض من البنك 1000 $ مع أن 1 $ يساوي 10.000 روبية وبعد شهرين حصل التضخم وكان 1 $ يساوي 15.000روبية :
1 $ = 10.000 روبية, فجملة الإقتراض 1.000 x 10.000 = 10.000.000 روبية
وبعد شهرين :
1$ = 15.000 روبية, فجملة الإقتراض 1.000 $ 15.000 = 15.000.000 روبية.
وإذا أقبض المقترض في هذه الحالة بجملة الدولار التي أخذها قبل شهرين حصل ربح كثير له وخسران مبين للبنك. فهل على المقترض دفع 10.000.000 أو 15.000.000 روبية. وكذلك البنك, هل عليه أخذ 10.000.000 أو 15.000.000 ؟
( 4 ) إن لم تكن الشركة المصنعة قادرة على متابعة معدل التضخم وكذلك رجال الأعمال - فقد تكون قريب الإفلاس - فهل يلزم على الحكومة التعاون بدفع أو بإقراض مبلغ من المال ؟

بالنسبة للسؤال الأول والثاني والثالث فإننا نرى أنه لم يكن لازما للحكومة تحصيله, بمعنى أنها يجوز المحاولة فيها أم لا. والحكم بالجواز مستمر إلا إذا كان هناك أمور توجبه. وقد وقع مثل هذا في الزمان الماضي, ومن الأمثلة ما هو يسمى بقضية التسعير.

وقد قال ابن القيم في الطرق الحكمية بقضية التسعير:

" وأما التسعير فمنه ما هو ظلم محرم ومنه ما هو عدل جائز فإذا تضمن ظلم الناس وإكراههم بغير حق على البيع بثمن لا يرضونه أو منعهم مما أباح الله لهم فهو حرام وإذا تضمن العدل بين الناس مثل إكراههم على من يجب عليهم من المعاوضة بثمن المثل ومنعهم مما يحرم عليهم من أخذ الزيادة على عوض المثل فهو جائز بل واجب.
فأما القسم الأول فمثل ما روى أنس قال غلا السعر على عهد النبي صلى الله عليه و سلم فقالوا يا رسول الله لو سعرت لنا فقال " إن الله هو القابض والرازق الباسط المسعر وإني لأرجو أن ألقى الله ولا يطلبني أحد بمظلمة ظلمتها إياه في دم ولا مال " رواه أبو داود والترمذي وصححه. فإذا كان الناس يبيعون سلعهم على الوجه المعروف من غير ظلم منهم وقد ارتفع السعر إما لقلة الشيء وإما لكثرة الخلق فهذا إلى الله فإلزام الناس أن يبيعوا بقيمة بعينها إكراه بغير حق.
وأما الثاني فمثل أن يمتنع أرباب السلع من بيعها مع ضرورة الناس إليها إلا بزيادة على القيمة المعروفة فهنا يجب عليهم بيعها بقيمة المثل ولا معنى للتسعير إلا إلزامهم بقيمة المثل فالتسعير ههنا إلزام بالعدل الذي ألزمهم الله به."

فقد قسم ابن القيم إلى أن للتسعير نوع الجواز ونوع الحرام. ونوع الجواز إذا تضمن العدل وتحققت المصلحة بين عامة الناس. ونوع الحرام إذا اشتمل الظلم على الناس وإكراههم بغير حق. وعلى ذلك جاز للحكومة عدة إجراءات ووسائل لمقاومة التضخم مثل الضريبة وتحديد التموين والإدخار الإجباري وتغيير التقود.

وهذا الجواز ما لم يكن أمور ضرورية تدعوا إلى الوجوب. وإذا صار إلى هذا الحد لزم المحاولة بأي نوع ما. ومثاله ما أخذت به إنجلترا من الضرائب في أثناء الحرب العالمية الثانية وكذلك ما فعل الحكومة الإندونيسية سنة 1960 بتخفيض قيمة العمولة من 1000 روبية إلى 1 روبية, وذلك لأن معدل التضخم بلغ 650% سنويا.

وأما السؤال الثالث فهو الذي يحتاج إلى نظر. إذا أمر الحكومة بأنه لزم تتبع الأسعار في التضخم قضى به فأخذ المقترض 15.000.000. وذلك لأن أمر الحاكم متبع به وقاطع للخصومة. وكذلك إذا اتفقا من المقرض وهو البنك والمقترض وهو الذي اقترض مالا من البنك بأنه لزم عليه دفع ما قررا ولا عبرة بالتضخم.

