Senin, 28 Desember 2009

TIDUR SIANG

Setelah bangun tidur pagi hari tadi aku membuat secangkir kopi. Sambil menikmati indahnya pagi hari lamunanku teringat pada tulisan salah satu kawan yang bernama doni usman tentang “tidur siang”. Sangat sederhana namun menarik untuk dihayati karena ia adalah sebuah kebiasaan beberapa manusia yang efeknya bersinggungan langsung dengan kesehatan.
http://www.facebook.com/note.php?note_id=153989149283
Kebiasaan tersebut di beberapa tempat sudah menjadi budaya tak terkecuali Indonesia. Di daerah saya sendiri ada beberapa orang yang sengaja menghentikan aktifitasnya hanya sekedar pingin tidur siang. Tentu saja dengan pengurangan waktu kerja timbul konsekuensi-konsekuensi lanjutan. Beberapa lembaga pendidikan otonom semisal pondok pesantren, asrama sekolahan bahkan menetapkan tidur siang sebagai salah satu kewajiban yang harus dilakukan seorang murid.
Ada sabda baginda Rasul yang berkaitan dengan terma ini
قيلوا فإن الشياطين لا تقيل
“tidur sianglah kamu maka sesungguhnya Syetan tidak tidur siang”.
Penggalan teks hadis di atas memberi pemahaman bahwa saat syetan tidak tidur siang dan melakukan pekerjaannya maka akan sangat baik bagi kita untuk menghentikan aktifitas karena dengan aktifitas kita yang bersamaan dengan perkerjaan Syetan dapat memungkinkan pekerjaan tersebut masuk di tengah-tengah aktifitas kita.
Sekilas tampaknya tidak ada hubungan logis antara pekerjaan kita dengan aktifitas Syetan. Tapi akan lebih jelas umpama persinggungan tersebut kita deskripsikan. Semisal ada seseorang bekerja mulai pagi sampai siang. Saat waktu menginjak dluhur ada guratan kelelahan yang menyelimuti wajahnya. Di satu sisi ada kawan seseorang tersebut mengajaknya bercanda, yang terjadi kemudian bukannya gelak tawa bersama melainkan pertengkaran antara keduanya.
Kiranya tidak salah Rasulullah kemudian menganjurkan “tidur siang” sebagai pendingin otak di saat pikiran mencapai titik kulminasi yang membuka pintu masuk syetan menjadi lebar melalui marah. Selain itu, tidur siang juga sangat efektif meningkatkan fungsi-fungsi organ kita menjadi lebih fresh dalam menjalani aktifitas sesudahnya.
Namun pertanyaan selanjutnya adalah, apakah tidur siang menjadi sebuah Syari’at dari baginda Rasul ataukah pemikiran tersebut hanya ijtihad beliau ?
Di dalam durrul mantsur fii al ta’wil disebutkan, saat Umar bin Abdul Aziz berpesan melalui surat kepada salah satu pengajar putra-putranya beliau menulis “maka sesungguhnya Ibnu mas’ud berkata “Wahai putraku, tidur sianglah maka sesungguhnya Syetan tidak tidur”. Dari kutipan tersebut ada kesan seolah-olah Umar bin Abdul Aziz memposisikan tidur siang sebagai kebutuhan tubuh dan bukan sebagai Syari’at dari Rasulullah. Karena kalau beliau menganggap bahwa itu adalah bentuk tasyri’ maka akan sangat masuk akal dalam surat tersebut beliau menisbatkan langsung ke baginda Nabi dan bukan Ibnu ms’ud.
Kalau diteliti lebih lanjut ternyata ada beberapa catatan penting mengenai hadis di atas. Abu Na’im Al Asbihany dalam bukunya “akhbar ashbihan” menguatkan kedudukan hadis tersebut. Beliau berkata
حدثنا محمد بن أحمد بن عبد الوهاب ، ثنا عبد الله بن عمر بن يزيد الزهري ، ثنا أبي ، ثنا أبو داود الطيالسي ، ثنا عمران القطان ، عن قتادة ، عن أنس ، قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم قيلوا فإن الشياطين لا تقيل
Abu Nai’m Al Asbihany mendapatkan hadis ini dari Muhamad bin Ahmad bin Abdul Wahab dari Abdullah bin Umar bin Yazid Al Zuhri dari bapaknya (Umar) dari Abu Daud Al Thoyalisi dari Imran Al Qoththon dari Qotadah dari Anas Ra dari Rasulullah Saw. Kesemua perawi ini termasuk orang-orang kuat, maka tidak heran Nasirudin Al Albany mensohihkan hadis tersebut sebagaimana yang di tulis dalam Al Silsilah Al Sahihnya.
Namun tidak semua riwayat hadis tesebut sahih. Ada riwayat-riwayat lain yang melemahkan hadis ini. Muhamad bin Abdullah bin Bahadir dalam bukunya al la’ali al mantsuroh fil ahadits al masyhuroh menulis
الحديث الرابع والثلاثون قيلوا فإن الشياطين لا تقيل اخرجه الطبراني من جهة يزيد بن ابي خالد الدالاني عن اسحاق بن عبد الله بن ابي طلحة عن انس بن مالك قال قال رسول الله ص فذكره
وقال لم يروه عن ابي خالد الا كثير ابن مروان
Diriwayatkan dari Al Thobroni dari Yazid bin Abi Kholid al Dalani dari Ishak dari Abdillah bin Abi Tholhah dari anas bin Malik dari Rasulullah Saw.
Pada riwayat tersebut ada nama katsir bin marwan. Banyak para Ulama’ yang melemahkan katsir bin marwan. Muhamad bin Darwisy dalam bukunya asna al mathalib fii ahadits mukhtalifah al maraatib menyebutnya tukang pembohong. Ibnu Thohir Al Muqoddasi dalam kitabnya ma’rifat al tadzkirah menulis matruk al hadis (orang yang ditinggalkan hadisnya).
Untuk lebih lanjut………..
http://www.alsofwah.or.id/?pilih=lihathadits&id=72
Para Ulama’ kemudian berbeda pandangan dalam mengambil sikap. Sebagian orang menghukumi sunnah bahkan mustahab secara mutlak (dengan pandangan bahwa derajat mustahab di atas sunnah).
Namun pandangan ini juga mengandung kelemahan. Pertama, sunnah adalah sesuatu yang dilakukan nabi (versi kaum fuqaha’), secara otomatis mustahab menjadi perbuatan nabi yang sering dilakukan. Implikasinya, akan ada banyak riwayat yang beredar di antara sahabat, tabi’in maupun tabi’it tabi’in seputar tidur siang. Toh kenyataanya, hadis tentang tidur siang (sebatas yang kami ketahui) hanya berputar pada teks sebagaimana di atas.
Kedua, sunnah adalah sebuah perkara yang sering dilakukan bahkan menjadi idol Ulama’ulama’ zaman dulu. Namun Syamsuddin Abu Abdillah Muhamad bin Muflih Al Muqoddasi menyatakan dalam kitabnya al adab al syar’iyyah bahwa nilai keafdlolan tidur siang sangat nampak jika dilakukan pada musim panas. Pendapat ini bahkan bahkan secara dlohir diambil dari Imam Ahmad sendiri. Meskipun secara umum kita tidak menafikan kemungkinan-kemungkinan lain.
Sebagian Ulama’ yang lain menyatakan bahwa hukum asal tidur siang adalah mubah. Tetapi bisa menjadi sunnah saat seseorang memiliki niat beribadah pada malam harinya. Salah satu cendekiawan yang berkata seperti ini adalah Abu Thalib Muhamad bin Ali dalam kitabnya quut al qulub. Pendapat yang sama juga dilontarkan Muhamad bin Ahmad bin Salim Al Safarini Al Hambali dalam bukunya ghidza’ al albab syarh mandzumat al adab. Beliau bahkan membuat bahasan khusus mengenai al qo’ilah berikut riwayat hadis dan variasi makna tersebut.
Saya sendiri cenderung menyetujui pendapat terakhir. Kesamaan tidur siang dengan perkara-perkara mubah lain seperti makam, minum, berjalan, etc…menjadi salah satu alasan yang masuk akal. Sebagaimana kita menganggap makan dan minum adalah perkara mubah dan hanya mendapat porsi di hadapan Allah Swt saat niat hal yang sama juga terjadi pada tidur siang