أما إذا لم يكتب الحكومة النظام و القوانين أو لم يتفقا في التعامل إذا كان التضخم فهذا من محل نظر. فلقد اختلف الفقهاء المعاصرون في أثر تغير قيمة النقود الورقية على الحقوق والإلتزامات التي ثبتت في ذمة المدين قبل التغير على أربعة أقوال :

( 1 ) ذهب فريق من العلماء المعاصرين إلى أنه لا ينظر غلى غلاء أو رخص قيمة النقود الورقية. فيؤدى الدين بمثله لا بقيمته فلا يجب على المدين إلا مثل ما عليه عدد من النقود الورقية دون زيادة أو نقصان. وبه صدر فتوى مجمع الفقه الإسلامي في دورته الخامسة المنعقدة في الكويت في الفترة من 1- 6 جمادي الأولى سنة 1409 . وقد أخذ أيضا مؤتمر البنك الإسلامي للتنمية والذي كان منعقدا بالتعاون مع المعهد العالمي للإقتصاد الإسلامي في جدة سنة 1987 .
الإستدلال
استدل القائلون بالمثلية بالقرأن والسنة :
- قوله تعالى " ياايها الذين أمنوا أوفوا بالعقود ". ووجه الإستدلال أن الله تعالى أمر بالوفاء بالعقود وما اتفق فيها. ولا يتحقق الوفاء بالعقود إلا بأداء ما وقع الإتفاق عليه قدرا ونوعا وصفة. فيكون الأداء بما وقع عليه الإتفاق واجبا وهو لا يكون إلا بالمثل.
- قوله تعالى " ولا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل ..." فالأية الكريمة تنهى عن أكل أموال الناس فوجب على الإنسان أن لا يأخذ مال غيره إلا عن رضى منه وبالعدل. ولا عبرة بغلاء أو رخص لأنه مما تجري به عادة الأمور وكان المتعاقدان يعلمان ذلك وقت العقد.
- أما السنة فبما رواه عبادة بن الصامت أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال " الذهب بالذهب و الفضة بالفضة والبر بالبر والشعير بالشعير والتمر بالتمر والملح بالملح مثلا بمثل سواء بسواء يدا بيد. فإذا اختلفت هذه الأصناف فبيعوا كيف شئتم إذا كان يدا بيد."
ومثله ما رواه أبو سعيد الخدري أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال " لا تبيعوا الذهب بالذهب إلا مثلا بمثل ولا تشفوا بعضها على بعض ولا تبيعوا الورق بالورق إلا مثلا بمثل ولا تشفوا بعضها على بعض ولا تبيعوا منها غائبا بناجز".
فدل الحديث دلالة واضحة على أنه يجب الأداء بالمثل عند تبادل الأثمان. والنقود الورقية تعتبر من الأثمان فيجب الأداء بالمثلي تجنبا من الوقوع في الربا.
- والدليل من الحديث كذلك ما روي عن ابن عمر أنه قال " كنت أبيع الإبل بالبقيع فأبيع بالدنانير وأخذ الدراهم وأبيع بالدراهم وأخذ الدنانير, آخذ هذه من هذه وأعطي هذه من هذه فسألت رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال لا بأس أن تأخذها بسعر يومها ما لم تفترقا وبينكما شيئ ".
ووجه الدلالة أن هذا الحديث يعد أصلا في الدين أن يؤدي بمثله لا بقيمته, وقد طلب رسول الله صلى الله عليه وسلم عند تعذر المثل أن يؤدي أصلا في الدين فيؤدي بمثله لا بقيمته, وقد طلب رسول الله صلى الله عليه وسلم عند تعذر المثل أن يؤدي إليه من الجنس الأخر حسب سعر الصرف يوم الأداء لا يوم ثبوت الدين في الذمة.
- القول بأداء المثل يمنع الغرر ويؤدي إلى رفع الجهالة.
- المثليات يجب أن تؤدى بمثلها فلما كانت النقود الورقية مثليا وجب أن تؤدى بالمثل.
المناقشة :
- إن الله أمر بالوفاء بالعقود والوفاء بمقتضى العقد ينبغي أن يكون حقيقيا لا صوريا. وحقيقة الوفاء الحقيقي أن يكون الوفاء بالقيمة التي التزمها لا بالعدد.
- أما النهي عن أكل أموال الناس بالباطل إذا كان الدفع بالقيمة فرد بأن كلا من المتباعين قد يأخذان انتفاعا بحسبهما. أما المدين فقد أخذ مبلغا أكثر مما قبله, وليس هذا منهيا لأن الدائن قد علم ورضي به. أما بالنسبة للدائن فقد جلب مالا كثيرا من المجتمع الذي أدان قبله ثم يستخدم لتنظيم الشركات أو المقاولين.
- أما الحديث الذي رواه عبادة بن الصامت وأبو سعيد الخدري فرد بأنه يعطى حكم النقود المتداولة في زمانهم وهو النقود الذهبية والفضية التي كانت قيمتها ذاتية. والقصد من النبي صلى الله عليه وسلم أن يحفظها من التذبذب والتغير في قيمتها لتبقى معيارا للتثمين والقيمة.
- أما الحديث الذي روي عن ابن عمر فهو ضعيف كما قال ابن حزم. ولو فرضنا أنه صحيح فليس دليلا على المثلية بل يمكن أنه في يوم الوفاء قد يكون سعر الصرف قد اختلف. فتكون القيمة في ذلك الوقت أكثر أو أقل مما كانت عند العقد.
- القول بأن أداء المثل يمنع الغرر مردود بأنه لما كان التضخم وضعف العملة من بلد واحد وقويت من بلد أخر لم يقطع أن المثليات لم يؤد إلى الغرر ورفع الجهالة, بل له فتع إلى المخالفة والمخاصمة بين الناس لأنه لم يقبل عقلا أن يساوي القوي بالضعيف.
- إن الكلا بأن النقود الورقية مثلية يلزم تعامله بالمثلي هذا إذا كان في حالة الإختياري. أما إذا كان في حالة الإضطراري فكل شيئ ممكن وجائز مع أن تغير النقود الورقية في حالة الإضطرار.