والله أعلم

Jumat, 16 Oktober 2009

SEKILAS STUDI ONTOLOGI RUKHSOH

A.PROLOG

Agama islam adalah sebuah tuntunan yang diturunkan Allah Swt ke dunia melalui Muhammad Saw. Sepanjang perjalanannya beliau tidak hanya mengajarkan tauhid maupun menceritakan kisah umat-umat terdahulu tapi juga menanamkan nilai hukum perundang-undangan, atau biasa dikenal dengan istilah rule of law (baca:syari’at) sebagai sarana penciptaan masyarakat madani. Pada awal mulanya, aturan tersebut tidak langsung diaplikasikan secara langsung kepada masyarakat, namun hukum tersebut dikondisikan sesuai dengan situasi dan kondisi sosio kultural yang telah ada, hingga pada akhirnya ada sebagian aturan-aturan tersebut yang dihilangkan atau dikurangi (baca:mansukh). Syari’at yang harus dijalankan manusia meliputi bermacam-macam warna seperti ibadah, muamalah, munakahah, jinayah dsb. Pembagian tersebut di dasarkan ragam kegiatan manusia dari yang vertikal (baca:ibadah mahdloh), diagonal (baca:ibadah sya’ibah) ataupun horizontal (baca:muamalah mahdloh). Pun tidak melupakan kondisi waktu ataupun situasi kondisi masyarakat sebagai pemberi pngaruh kadar kualitas perbuatan.

Tapi tidak semua aturan perundangan tersebut dapat di jalankan manusia pada suatu waktu. Ada kondisi-kondisi “tidak biasa” yang terkadang memaksa manusia meninggalkan aturan-aturan tersebut. Keadaan tersebut pun disahkan Allah sebagaimana dalam firmannya:

# يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر[1]

# لا يكلف الله نفسا الا وسعها[2]

لا يكلف الله نفسا الا ما أتاها[3]#

# وما جعل عليكم في الدين من حرج[4]

ان مع اليسر يسرا [5]#

# فمن اضطر في مخمصة غير متجانف لاءثم فاءن الله غفور رحيم[6]

Semua ayat-ayat di atas kemudian menjadi pembenaran bagi seorang muslim untuk melakukan hal-hal haram selama dirinya memang benar-benar dalam keadaan terjepit (dlarurat). Pembenaran tersebut datang dari Allah Swt dan menjadi sebuah anugerah yang harusnya kita syukuri keberadaanya. Oleh para Ulama’ praktek merubah keadan dari sulit menjadi mudah meliputi dua macam pembahasan, rukhsoh dan azimah. Tulisan inipun Insya Allah hanya membahas rukhsoh dan tidak akan keluar dari pembahasan tersebut.

Dalam semua telaah lieratur-literatur klasik ada beberapa bagian yang disepakati oleh semua semua golongan mengenai persamaan rukhsoh dan azimah, maupun perbedaan keduanya. Secara garis besar poin persamaan tersebut adalah proses perpindahan hukum dari sulit ke mudah adalah sesuatu yang tetapkan Allah Swt kepada umat Muhammad. Namun bukan berarti saat Allah memperbolehkan perkara haram, obyek pembicaraan mengenai rukhsoh menjadi final. Masih ada berbagai macam pertanyaan-pertanyaan lain yang harus di jawab selanjutnya, seperti jalan apakah yang bisa dianggap rukhsoh dan bukan azimah, apakah ada perbedaan yang prinsipal di antara dua jalan tersebut, bagaimanakah batasan seseorang untuk boleh melakukan perkara haram, apakah setiap masyaqqoh memperbolehkan kita untuk menjalankan rukhsoh, betulkah pengkategorian tersebut dinamakan rukhsoh, sejak kapankah perbuatan tersebut dinamakan rukhsoh, apakah esensi dari rukhsoh itu sendiri.

B.TEROPONG RUKHSOH DARI SUNNAH

Pengucapan rukhsoh sebagaimana yang kita dengar pada dasarnya tidak disebutkan Al qur’an secara langsung. Semua varian pembahasan yang disodorkan hanya berkisar mengenai kebolehan seseorang untuk meninggalkan keadaan sulit sebagaimana kutipan di atas. Penggunaan tersebut justru hanya ada dalam Hadis Nabi Muhammad Saw. Banyak sekali potongan hadis-hadis nabi maupun sahabat yang mengutip penggalan rukhsoh. Kalimat tersebut semisal :

# إن الله يحب أن تؤتى رخصه[7]

# هي رخصة من الله فمن أخذ بها فحسن ومن أحب أن يصوم فلا جناح عليه[8]

# أتسمع النداء قال نعم قال لا أجد لك رخصة[9]

Semua hadis-hadis tersebut adalah bukti bahwa penggunaan kalimat rukhsoh memang telah ada sejak pada masa Nabi Muhamad. Pemakaian tersebut meliputi berbagai macam arti dengan makna yang hampir sama “ringan”, “gampang” atau “mudah”. Tetapi perbedaan yang terjadi antara masa-masa awal dengan generasi sesudahnya adalah penetapan batasan kalimat “rukhsoh” sendiri. Meskipun sering kita dengar aplikasi kalimat rukhsoh namun generasi awal sejak masa sahabat belum ada seorangpun yang memberi batasan kongkrit. Kendala tersebut kiranya dapat dimaklumi mengingat kodifikasi keilmuan masih stagnan plus wacana yang berkembang hanya terbatas pada hal- hal standar karena interaksi sains maupun sosial belum terbentur ke luar.[10]

Barulah pada masa sesudahnya muncul orang-orang yang intensif di bidang ini. Golongan tersebut oleh para cendekiawan lain dipanggil dengan nama usuliyyin. Pada abad permulaan kaum usuliyyin memiliki ragam warna yang berbeda-beda meskipun pada dasarnya terdapat kesamaan obyek penelitian. Perbedaan tersebut selain didasarkan ilmu yang mereka miliki juga terdapat fakto-faktor lain yang ikut mempengaruhi kadar pemikiran mereka. Seperti interaksi dengan lingkungan, perubahan iklim alam maupun lingkungan, dan mungkin yang tidak bisa dinafikan adalah pengaruh kebudayaan lain seperti Persia ataupun Yunani.