( 2 ) إذا تغيرت قيمة النقود الورقية فإنه يجب رد القيمة, ومن ثم فعلى المدين لأن يدفع قيمة النقود الثابت في ذمته اعتبارا بيوم العقد في البيوع وبيوم القبض في القرض. وهذا ما ذهب إليه بعض الفقهاء المعاصرين ويتفق مع ما ذهب إليه أبو يوسف من الحنفية في أخر قوليه. وكذلك بعض الحنابلة ورجحه ابن تيمية.
الإستدلال :
- قوله تعالى " وأوفوا الكيل والميزان بالقسط ...". ووجه الدلالة أن الله سبحانه وتعالى أمر بالوفاء بالإلتزامات بالعدل والقسط. وفي النقود الورقية التي تغيرت قيمتها إذا أعاد المدين مثلها فلا يكون موفيا بالعدل لأن قيمة المثل في يوم الأداء أقل من قيمته في يوم القرض فانتفى الوفاء بالعدل.
- قوله تعالى " إن الله يأمركم أن تؤدوا الأمانات إلى أهله. وإذا حكمتم بين الناس أن تحكموا بالعدل ". ووجه الدلالة بالأية أن الله سبحانه وتعالى أمر بإقامة العدل بين الناس والحكم بها. وتكليف المدين بدفع مثل ما وقع عليه العقد رغم تفاوت القيمة ليس إقامة العدل حيث إنه إما سيدفع أكثر مما التزمه إذا ارتفعت قيمة النقود, أو إنه سيدفع أقل مما التزمه إذا انخفضت قيمتها, فيقع الظلم إما بالدائن وإما بالدين, ورفع الظلم وإقامة العدل واجب وذلك باللجوء إلى القيمة.
- ما رواه أبو سعيد الخدري أنه صلى الله عليه وسلم قال " لا ضرر ولا ضرار ". ووجه الدلالة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن الضرر أو إلحاق الضرر بالغير - استخرج الفقهاء على هذا الحديث قاعدة الضرر يزال - . وارتفاع القيمة وانخفاضها يعتبر عيبا قد لحق النقود ويترتب عليها الضرر لأحد المتعاقدين فوجب إزالته .
- ما روي عن ابن عمر رضي الله عنه قال " كنت أبيع الإبل بالبقيع فأبيع بالدنانير وأخذ بالدراهم وأبيع بالدراهم وأخذ بالدنانير, أخذ هذه من هذه وأعطي هذه من هذه فسالت رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال لا بأس أن تأخذها بسعر يومها ما لم تفترقا وبينكما شيئ". ووجه الدلالة أن ابن عمر كان يبيع الإبل بالدنانير كأن يبيع الجمل بعشرين دينارا, ثم لا يجد المشتري دنانير فيقبضه بقيمتها دراهم فأجاز له رسول الله صلى الله عليه وسلم هذا التعامل. وقد يكون هذا البيع مؤجلا ووقع العقد يوم أن كانت قيمة الدينار مثلا تساوي عشرة دراهم وعند الوفاء كانت قيمته أحد عشر درهما.
- ما روي عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قوم الدية على أهل القرى أربعمائة دينار أو عدلها من الورق وقومها على أهل الإبل, فإذا غلت رفع قيمتها, وإذا هانت نقص قيمتها. ولقد روى أيضا عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده أنه قال " كانت الدية على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم ثمانمائة دينار, وثمانية ألاف حتى استخلف عمر فقام خطيبا فقال ألا إن الإبل قد غلت, قال ففرضها على أهل الذهب ألف دينار وعلى أهل الورق اثنا عشر ألف درهم. " ووجه الدلالة أن الحديث دل على أن الأية لم تكن محددة وثابتة بل كانت تختلف من وقت لأخر بحسب اختلاف قيمة النقود والتي تتغير حسب إختلاف قيمة الإبل.
- إن تغير النقود يلحق ضررا كبيرا بالمتعاقدين, فيمكن الحاقها بنظرية الظروف الطارئة حيث إن الأضرار لم تكن متوقعة أثناء العقد, وتغير قيمة النقود خارج عن ارادة المتعاقدين فيجب اللجوء إلى أداء ما ثبت في الذمة بالقيمة تطبيقا لنظرية الظروف الطارئة.
المناقشة :
- نوقش الإستدلال بقوله تعالى " وأوفوا الكيل والميزان بالقسط " بأن الأية لم يكن كما قيل. لأن الله سبحانه وتعالى أمر بالوفاء بالكيل والميزان الذي وقع به العقد في يوم التعاقد مع أنه قد يرتفع أو وينخفض سعر أو قيمة المكيل. فأمر الله بالوفاء بالكيل والوزن على حسب ما تم عليه العقد. وعلى ذلك فالرخص أو الغلاء لا يلتفت إليه يلا يؤثر ما دام مثليا وأمكن أداءه بمثله.
- وأما الأية التي فيها أمر التي فيها أمر بإقامة العدل بين الناس فنوقش بأن من ضمن إقامة العدل بين الناس الإلتزام بأداء المثل إن كان محل الإلتزام مثليا دون الإلتفات إلى القيمة. وقد كانت قيم النقود تغلو وترخص على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم ولم يأمر المدينين بأداء قيم ما في ذمتهم.
- نوقش حديث " لا ضرر ولا ضرار " بأن إزالة الضرر باللجوء إلى القيمة. لأنه في حقيقته رفع للضرر عن أحد المتعاقدين وإلحاقه بالأخر.
- وأما الحديث عن ابن عمر أنه باع الإبل بالدنانير وعكسه فنوقش بأنه ضعيف. ولو فرض أنه صحيح فالحديث دل على أن القيمة بحسب يوم الأداء. ثم إن هذا أداء بالمثل لا بالقيمة.
- وأما ما روي عن عمرو بن شعيب فنوقش بأن تغير قيمة الدية في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم لم يفهم ذلك. وذلك :
لأن الدية في الشريعة الإسلامية مقومة أصلا بالإبل تحديدا وكذلك الإختلاف في التحديد بها فلا يجوز التجاوز لأنها محدودة ولكن قد تتغير قيمتها دون أن يكون ارتفاع وانخفاض كأن تكون الإبل قليلة أو يكثر طلبها. وأما الدراهم والدنانير فكانت تقييما لسعر الإبل, وهو تقييم لها بسعر يوم أدائها فلا تتعلق بالإبل أو بحيوان أخر.
ولأن في التغير الذي وقع في زمان رسول الله صلى الله عليه وسلم عدم ورود الأمر بأداء الإلتزامات بقيمها. فلو كان الأداء واجبا بالقيمة لبين الرسول صلى الله عليه وسلم ذلك, لأنه وقت الحاجة ولا يجوز تأخير البيان عن وقت الحاجة.
- وأما القول بالإلحاق بنظرية الظروف الطارئة فرد بأن تغير قيمة النقود رخصا وغلاء لا يخرج عن تقديرات المتعاقدين لأن العادة جرت بعدم انفكاك النقود عن ذلك, ومن ثم فلا يعتبر تغير قيمة النقود أمرا طارئا في حالة الرخص والغلاء.