C.TELISIK TERMINOLOGI RUKHSOH

Diferensiasi tersebut pun juga tampak dalam upaya mereka membangun kerangka rukhsoh. Ada beberapa pisau analisa yang disodorkan para sarjana muslim dalam mengupas hakikat “rukhsoh”. Sebagaimana yang telah diungkapkan di atas, meskipun di antara mereka terdapat kesamaan di dalam memahami makna rukhsoh secara umum tapi banyak di antara mereka yang berbeda saat membuat istilah secara jami’ mani’. Mungkin ada baiknya kalau kita kemudian telisik satu persatu sebagian uraian yang disodorkan sebagian cendekiawan muslim.

قال الأمدي في الاءحكام في أصول الأحكام [11]:

وقال أصحابنا: الرخصة ما جاز فعله لعذر مع قيام السبب المحرم، وهو غير جامع فإن الرخصة، كما قد تكون بالفعل، قد تكون بترك الفعل، كإسقاط وجوب صوم رمضان، والركعتين من الرباعية في السفر فكان من الواجب أن يقال: الرخصة ما شرع من الاحكام لعذر إلى آخر الحد المذكور، حتى يعم النفي والاثبات ثم العذر المرخص لا يخلو إما أن يكون راجحا على المحرم، أو مساويا، أو مرجوحا فإن كان الاول، فموجبه لا يكون رخصة، بل عزيمة، وإلا كان كل حكم ثبت بدليل راجح مع وجود المعارض المرجوح رخصة، وهو خلاف الاجماع وإن كان مساويا، فإن قلنا بتساقط الدليلين المتعارضين من كل وجه، والرجوع إلى الاصل، فلا يكون ذلك رخصة، وإلا كان كل فعل يقينا فيه على النفي الاصلي قبل ورود الشرع رخصة، وهو ممتنع وإن لم نقل بالتساقط، فالقائل قائلان: قائل يقول بالوقف عن الحكم بالجواز وعدمه إلى حين ظهور الترجيح، وذلك عزيمة لا رخصة، وقائل يقول بالتخيير بين الحكم بالجواز، والحكم بالتحريم ويلزم من ذلك أن لا يكون أكل الميتة حالة الاضطرار رخصة ضرورة عدم التخيير بين جواز الاكل والتحريم لان الاكل واجب جزما، وقد قيل بكونه رخصة فلم يبق إلا أن يكون الدليل المحرم راجحا على المستبيح ويلزم من ذلك العلم بالمرجوح ومخالفة الراجح، وهو في غاية الاشكال، وإن كان هذا القسم هو الاشبه بالرخصة، لما فيها من التيسير والتسهيل بالعمل بالمرجوح، ومخالفة الراجح

Pada uraian di atas Al Amidy pada awal pembahasan mengutip sarjana muslim lain tentang definisi rukhsoh. Adalah “sesuatu yang boleh dilakukan karena ada udzur bersamaan dengan adanya sebab yang di haramkan”. Pernyataan tersebut oleh Al Amidy mengandung kekurangan karena rukhsoh adakalanya berupa fi’l (perbuatan) dan tark (larangan). Setelah menulis kritik al Amidy pun mengungkapkan istilah lain yang menurutnya lebih tepat “hukum yang di syari’atkan karena ada udzur …”.

Meskipun sekilas ta’rif pertama memang kurang menyeluruh, tapi sebenarnya ada catatan yang perlu dipertimbangkan. Pertama ; kalimat “sesuatu yang boleh di lakukan” merupakan ungkapan yang menunjukkan kebolehan melakukan sesuatu. Frase seperti ini justru memberi pengertian bahwa seseorang boleh melakukan hal-hal yang di haramkan juga boleh melakukan keharaman yang harus di tinggalkan. Kalau kita analogikan, semisal ada orang berkata “kamu boleh melakukan perkara haram saat ada udzur”. Saat salat menjadi kewajiban seorang muslim, apakah tidak mungkin kita katakan ia melakukan perkara haram ketika meninggalkannya. Jadi, Bukankah pada akhirnya pernyataan tersebut mencakup jama’ dan qosr salat yang boleh di lakukan ketika seseorang mendapat udzur. Kedua, kalimat syari’at pada asalnya merupakan hukum yang sudah ada sejak pertama kali. Coba kita bandingkan dengan ayat lain

شرع لكم من الدين ما صى به نوحا - الى أخره -

Ayat ini dengan jelas menegaskan kepada kita bahwa Syari’at adalah sesuatu yang telah di tetapkan Allah Swt sejak permulaan. Apakah kenyataan memasukkan rukhsoh, saya kira tidak. Meskipun di sisi lain kesimpulan ini harus mendapat renungan lebih lanjut.

Selanjutnya, udzur yang mendapat keringanan adakalanya lebih kuat, imbang, atau lebih lemah. Tiga opsi ini pun dijelaskan Al Amidy lebih lanjut. Opsi pertama memiliki akibat bahwa keharaman yang dibolehkan bukan karena rukhsoh melainkan azimah. Pilihan kedua kemudian menjadi penegasan “tasaquth al dalilain” serta kembali pada hukm al asl saat dua dalil tidak mungkin bersatu. Al Amidy pun pada akhirnya lebih memilih pilihan ketiga meskipun alternatif ini tidak lepas dari kritikan dari berbagai arah. Penjelasan ini memang rumit dan patut mendapat apresiasi mendalam.

Tapi kenyatan tersebut bukanlah hal-hal yang lolos dari kritikan. Kalau kita pandang secara global bukankah asal muasal penjelasan ini berangkat dari pernyataan rukhsoh sebagai syari’at, toh klaim ini sebagaimana di atas patut mendapat renungan lebih lanjut. Kemudian, pembagian semacam ini pun justru mengakibatkan tasalsul. Coba kita bayangkan, Bukankah ketiga-tiganya berangkat dari gambaran mendasar, yaitu saat seseorang dalam keadaan terdesak boleh baginya melakukan keharaman. Nah, berangkat dari sinilah Al Amidy kemudian memunculkan pembagian-pembagian sebagaimana yang diuraikan di atas.

Kiranya sangat naif kalau kita hanya berkaca dari satu pandangan. Toh di sana masih banyak istilah-istilah lain yang perlu kita kaji lebih lanjut. Untuk mengimbangi terminologi ala Al Amidy, mungkin kita bisa berpindah ke ta’rif al Ghazali dalam Al mustashfanya.