( 3 ) إذا تغيرت قيمة النقود الورقية غلاء أو رخصا فإن الأصل هو الوفاء بالمثل إلا إذا كان تغير قيمة النقود فاحشا, فيجب الأداء في هذه الحالة بالقيمة. وقد ذهب إلى هذا القول بعض العلماء المعاصرين.
الإستدلال :
واستند بعضهم إلى ما ذهب إليه الإمام الرهوني في حاشيته حيث قال
" وينبغي أن يقيد ذلك بما إذا لم يكثر جدا حتى يصير القابض لها كالقابض لما لا كبير منفعة فيه لوجود العلة التي علل بها المخالف".
واستدلوا أيضا بوجوب منع الضرر عن الدائن لأنه عند التغير الفاحش لا يستفيد من النقد المقبوض.
المناقشة :
- إن ما ذهب إليه الإمام الرهوني إنما هو في بطلان النقود لا في غلائها أو رخصها حيث يقول الإمام الرهوني :
" ظاهر كلام غير واحد من أهل المذهب وصريح كلام غيره وصريح كلام أخرين منهم أن الخلاف السابق - أي في القول بالقيمة - محله إذا قطع التعامل بالسكة القديمة جملة, وأما إذا تغيرت بزيادة أو نقص فلا, وممن صرح بذلك أبو سعيد بن لب ..."
ثم قال الإمام الرهوني مباشرة :
"قلت وينبغي أن يقيد ذلك ..."
- لا تعني عبارة الرهوني شيئا أكثر من أنه أراد أن يقيد عدم جريان الخلاف في حالة التغير بالزيادة والنقصان بالحد الذي يصل الأمر فيه إلى أن يكون القابض للنقود التي نقصت قيمتها كالقابض لما لا كبير منفعة فيه.
- رأى الإمام الرهوني أن القول المشهور في المذهب - وهو الأولى بالقبول – القائل بوجوب المثل ورد على القول غير المشهور في المذهب.