قال الغزالي في المستصفى[12]

وَالرُّخْصَةُ فِي اللِّسَانِ عِبَارَةٌ عَنْ الْيُسْرِ وَالسُّهُولَةِ ، يُقَالُ : رَخُصَ السِّعْرُ إذَا تَرَاجَعَ وَسَهُلَ الشِّرَاءُ ، وَفِي الشَّرِيعَةِ عِبَارَةٌ عَمَّا وُسِّعَ لِلُمُكَلَّفِ فِي فِعْلِهِ لِعُذْرٍ وَعَجْزٍ عَنْهُ مَعَ قِيَامِ السَّبَبِ الْمُحَرِّمِ ، فَإِنَّ مَا لَمْ يُوجِبْهُ اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْنَا مِنْ صَوْمِ شَوَّالٍ وَصَلَاةِ الضُّحَى لَا يُسَمَّى رُخْصَةً وَمَا أَبَاحَهُ فِي الْأَصْلِ مِنْ الْأَكْلِ وَالشُّرْبِ لَا يُسَمَّى رُخْصَةً ، وَيُسَمَّى تَنَاوُلُ الْمَيْتَةِ رُخْصَةً ، وَسُقُوطُ صَوْمِ رَمَضَانَ عَنْ الْمُسَافِرِ يُسَمَّى رُخْصَةً وَعَلَى الْجُمْلَةِ فَهَذَا الِاسْمُ يُطْلَقُ حَقِيقَةً وَمَجَازًا ، فَالْحَقِيقَةُ فِي الرُّتْبَةِ الْعُلْيَا كَإِبَاحَةِ النُّطْقِ بِكَلِمَةِ الْكُفْرِ بِسَبَبِ الْإِكْرَاه ، وَكَذَلِكَ إبَاحَةُ شُرْبِ الْخَمْرِ وَإِتْلَافُ مَالِ الْغَيْرِ بِسَبَبِ الْإِكْرَاهِ وَالْمَخْمَصَةُ وَالْغَصَصُ بِلُقْمَةٍ لَا يُسِيغُهَا إلَّا الْخَمْرُ الَّتِي مَعَهُ وَأَمَّا الْمَجَازُ الْبَعِيدُ عَنْ الْحَقِيقَةِ ، فَتَسْمِيَةُ مَا حُطَّ عَنَّا مِنْ الْإِصْرِ وَالْأَغْلَالِ الَّتِي وَجَبَتْ عَلَى مَنْ قَبْلَنَا فِي الْمِلَلِ الْمَنْسُوخَةِ رُخْصَةٌ وَمَا لَمْ يَجِبْ عَلَيْنَا وَلَا عَلَى غَيْرِنَا لَا يُسَمَّى رُخْصَةً وَهَذَا لِمَا أُوجِبَ عَلَى غَيْرِنَا ، فَإِذَا قَابَلْنَا أَنْفُسَنَا بِهِ حَسُنَ إطْلَاقُ اسْمِ الرُّخْصَةِ تَجَوُّزًا فَإِنَّ الْإِيجَابَ عَلَى غَيْرِنَا لَيْسَ تَضْيِيقًا فِي حَقِّنَا ، وَالرُّخْصَةُ فُسْحَةٌ فِي مُقَابَلَةِ التَّضْيِيقِ

Pada kitab ini Al Ghazali mencoba menguraikan istilah rukhsoh melalui pembahasan sebagaimana yang diangkat oleh kebanyakan kaum Syafi’iyyah. Makna Rukhsoh secara umum adalah gampang dan mudah. Sedangkan menurut Syari’at adalah sebuah ungkapan atas kemudahan yang diberikan kepada mukallaf pada perbuatannya karena ada udzur dan ketidakmampuan pada dirinya yang terjadi bersamaan dengan sebab yang diharamkan. Meskipun susunan kalimat di atas dapat di bantah dengan istilah Al Amidy, tapi penulisan “fii fi’lihi” justru menjadi kelebihan tersendiri dari Al Ghazali dalam menuangkan idea tentang rukhsoh. Saat kalimat tersebut mampu mencakup dua pemahaman (perintah dan larangan) sekaligus bukankah efisiensi penulisan tesebut menjadi kelebihan tersendiri bagi seseorang yang mampu memahaminya. Tapi sayang, Al Ghazali –sebagaimana al Amidy-juga memiliki kelemahan dalam kitab tersebut. Seputar isu yang hanya membahas Rukhsoh dari segi haqiqot dan majaz mungkin salah satu kelemahan yang bisa di lihat secara kasat mata. Toh padahal, ada beberapa Ulama’ lain yang membagi rukhsoh menjadi bermacam-macam kemudian menguraikan pembahasan tersebut secara lebih jauh dan terperinci.

Memang banyak karya-karya sarjana muslim lain yang membahas Rukhsoh lebih panjang dan detail. Meskipun hampir kesemuanya adalah kaum Hanafiyyah yang notabene berasal dari embrio lain, kiranya akan sangat bermafaat jika telisik rukhsoh kita pandang dari sudut mereka sebagaimana kita memandang rukhsoh dari kacamata kita sendiri. Salah satu buku yang sangat tampak upaya mereka mengiris terma ini adalah Al Qodli Shodr Syari’at . Pada salah satu tulisannya Al Qodli berkata:

قال القاضي صدر الشريعة [13]:

(وَأَمَّا الثَّانِي ) الْمُرَادُ بِالثَّانِي أَنْ لَا يَكُونَ حُكْمًا أَصْلِيًّا أَيْ يَكُونَ مَبْنِيًّا عَلَى أَعْذَارِ الْعِبَادِ ( فَيُسَمَّى رُخْصَةً وَمَا وَقَعَ مِنْ الْقِسْمِ الْأَوَّلِ ) أَيْ الَّذِي هُوَ حُكْمٌ أَصْلِيٌّ ( فِي مُقَابَلَتِهَا ) أَيْ فِي مُقَابَلَةِ الرُّخْصَةِ ( يُسَمَّى عَزِيمَةً وَهِيَ إمَّا فَرْضٌ ) الضَّمِيرُ يَرْجِعُ إلَى الْعَزِيمَةِ ( أَوْ وَاجِبٌ ، أَوْ سُنَّةٌ ، أَوْ نَفْلٌ لَا غَيْرُ

وَالرُّخْصَةُ أَرْبَعَةُ أَنْوَاعٍ نَوْعَانِ مِنْ الْحَقِيقَةِ أَحَدُهُمَا أَحَقُّ بِكَوْنِهِ رُخْصَةً مِنْ الْآخَرِ وَنَوْعَانِ مِنْ الْمَجَازِ أَحَدُهُمَا أَتَمُّ فِي الْمَجَازِيَّةِ مِنْ الْآخَرِ ) أَيْ نَوْعَانِ يُطْلَقُ عَلَيْهِمَا الرُّخْصَةُ حَقِيقَةً ، ثُمَّ أَحَدُهُمَا أَحَقُّ بِكَوْنِهِ رُخْصَةً مِنْ الْآخَرِ وَنَوْعَانِ يُطْلَقُ عَلَيْهِمَا اسْمُ الرُّخْصَةِ مَجَازًا لَكِنَّ أَحَدَهُمَا أَتَمُّ فِي الْمَجَازِيَّةِ أَيْ أَبْعَدُ مِنْ حَقِيقَةِ الرُّخْصَةِ مِنْ الْآخَرِ .

( أَمَّا الْأَوَّلُ ) أَيْ الَّذِي هُوَ رُخْصَةٌ حَقِيقَةً ، وَهُوَ أَحَقُّ بِكَوْنِهِ رُخْصَةً مِنْ الْآخَرِ ( فَمَا اُسْتُبِيحَ مَعَ قِيَامِ الْمُحَرِّمِ وَالْحُرْمَةِ كَإِجْرَاءِ كَلِمَةِ الْكُفْرِ مُكْرَهًا ) أَيْ بِالْقَتْلِ ، أَوْ الْقَطْعِ ( فَإِنَّ حُرْمَةَ الْكُفْرِ قَائِمَةٌ أَبَدًا ) ؛ لِأَنَّ الْمُحَرِّمَ لِلْكُفْرِ ، وَهُوَ الدَّلَائِلُ الدَّالَّةُ عَلَى وُجُوبِ الْإِيمَانِ قَائِمَةٌ فَتَكُونُ حُرْمَةُ الْكُفْرِ قَائِمَةً أَبَدًا أَيْضًا ( لَكِنَّ حَقَّهُ ) أَيْ حَقَّ الْعَبْدِ ( يَفُوتُ صُورَةً لَهُ وَمَعْنًى وَحَقُّ اللَّهِ تَعَالَى لَا يَفُوتُ مَعْنًى ؛ لِأَنَّ قَلْبَهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ فَلَهُ أَنْ يُجْرِيَ عَلَى لِسَانِهِ وَإِنْ أَخَذَ ) بِالْعَزِيمَةِ وَبَذَلَ نَفْسَهُ حِسْبَةً فِي دِينِهِ فَأَوْلَى ، وَكَذَا الْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَأَكْلُ مَالِ الْغَيْرِ وَالْإِفْطَارُ وَنَحْوُهُ مِنْ الْعِبَادَاتِ أَيْ إذَا أُكْرِهَ عَلَى أَكْلِ مَالِ الْغَيْرِ ، أَوْ عَلَى الْإِفْطَارِ فِي رَمَضَانَ ، أَوْ أُكْرِهَ عَلَى تَرْكِ الصَّلَاةِ وَنَحْوِهَا فَفِي هَذِهِ الصُّوَرِ لَهُ أَنْ يَعْمَلَ بِالرُّخْصَةِ حَقِيقَةً لَكِنْ إنْ أَخَذَ بِالْعَزِيمَةِ وَبَذَلَ نَفْسَهُ فَأَوْلَى

( وَالثَّانِي ) أَيْ الَّذِي هُوَ رُخْصَةٌ حَقِيقَةً لَكِنَّ الْأَوَّلَ أَحَقُّ مِنْهُ بِكَوْنِهِ رُخْصَةً ( مَا اُسْتُبِيحَ مَعَ قِيَامِ الْمُحَرِّمِ دُونَ الْحُرْمَةِ كَإِفْطَارِ الْمُسَافِرِ ) فَإِنَّ الْمُحَرِّمَ لِلْإِفْطَارِ ، وَهُوَ شُهُودُ الشَّهْرِ قَائِمٌ لَكِنَّ حُرْمَةَ الْإِفْطَارِ غَيْرُ قَائِمَةٍ ( رُخِّصَ بِنَاءً عَلَى سَبَبِ تَرَاخِي حُكْمِهِ ) فَالسَّبَبُ شُهُودُ الشَّهْرِ وَالْحُكْمُ وُجُوبُ الصَّوْمِ وَقَدْ تَرَاخَى لِقَوْلِهِ تَعَالَى : { فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ } ( وَالْعَزِيمَةُ أَوْلَى عِنْدَنَا لِقِيَامِ السَّبَبِ وَلِأَنَّ فِي الْعَزِيمَةِ نَوْعَ يُسْرٍ لِمُوَافَقَةِ الْمُسْلِمِين ) هَذَا دَلِيلٌ آخَرُ عَلَى أَنَّ الْعَزِيمَةَ أَوْلَى وَتَقْرِيرُهُ أَنَّ الْعَمَلَ بِالرُّخْصَةِ وَتَرْكَ الْعَزِيمَةِ إنَّمَا شُرِعَ لِلْيُسْرِ وَالْيُسْرُ حَاصِلٌ فِي الْعَزِيمَةِ أَيْضًا فَالْأَخْذُ بِالْعَزِيمَةِ مُوَصِّلٌ إلَى ثَوَابٍ يَخْتَصُّ بِالْعَزِيمَةِ وَمُتَضَمِّنٌ لَيْسَ يَخْتَصُّ بِالرُّخْصَةِ فَالْأَخْذُ بِهَا أَوْلَى ( إلَّا أَنْ يُضْعِفَهُ الصَّوْمُ فَلَيْسَ لَهُ بَذْلُ نَفْسِهِ ؛ لِأَنَّهُ يَصِيرُ قَاتِلَ نَفْسِهِ بِخِلَافِ الْفَصْلِ الْأَوَّلِ ) أَيْ إلَّا أَنْ يُضْعِفَ الصَّوْمُ الصَّائِمَ ، وَهُوَ اسْتِثْنَاءٌ مِنْ قَوْلِهِ : وَالْعَزِيمَةُ أَوْلَى

َوَإِنَّمَا قُلْنَا إنَّ الْأَوَّلَ أَحَقُّ بِكَوْنِهِ رُخْصَةً مِنْ الثَّانِي ؛ لِأَنَّ فِي الثَّانِي وُجِدَ السَّبَبُ لِلصَّوْمِ لَكِنَّ حُكْمَهُ مُتَرَاخٍ فَصَارَ رَمَضَانُ فِي حَقِّهِ كَشَعْبَانَ فَيَكُونُ فِي الْإِفْطَارِ شُبْهَةُ كَوْنِهِ حُكْمًا أَصْلِيًّا فِي حَقِّ الْمُسَافِرِ بِخِلَافِ الْأَوَّلِ فَإِنَّ الْمُحَرِّمَ وَالْحُرْمَةَ قَائِمَانِ فَالْحُكْمُ الْأَصْلِيُّ فِيهِ الْحُرْمَةُ وَلَيْسَ فِيهِ شُبْهَةُ كَوْنِ اسْتِبَاحَةِ الْكُفْرِ حُكْمًا أَصْلِيًّا فَيَكُونُ الْأَوَّلُ أَحَقَّ بِكَوْنِهِ رُخْصَةً

( وَالثَّالِثُ ) أَيْ الَّذِي هُوَ رُخْصَةٌ مَجَازًا ، وَهُوَ أَتَمُّ فِي الْمَجَازِيَّةِ وَأَبْعَدُ عَنْ الْحَقِيقَةِ مِنْ الْآخَرِ( مَا وُضِعَ عَنَّا مِنْ الْإِصْرِ وَالْأَغْلَالِ يُسَمَّى رُخْصَةً مَجَازًا ؛ لِأَنَّ الْأَصْلَ لَمْ يَبْق مَشْرُوعًا أَصْلًا