( 4 ) إذا تغيرت قيمة النقود وجب الصلح بين المتعاقدين على الأوسط, وأن الحل العادل يكمن في توزيع الخسارة على طرفي العقد, فلا يتحملها الدائن وحده ولا المدين وحده. وبه قال بعض المعاصرين ونسبوه إلى ابن عابدين من الحنفية. ولكن يمكن أن يحمل كلام ابن عابدين في حالة واحدة وخاصة. وهي إذا كانت تتداول بين الناس أنواع مختلفة من النقود وكانت وقت التعاقد ذات قيمة واحدة فتم العقد دون تحديد, ثم تغيرت قيمة هذه النقود المختلفة وبنسب متفاوتة. فكيف يؤدي المدين التزامه ؟ رأى ابن عابدين ثبوت الخيار للمدين في تحديد نوع النقد الذي يدفع به ولكنه رأى أن في ذلك ضررا بالدائن حيث إن المدين سيختار أقل النقود قيمة. فأفتى بعدم جواز تخيير المدين منعا لضرر الدائن. إذن فكلام ابن عابدين في حالة ما إذا لم يعين المتعاقدان نوعا معينا من النقود.
الإستدلال :
قالوا بأن قضاء الديون على أساس المثل عند الإنخفاض الشديد في قيمة العملة فيه ضرر كبير على الدائن. وتكليف المدين بدفع قيمة الدين بعد انخفاضه الشديد على أساس قيمته يوم العقد يعد ظلما للمدين ومرهقا له. فالعدل أن يلجأ إلى أحكام نظرية الظروف في القانون الوضعي والتي تقضي بتوزيع الخسارة على المتعاقدين.
المناقشة :
ونوقش بأن تحميل الخسارة على طرفي العقد فيه ضرر وشبهة ربا. ووجه ذلك أن اعتماد القيمة كأساس الوفاء, ثم الحكم بتنصيف الفرق يعني أن الدائن سيأخذ زائدا عن مثل ما أقرض. وهذا ربا محرم. ولو قلنا بالقيمة وأعطينا الدائن نصف الفرق فإن ذلك يعني أننا أنقصنا حقه دون مسوغ صحيح, وهذا لا يجوز. كما أنه لا محل للعمل بنظرية الظروف الطارئة لأن العمل بها في القانون الوضعي إنما يكون في الحالات المفاجأة والتغير الفاحش.

بعد عرض أقوال المعاصرين وأدلتهم يمكن أن القول الثالث منوط معمول به. وذلك لأن في التضخم - كماسبق - أربعة أنواع. بل التضخم إذا كان خفيفا أو متوسطا ففيه تأثير إيجابي للإقتصاد. فلو قلنا بتحريم القيمة وألزمنا المثلي فطرأت الأزمة الإقتصادية لأن المجتمع في البلد لم يبدل ماله في البنك الذي منه يمكن للشركة والمقاملين التشغيل فهل في القول بالتحريم نظر.

والقول بلزوم المثلي لم يتعرض من ناحية الإقتصاد. لأن التضخم ارتفاع الأسعار وهو يؤثر جملة العملة وقوتها لدى البلدة التي تتعاملها. فلما ضعف العملة التي بالبلد وقوي العملة التي تقابلها ثم سوينا اعتباره لم يقبل هذا لدى المستثمرين فاستردوا أمواله التي في الشركة والمقاولين ثم توقفت وقطعت ولم تقدر على المشي. وإذا صدر هذا في غالب الشركات التي في البلد فسدت البلد وكاد المجتمع أن يموت جوعا.

كما أن الإعتبار بالقيمة مطلقا ارتكب قواعد الربوي الذي قررها الشارع. لأن جانب تحريم الربوي في التضخم الخفيف قد لا يؤثر تداول الإقتصاد. فيمكن أن يكون التداول بالمثلي أم بالقيمة. وإذا أجرينا الربوي فيها وتعاملنا بالقيمة لا يجوز ذلك. فالأحسن تفصيل الصورة من التضخم التي اشتملها قاعدة الربوي اعتدال وتوسط.

ومن أكثر شيئ الذي أصابه التضخم وأثر على إقتصاد المجتع وظهر خسرانه البنك. ما هي البنك ؟ وما وظيفته ؟ هل يوجد البنك الإسلامي مع منظور شرعي ؟ وإذا وجد فما هي الفرق بين البنك التقليدي والبنك الإسلامي ؟ وهل يصلح أن يكون البنك الإسلامي مجيبا لكل السؤال الإقتصادي و الإجتماعي والسياسي ؟


السياسة الشرعية والبنوك الإسلامية

إن تنظيم الإقتصاد الإجتماعي يحتاج إلى سياسة خاصة لما كان نقود الأوراق مصدرا أساسيا للتداول مع أنها في كل بلاد مختلفة. - ولو كان هناك أوراق نقدية التي يتعامل في بلادين فأكثر- وهي جائزة أصلا ولكن قد تكون واجبة إذا دعت أمور ضرورية تلزمه.