َوَالرَّابِعُ ) أَيْ الَّذِي هُوَ رُخْصَةٌ مَجَازًا لَكِنَّهُ أَقْرَبُ مِنْ حَقِيقَةِ الرُّخْصَةِ مِنْ الثَّالِثِ ( مَا سَقَطَ مَعَ كَوْنِهِ مَشْرُوعًا فِي الْجُمْلَةِ ، فَمِنْ حَيْثُ إنَّهُ سَقَطَ كَانَ مَجَازًا ، وَمِنْ حَيْثُ إنَّهُ مَشْرُوعٌ فِي الْجُمْلَةِ كَانَ شَبِيهًا بِحَقِيقَةِ الرُّخْصَةِ بِخِلَافِ الْفَصْلِ الثَّالِثِ كَقَوْلِ الرَّاوِي رُخِّصَ فِي السَّلَمِ فَإِنَّ الْأَصْلَ فِي الْبَيْعِ أَنْ يُلَاقِيَ عَيْنًا ، وَهَذَا حُكْمٌ مَشْرُوعٌ لَكِنَّهُ سَقَطَ فِي السَّلَمِ حَتَّى لَمْ يَبْقَ التَّعْيِينُ عَزِيمَةً ، وَلَا مَشْرُوعًا ، وَكَذَا أَكْلُ الْمَيْتَةِ وَشُرْبُ الْخَمْرِ ضَرُورَةً فَإِنَّ حُرْمَتَهُمَا سَاقِطَةٌ هُنَا ) أَيْ فِي حَالِ الضَّرُورَةِ ( مَعَ كَوْنِهَا ثَابِتَةً فِي الْجُمْلَةِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى : { إلَّا مَا اُضْطُرِرْتُمْ } فَإِنَّهُ اسْتِثْنَاءٌ مِنْ الْحُرْمَةِ ) فَالْفَرْقُ بَيْنَ هَذَا وَبَيْنَ الثَّانِي أَنَّ الْمُحَرَّمَ قَائِمٌ وَفِي الثَّانِي ، وَأَمَّا هَاهُنَا فَالْمُحَرَّمُ غَيْرُ قَائِمٍ حَالَ الضَّرَرِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى : { وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إلَّا مَا اُضْطُرِرْتُمْ } فَالنَّصُّ لَيْسَ بِمُحَرِّمٍ فِي حَالِ الضَّرُورَةِ ( وَلِأَنَّ الْحُرْمَةَ لِصِيَانَةِ عَقْلٍ ، وَلَا صِيَانَةَ عِنْدَ فَوْتِ النَّفْسِ ، وَكَذَا صَلَاةُ الْمُسَافِرِ رُخْصَةُ إسْقَاطٍ لِقَوْلِهِ : عَلَيْهِ السَّلَامُ { إنَّ هَذِهِ صَدَقَةٌ } الْحَدِيثَ ) رُوِيَ { عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ أَنَقْصُرُ الصَّلَاةَ وَنَحْنُ آمِنُونَ فَقَالَ عَلَيْهِ السَّلَامُ إنَّ هَذِهِ صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللَّهُ تَعَالَى بِهَا عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ } وَإِنَّمَا سَأَلَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ لِأَنَّ الْقَصْرَ مُتَعَلِّقٌ بِالْخَوْفِ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى : { وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنْ الصَّلَاةِ إنْ خِفْتُم

ْAl Qodli memetakan rukhsoh menjadi dua bagian. Kedua-duanya adalah Rukhsoh haqiqot dan Rukhsoh majaz. Persamaan rukhsoh tersebut adalah praktek-praktek keharaman perbuatan mukallaf yang mendapat pengesahan dari syara’ dengan sebab. Perbedaan hakikat dengan majaz adalah kadar pengi’tibaran terma haqiqot dan majaz sendiri kepada rukhsoh.

Bagian pertama (rukhsoh haqiqot) terdiri menjadi dua keping. Keping yang pertama adalah upaya menggolongkan sebuah perkara yang dilakukan seseorang untuk cenderung meniggalkan rukhsoh di banding azimah. Dengan artian, boleh baginya melakukan dua hal tersebut namun akan lebih baik kalau dirinya tidak memakai rukhsoh dan melakukan hal yang semestinya dia lakukan. Sedangkan keping yang kedua adalah sebaliknya, upaya menisbatkan kasus yang dilakukan seseorang kepada azimah lebih sempurna daripada rukhsoh. Dengan kata lain, sebuah perkara yang semestinya dilakukan seseorang lebih tepat kepada Rukhsoh daripada azimah.
Contoh keping pertama adalah kebolehan seseorang berkata kufur saat dirinya sedang keadaan terjepit. Kebolehan tersebut sebagaimana ungkapan Al qur’an :

من كفر بالله من بعد ءايمانه ءالا من أكره وقلبه مطمئن بالاءيمان

Al Qodli berpendapat bahwa hak dan kewajiban seorang muslim adalah memegang teguh iman yang dia miliki. Apapun ancaman dan resikonya, pada dasarnya orang tersebut tidak boleh menggeser sedikitpun jalan yang telah dia tempuh. Berangkat dari sini, Al Qodli memang menegaskan boleh bagi seseorang untuk mengambil rukhsoh. Tetapi jalan yang lebih baik baginya adalah meyerahkan diri dan tidak melakukan rukhsoh. Pemahaman ini sangat jelas melalui perkatannya “فَفِي هَذِهِ الصُّوَرِ لَهُ أَنْ يَعْمَلَ بِالرُّخْصَةِ حَقِيقَةً لَكِنْ إنْ أَخَذَ بِالْعَزِيمَةِ وَبَذَلَ نَفْسَهُ فَأَوْلَى “.

Berbeda dengan contoh keping kedua yang di tashowwurkan dengan ifthornya musafir. Pada kasus ini, seseorang yang boleh meninggalkan puasanya dengan alasan berpergian mendapat wewenang dari Allah Swt “فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ”. Puasa adalah sebuah kewajiban yang harus dilakukan tiap kaum muslim dan menjadi rukun islam. Tapi saat seseorang bepergian memaksa dirinya untuk berpuasa, kemudian timbul dloror yang kembali pada dirinya pada saat itu maupun akan datang bukankah fenomena tersebut sama saja dengan bunuh diri. Perbedaan inilah yang secara tegas memisahkan keping pertama dengan keping kedua. Bagian pertama menitikberatkan bahwa perbuatan yang dilakukan seyogyanya adalah azimah. Sedangkan titik poin bagian kedua adalah lebih mengajak untuk lebih melakukan rukhsoh.

Banyak perbuatan-perbuatan mukallaf yang memang harus mendapat keringanan syara’. Bentuk keringan tersebut ada yang sudah mendapat pengesahan dari nash dan tidak. Terlepas dari pengkategorian rukhsoh atau azimah, pada dasarnya semua aturan-aturan yang telah ada bersifat gampang dan mudah. Tidak ada amalan yang dilakukan anak manusia dan bersifat wajib berakhir dengan sebuah keberatan. Kalaupun di sebuah kondisi ternyata memberatkan pasti ada dalil lain yang menjadi jalan alternatif. Inilah poin penting yang menjadi ruh syari’at umat Muhammad. Sebuah pemahaman yang sering dilupakan para cendekiawan di dalam membaca diskursus pengetahuan.

Al Qodli kemudian menerangkan bagian rukhsoh selanjutnya, adalah rukhsoh majazi. Bagian ini pun terbagi menjadi dua pecahan. Pecahan pertama (nomor tiga dari urutan rukhsoh) adalah sebuah keadaan di mana praktek tersebut (baca:rukhsoh) lebih sempurna dinamakan majaz daripada hakikat. Gambaran yang diberikan mengenai bagian ini adalah setiap kasus yang memiliki bentuk masyaqqah serta kemudian menjadi asal muasal dari rukhsoh adalah praktek rukhsoh majazi. Al Qodli pun kemudian memberikan alasan yang logis, karena pada asalnya praktek tersebut tidak tercantum dalam nash.