السياسة لغويا يحتمل معنى كثيرا فمنها ساس يسوس بمعنى قاد رأس، واصطلاحا تعني رعاية شؤون الدولة الداخلية والخارجية. وأيضا السياسة هي القيام على الشئ بما يصلحه. فهي إذن كيفية توزع القوة والنفوذ ضمن مجتمع ما أو نظام معين. وهذه الكلمة ترتبط بسياسات الدول وأمور الحكومات. كما أنها تستخدم أيضا للدلالة على تسيير أمور الجماعة وقيادتها ومعرفة كيفية التوفيق بين التوجهات الإنسانية المختلفة والتفاعلات بين أفراد المجتمع الواحد بما في ذلك من التجمعات الدينية والأكاديميات والمنظمات.

كما أنها قد تعلق بكثير من الجهات ارتبط أيضا بالشرع, فسمي بالسياسة الشرعية. وهي - كما قال أبو الوفاء بن عقيل الحنبلي - " السياسة ما كان من الأفعال بحيث يكون الناس أقرب إلى الصلاح وأبعد عن الفساد وإن لم يشرعه الرسول صلى الله عليه وسلم ولا نزل به وحي ". فالعبارة اشتمل جميع الحالات مما قررها الحكومة ويتضمن المصلحة. ووجد أيضا عبارة أخرى كما نقل ابن عابدين عن كتب المذهب " السياسة تجوز في كل جناية والرأي فيها إلى الإمام، كقتل مبتدع يتوهم منه انتشار بدعته وإن لم يحكم بكفره ". فقد أشار بهذه أن السياسة الشرعية مخصوصة في كل ما كان حسما لمادة الفساد. ولكن نرى أن هذا التعريف من هذه الجهة مفتوح لكل الأبواب بمعنى أنه خاص في الجناية وعام في غيرها.

ورغم ذلك اتفقوا على أن ظهور البنك جائز إذ المهمة الرئيسية للبنوك في تقديم الخدمات المتعلقة بصيانة وتوسيع الإئتمان. وهو مستمد على تاريخه الماضي من أنه يعرف بالمكان حيث صرف العملات. ومن ثم يمكن أن يعرف البنك بأنه الكيان التجاري الذي يجمع الأموال من الجمهور في شكل المدخرات وتوجيهها للمجتمع من أجل تحسين معيشة الشعب كثيرا.

طبعا في هذا العصر قد اختار غالب الدول في العالم البنك ألة لرفاهية المجتمع. ولا شك في هذا لأن تداول النقود الورقية قد رتبها البنك وليس هناك أحد يستطيع أن يصدر النقود الربوية إلا هو في غالب الأماكن. ولكن التعامل مع البنوك لا يزال يمثل مشكلة وهي جوازه بالتعاطي على الربا مع أنه محرم من الشرع قطعا. وليس من الخطأ أن أبدى بعض من المسلمين فكرة البنك الإسلامي.

بدأ أول محاولة لتنفيذ فكرة البنوك الإسلامية وتحويلها إلى واقع عملي مع بداية الستينات بمصر, وذلك عام 1963 متمثلة في بنوك الإدخار المحلية التي أسست بناء على نبذ التعامل بالفائدة وأعقبها محاولات ممثلة في باكستان ثم ثانية في مصر ( بنك ناصر الجتماعي, 1971 ) ثم البنك الإسلامي للتنمية بالسعودية عام 1974 ثم بنك دبي الإسلامي عام 1975 ثم بنك فيصل السعودي وبيت التمويل الكويتي وبنك فيصل الإسلامي المصري عام 1977 ثم البنك الإسلامي الأردني للتمويل والإستثمار عام 1978. ثم توالى إنشاء هذه البنوك في الدول الإسلامية والغربية بعد ذلك.

وهذا بخلاف المصارف الأخرى حديثة النشأة, وكذلك الفروع التابعة للمصارف غير الإسلامية والتي ترغب في كسب شريحة تسويقية والحفاظ على عملائها من الإنتقال إلى المصارف الأسلامية الجديدة.
ويمكن القول بأن هناك تقدما كبيرا في عالم المصارف والمؤسسات المالية الإسلامية, يرجع إلى عدد من العوامل أهمها :
1- نضوج فكرة تكوين وإنشاء المصارف والمؤسسات المالية الإسلامية وتفهمها على المستوى العربي الإسلامي.
2- حرية الكلمة وجرأة التفكير بعد التخلص من استعمار المسيطرين.
3- كثرة المؤتمرات الدينية والسياسة والإقتصادية على مستوى العالم الإسلامي وقيام الإتحادات الدولية الخاصة بهذا المجال.
4- تبني هذا الأمر رجال لهم قدرهم ومكانتهم في المجتمع الإسلامي.
5- تعدد المراجع والأبحاث في هذا المجال مقدمة كل جديد في عالم المصارف.
6- النجاحات العملية لتجارب كثير من البنوك الإسلامية.