Pecahan kedua (nomor empat dari urutan rukhsoh) adalah sebuah praktek di mana pengkategorian rukhsoh dalam masalah ini memiliki dua jalan, haqiqat dan majaz. Jika dipandang dari segi hilangnya dominasi syari’at atas perkara tersebut, maka selayaknya dinamakan majaz. Namun jalur yang sangat tepat untuk dimasuki awal timbulnya hukum adalah hakikat. Dengan bahasa lain, kasus yang digolongkan pada bagian ini adalah sebuah keadaan di mana kejadian yang sedang berlangsung meliputi haqiqot dan majaz. Salah satu contoh yang dituangkan dan mungkin bisa kita kaji adalah minum khamr. Saat keadaan normal seseorang tidak boleh minum khamr dengan alasan apapun. Namun hukum akan berubah saat seseorang dipaksa minum khamr. Pemaksaan ini yang menyebabkan seseorang boleh minum khamr. Maka, hukum pemaksaan minum khamr memiliki dua sisi. Ditinjau dari sisi hilangnya keharaman yang semula harus di jalani karena dalam keadaan dlarurat, sedangkan di sisi lain kebolehan tersebut juga mendapat pengesahan dari ayat secara global.

Uraian yang disodorkan Al Qodli sebagaimana di atas memang sangat rumit. Berawal dari satu rangkaian nalar (rukhsoh majaz), kita di ajak berinteraksi dengan studi kasus atas problematika yang sedang menjadi pembahasan. Kalau kita membaca secara jeli dan paham seakan memang ada diferensiasi yang jelas antara kedua pecahan (rukhsoh majaz) ini dengan dua kepingan (rukhsoh haqiqot) sebelumnya. Namun rupanya perbedaan tersebut banyak yang harus dilihat dari berbagai sisi secara ulang.

Titik poin syari’at adalah upaya membumikan secara utuh. Proses perjalanan ini secara otomatis harus di dukung waktu, tempat dan kondisi seseorang yang sedang menjalani. Tetapi saat seseorang sedang dalam keadaan terdesak, apakah beban kewajiban tersebut masih tetap terbelenggu di dadanya. Maka lahirlah istilah yang kemudian di sebut Rukhsoh dan azimah. Proses memanjangkan dialektika sebagaimana di atas adalah studi sekiranya tidak perlu kalau di lain sisi kita akan menggugurkan kajian lain yang lebih penting plus proporsional.

Saat seseorang melakukan rukhsoh, tanpa disadari dia telah melakukan perkara yang sangat dianjurkan syara’. Perihal apapun wujud rukhsoh tersebut seorang mukallaf secara otomatis mendapatkan dua laba. Pertama, keringanan dalam melakukan hal yang disyariatkan. Kedua, Orang tersebut telah mengikuti ajaran yang telah ditetapkan sunnah. Keinginan untuk mengikuti ajaran yang dilandasi niat tulus adalah satu kesatuan bagi seseorang untuk mendapatkan nikmat (baca:balasan) dari Tuhannya. Usaha yang dilakukan seorang mukallaf untuk mendapatkan nikmat tersebut bahkan banyak di antaranya yang tidak menyinggung pembahasan-pembahasan njelimet sebagaimana di atas.

Meski kaum Hanafiyyah menguraikan secara panjang lebar dan membagi kepada empat. Pada prinsipnya mereka memiliki kesamaan dengan kaum Syafiiyah dalam memandang esensi rukhsoh sendiri. Adalah sebuah perkara yang berubah dari sulit ke mudah. Bagian ini adalah bagian yang disepakati dua kaum di atas. Perbedaan kemudian terjadi saat konsep ini berasimilasi dengan masalah fiqhiyyah. Dikarenakan keberadan masalah fiqhiyyah ditopang oleh model berfikir yang berbeda maka hasil yang di capai kedua madzhab pun berbeda. [14]

D.APLIKASI RUKHSOH, SAFAR

Seiring dinamika perubahan zaman berbagai sudut pandang mengenai rukhsoh pun juga mengalami pergeseran makna. Ada banyak permasalahan yang harus dikaji ulang meskipun pada zaman dulu para Fuqaha’ sudah ramai mendiskusikan. Kenyataan tersebut disebabkan karena ada banyak piranti yang mengubah sudut pandang menjadi lebih bervariasi. Salah satu contoh yang paling sering kita dengar semisal menjama’ atau mengqosr salat.

Pada masa dulu saat seseorang melakukan perjalanan jauh tak ayal lagi bahwa menjama’ atau mengqosr salat menjadi sebuah kewajiban. Bagaimana tidak, saat seseorang menempuh perjalanan jauh (baca:masaafah al qosr) tidak ada yang hinggap di tubuhnya selain masyaqqah. Kesulitan ini yang kemudian menjadi pertimbangan Al Syari’ untuk memberikan dispensasi dalam menjalankan ibadah. Jadi, penetapan rukhsoh jama’ salat sebagai alternatif seorang muslim memang berbanding dengan kesulitan yang dihadapinya. Kemudian pertanyaanya, apakah fenomena rukhsoh tersebut pada masa sekarang masih tetap berlaku, toh kemudahan yang diberikan syara’ tidak berbanding dengan masyaqqah yang dijalani kaum muslim.

Sekilas kalau kita ikuti alur deskripsi di atas mungkin kepala kita akan manggut-manggut mengiyakan. Tapi ada satu serpihan lain yang tampaknya belum tersentuh uraian di atas. Saat seseorang mendapatkan rukhsoh dari syara’ maka orang tadi tidak sedang masuk ke dalam bab taklif. Tetapi masuk ke dimensi lain yang memiliki keterikatan dengan corak perbuatannya. Dimensi lain tadi oleh mayoritas cendekiawan muslim disebut khithob wadl’i[15]. Wujud entitas khithob wadl’i sendiri pun sangat unik. Tidak seperti khithob taklifi, keberadaan khithob ini tidak mempertimbangkan keberadaan maupun ketiadaan masyaqqoh yang dialami seseorang. Yang terpenting dari khitob ini adalah saat ada sebab yang menjadikan seeorang melakukan rukhsoh maka orang tersebut berhak mendapatkan garansi dari Tuhan melakukan rukhsoh[16].

Hampir semua golongan (untuk tidak menafikan kemungkinan pendapat lain) menyepakati bagian ini. Saat ada sebuah sebab maka tak ayal lagi lahirlah kekuasaan bagi seseorang untuk menjalankan rukhsoh.[17] Kekuasaan ini merupakan pemberian dari syari’at yang menjadi anugerah bagi seorang mukallaf untuk menjalankannya. Sebuah anugerah yang terus berlaku sepanjang waktu dan zaman.

E.Epilog.

Mendiskusikan rukhsoh menjadi pembacaan yang selalu hangat. Keasyikan tersebut dilatarbelakangi berbagai aspek yang meliputinya. Pun tidak ketinggalan alur pembacaan yang dilontarkan berbagai mujtahid dalam melakukan analisa sesuai ide-ide mereka. Sangat pas bagi kita untuk menguliti dan mengambil isi rukhsoh sebagai salah satu wujud memahami syari’at.