تعرض عديد من الكتاب للبنك الإسلامي من وجهات نظر مختلفة. ومنها ما وصف الدكتور سيد الهواري من أن البنك الإسلامي يتمثل في :
1- أن النظام الإقتصادي هو النظام الذي يسير عليه البنك الإسلامي ويؤمن به.
2- أن البنك الإسلامي جزء من تنظيم إسلامي عام وعليه أن يلتزم بتعاليم الإسلام ومن ثم تجسيد المبادئ الأسلامية في الواقع العملي.
3- أن الصفة العقيدية للبنك الإسلامي صفة شمولية بالضرورة.
4- أن البنك الإسلامي بالموقف الواضح للإسلام من الربا.

ويرى الدكتور أحمد النجار أن "البنوك الإسلامية هي أجهزة مالية تستهدف التنمية وتعمل في إطار الشريعة الإسلامية وتلتزم بكل القيم الأخلاقية التي جاءت بها الشرائع السماوية وتسعى إلى تصحيح وظيفة رأس المال في المجتمع, وهي أجهزة تنموية إجتماعية مالية حيث إنها تقوم بما تقوم به البنوك من وظائف في تيسير المعاملات التنمية, كما أنها تضع نفسها في خدمة المجتمع وتستهدف تحقيق التنمية فيه وتقوم بتوظيف أموالها بأرشد السبل بما يحقق النفع للمجتمع أولا وقبل كل شيئ, واجتماعية من حيث إنها تقصد في عملها وممارستها تدريب الأفراد على ترشيد الإنفاق وتدريبهم على الإدخار ومعاونتهم في تنمية أموالهم بما يعود عليهم وعلى المجتمع بالنفع والمصلحة, هذا فضلا عن الإسهام في تحقيق التكافل بين أفراد المجتمع بالدعوة إلى أداء الزكاة وجمعها وإنفاقها في مصارفها الشرعية"

ويرى الدكتور شوقي إسماعيل شحاته أن البنك الإسلامي منشأة مالية تعمل في إطار إسلامي وتستهدف تحقيق الربح بإدارة المال الحلال وبأسلوب فعال في ظل إدارة إقتصادية سليمة"

كما يرى الدكتور الخضري أن البنك الإسلامي "مؤسسة نقدية مالية تعمل على جذب الموارد النقدية من أفراد المجتمع وتوظيفها فعالا يكفل تعظيمها ونموها في إطار القواعد المستقرة للشريعة الإسلامية وبما يخدم شعوب الأمة ويعمل على تنمية إقتصادها".

وفي تعريف أخر يرى الدكتور حسين شحاته أن البنك الإسلامي هو "منظمة مالية تقوم بالمعاملات المصرفية وغيرها في ضوء أحكام الشريعة الإسلامية بهدف المحافظة على القيم والأخلاق الإسلامية والمساهمة على تحقيق أقصى عائد إقتصادي إجتماعي لتحقيق الحية الطيبة الكريمة للأمة الإسلامية".

ومن التعاريف السابقة يمكن استخلاص العناصر التالية :
1- أن البنك الإسلامي يمثل منظمة مالية ومصرفية وبذلك فهو منظمة تعمل في حقل المال أخذا وعطاء وإيداعا وتوظيفا وتمويلا واستثمارا, هذا بجانب التزامها بأداء كافة الخدمات المصرفية المتعددة والمعروفة في مجال المصارف. وهي مرتبطة بتيسير الأعمال التجارية لأفراد ومنظمات المجتمع.
2- أن البنك الإسلامي منظمة إقتصادية وإجتماعية, ومن ثم لا تحكمه القواعد المادية في المعاملات فقط وإنما يعمل أيضا على ترسيخ القواعد الإجتماعية والمعنوية والنفسية, فهو منظمة إقتصادية تعمل في إطار إجتماعي ويرتهن نجاحها بمدى إهتمامها بهذا الجانب أيضا.
3- تسعى البنوك الإسلامية إلى جذب الموارد من الأفراد خلال نظام الإيداع المتعدد الأنواع ما بين قصير الأجل وطويله, كذلك ما بين الجاري والثابت, و الإدخاري والإستثماري. ويكتمل دور هذه البنوك باستخدام الأموال المتاحة لها في مجالات الإستخدام المعروفة سواء في السيولة أو التمويل بالمضاربة والمرابحة والمشاركة وغير ذلك.
4- تعمل البنوك الإسلامية على تحقيق العائد المناسب على استثماراتها المختلفة حتى يتحقق الربح لأصحاب رؤوس الأموال والمودعين لدى تلك البنوك بما يمكن هذه البنوك من تحقيق النمو المستمر والصورة الطيبة لدى ملاكها والمودعين لديها.
5- تعد قضية التكافل الإجتماعي من بين القضايا التي تشغل الذهن واهتمام إدارة البنك الإسلامي, مما يلي عاتقه الإهتمام بجانب التكافل الإجتماعي مثل تكوين محفظة للخدمات التكافلية المتعددة التي تهتم بجوانب الزكاة والقروض الحسنة والخدمات الإجتماعية الأخرى.
6- تلتزم البنوك الإسلامية بالعمل في جميع أنشطتها وممارستها بمبادئ ومقتضيات وتوجيهات الشريعة الإسلامية, ولا يجب أن تحيد عنها إذ إنها المميز الرئيسي لمعاملاتها دون سواها من البنوك.
7- تهدف البنوك الإسلامية إلى المساهمة في تنمية مجتمعاتها تنمية شاملة إيجابية في النواحي الإقتصادية والإجتماعية للأفراد والمؤسسات وبالتالي للمجتمع بصفة عامة. وبذلك فإن نموذج البنك الإسلامي يقوم على أساس أنه ليس تاجرا للنقود ولكنه يعتبر وسيلة التبادل من أجل تحريك الجهد الإنساني وتشغيل الموارد والطيبات التي من الله سبحانه وتعالى بها على الأفراد ويعتمد على المشاركة ولا يعتمد على الفائدة.

ثم التعامل للبنوك الإسلامية لا بد لها من الأهداف. والأهداف فيها قد خالفت على البنوك الأخرى لأن البنوك الإسلامية ليست بنوكا تتعامل بالربا وتمتنع عن تمويل السلع والخدمات المحرمة فحسب, وإنما هي منظمة تبني على العقيدة الإسلامية تستمد منها كل مقوماتها. ولهذا فإن عليها دورا رئيسيا في التنمية الإقتصادية باستخدام الثروات بكفاءة وزيادة الطاقات الإنتاجية. وهكذا, فإن هدفها ليس فقط تعظيم وإنما تحقيق القيم الروحية المرتبطة بوظيفة الإنسان في عمارة الأرض وأداء رسالته عليها.

فإن تأسيس البنك أحد السياسة التي احتاج الناس إليها. ولكن لما فيه جانب من المحرم وهو الربا لزم على المسلم أن يخلصه كي يثبت أمر الله سبحانه وتعالى وحاجة الناس في تكوين اقتصادهم. فندعوا الله سبحانه وتعالى أن يجنبنا المحرمات وأن يعيننا في إصلاح المعاملات وأن يقوي شريعة محمد صلى الله عليه وسلم في هذا الزمان الذي انتشر فيه المعاصي والمفاسد والمضار.

وصلى الله على محمد وعلى أله وسلم, والحمد لله رب العالمين


المراجع :

1. الدكتور ياسين غادي, الأموال والأملاك العامة في الإسلام وحكم الإعتداء عليها, مؤسسة رام, طبعة أولى, 1994.
2. زكريا الأنصاري, أسنى المطالب, أربعة أجزاء, محقق محمد محمد تامر, دار الكتب العلمية, طبعة أولى, 2000.
3. أبو زكريا محيي الدين يحيى بن شرف النووي, المجموع شرح المهذب,
4. محمد الخطيب الشربيني, الإقناع في حل لفاظ أبي شجاع, جزأن, دار الفكر بيروت, 1415.
5. أبو عبد الله محمد بن سليمان بن إبراهيم البخاري, صحيح البخاري, دار التقوى, القاهرة, 2003.
6. أبو الحسن علي بن محمد بن محمد بن حبيب البصري البغدادي الماوردي, الحاوي في فقه الشافعي, ثمانية عشر جزأ, دار الكتب العلمية, بيروت, طبعة أولى, 1994.
7. شمس الين محمد بن محمد الخطيب الشربيني, مغني المحتاج, ستة أجزاء, مكتبة التوفيقية, القاهرة.
8. أبو بكر بن محمد شطا الدمياطي, حاشية إعانة الطالبين, أربعة أجزاء, دار الفكر, بيروت, طبعةأولى, 1997.
9. علي بن محمد بن علي الجرجاني, التعريفات, محقق إبراهيم الأبياري, دار الكتاب العربي, بيروت, طبعة أولى, 1405.
10. محمد عبد المطلب أحمد, النظام الإقتصادي في الإسلام, المجلس الأعلى للشؤون الإسلامية, القاهرة, العدد السابع والأربعون.
11. لجنة من أساتذة قسم الفقه المقارن, قضايا فقهية معاصرة, جامعة الأزهر الشريف, القاهرة.
12. د.نصر فريد, السياسة الشرعية في المعاملة المالية والإقتصادية والإستثمارية, دار الشروق, القاهرة, طبعة أولى, 2006.
13. عبد الحميد عبد الفتاح المغربي, الإدارة الإستراتيجية في البنوك الإسلامية, البنك الإسلامي للتنمية, المملكة السعودية العربية, طبعة أولى, 2004.
14. Barro, Robert J. Macroeconomics
15. Brown, A. World Inflation Since 1950