Istilah rukhsoh memang sudah muncul sejak pada masa Nabi Muhammad. Berbagai riwayat yang beliau sabdakan menjadi kunci penting para cendekiawan yang hidup pada masa sesudahnya dalam memahami inti rukhsoh sendiri. Telaah terma ini pun berlanjut ke masa sahabat. Disadari atau tidak, para sahabat yang mengucapkan kalimat rukhsoh baik semenjak Baginda Rasul masih hidup dan wafat memberikan arah pemahaman yang berwarna-warni pada generasi setelahnya.

Abad setelahnya menjadi masa yang gemilang dalam sejarah peradaban umat islam. Seiring meluasnya daerah-daerah kaum muslimin, kemajuan tersebut juga terjadi dalam dinamika ilmu pengetahuan. Tidak ketinggalan pembahasan rukhsoh yang semakin marak. Salah satu bukti yang bisa kita lihat sebagaimana di atas adalah perbedaan kaum Hanafiyyah dan Syafi’iyyah dalam menerapkan sudut pandang mereka atas rukhsoh. Keduanya sepakat kalau rukhsoh terbagi menjadi dua. Namun ada perbedaan acuan yang mereka angkat sesuai pola pikir yang telah mereka yakini.

Seiring dinamika perkembangan zaman, banyak problematika baru muncul ke permukaan. Sebagian masalah telah di bahas pada masa lampau, tetapi sisanya mungkin belum pernah di kaji pada zaman dulu. Meskipun sebagian masalah telah di bahas, namun ada faktor-faktor lain yang mengacu pada kita untuk meneliti ulang problematika tersebut. Pembahasan ulang tersebut pun harus menimbang interaksi sosio kultural sesuai dimensi yang kita jalani sebagaimana kasus jama’ qosr seperti di atas.



[1] Al Baqoroh 185

[2] Al Baqoroh 296

[3] Al Tholaq 7

[4] Al Hajj 78

[5] Al Insyiroh 6

[6] Al Maidah 3

[7] Ada banyak perbedaan riwayat hadis seperti ini. Mungkin yang biasa kita dengar redaksi pengucapan seperti di atas. Tapi sebenarnya masih ada redaksi lain yang memakai penambahan, salah satunya:

عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم*

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ تُؤْتَى مَعْصِيَتُهُ.

أَخْرَجَهُ أحمد قال : حدثنا علي بن عبد الله ، حدثنا عبد العزيز بن محمد. و"ابن خزيمة" قال : حدثنا أحمد بن عبد الله بن عبد الرحيم البرقي ، حدثنا ابن أبي مَرْيم ، أخبرني يحيى بن أيوب. وفي قال : حدثنا سعيد بن عبد الله بن عبد الحكم ، حدثنا أبي ، حدثنا بكر بن مُضَر.

ثلاثتهم (عبد العزيز بن محمد ، ويحيى بن أيوب ، وبكر بن مُضَر) عَنْ عُمَارَةَ بْنِ غَزِيَّةَ عَنْ حَرْبِ بْنِ قَيْسٍ عَنْ نَافِعٍ ، فذكره.

- في رواية بكر بن مضر ؛ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ غَزِيَّةَ , عَنْ حَرْبِ بْنِ قَيْسٍ , وزعم عمارة أنه رضا.

- أَخْرَجَهُ أحمد قال : حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ غَزِيَّةَ عَنْ نَافِعٍ , فذكره. ليس فيه (حرب بن قيس.

فال هذا أبو الفضل السيد أبو المعاطي النوري (1401 هجرية) في المسند الجامع

قال ناصر الدين الألباني في إرواء الغليل في تخريج أحاديث منار السبيل :

وروى أحمد عن ابن عمر مرفوعا : " إن الله يحب أن تؤتى رخصه كما يكره أن تؤتى معصيته صحيح .

قال الإمام أحمد : ثنا قتيبة بن سعيد ثنا عبد العزيز بن محمد عن عمارة بن غزية عن نافع عن ابن عمر به .

" قلت : وهذا سند صحيح على شرط مسلم ورواه ابن خزيمة وابن حبان في صحيحهما كما في " الترغيب .

ثم رأيته في ابن حبان و رواه عن قتيبة به لكنه زاد حرب بن قيس بين عمارة ونافع .

ومن هذا الوجه رواه الخطيب . ثم قال أحمد : ثنا علي بن عبد الله ثنا عبد العزيز بن محمد عن عمارة بن غزية عن حرب بن قيس عن نافع به .

قلت : فزاد علي وهو ابن المديني في إسناده حرب بن قيس وقد ذكره ابن حبان في ( الثقات ) وذكر البخاري أنه كان رضى فإن كان الدراوردي قد حفظ الإسنادين فهو من هذا الوجه من المزيد فيما اتصل من الأسانيد

لكن الظاهر أن الدراوردي كان يضطرب في إسناده فقد أخرج القضاعي في " مسند الشهاب " عنه بالوجه الأول

ورواه على وجه ثالث أخرجه الطبراني في " الأوسط " وابن منده في " التوحيد " وابن عساكر من طرق أخرى عن عبد العزيز بن محمد عن موسى بن عقبة عن حرب بن قيس عن

نافع به .

ثم رواه ابن منده من طريق هارون بن معروف ثنا عبد العزيز به إلا أنه أسقط من السند حرب بن قيس .

وقال الطبراني : " لم يدخل بين موسى ونافع حربا إلا الدراوردي " .

قلت : وهو صدوق احتج به مسلم إلا أنه كان يحدث من كتب غيره فيخطئ وقد اضطرب في إسناد هذا الحديث على وجوه أربعة : فتارة يرويه عن عمارة بن غزية عن نافع عن ابن عمر .

وتارة يدخل بين عمارة ونافع حرب بن قيس .

وتارة عن موسى بن عقبة بدل عمارة بن غزية على الوجهين المذكورين .

ولعل الوجه الثاني هو الأرجح لأنه قد توبع عليه فقد قال ابن الأعرابي في معجمه : قرأت على علي : نا ابن أبي مريم نا يحيى بن أيوب حدثني عمارة بن غزية عن حرب بن قيس عن نافع به .

قلت : ويحيى بن أيوب هو الغافقي المصري وهو ثقة من رجال الشيخين ومثل ابن أبي مريم واسمه سعيد وأما علي شيخ ابن الأعرابي فهو ابن داود القنطري وهو ثقة .

فصح بذلك إسناد الحديث ونجا من الاضطراب المخل بالصحة .

على أن للحديث شواهد من حديث عبد الله ابن عباس وعبد الله بن مسعود وأبي هريرة وأنس بن مالك وأبي الدرداء وأبي أمامة وواثلة بن الأسقع .

أما حديث ابن عباس فهو بلفظ : " ...كما يحب أن تؤتى عزائمه " .

أخرجه أبو بكر الشيرازي في " " سبعة مجالس "

Sebagian riwayat lagi memakai penambahan lain:

*قال ابن خزيمة في صحيحه

حدثنا سعيد بن عبد الحكم حدثنا أبي حدثنا بكر بن مضر عن عمارة بن غزنة عن حرب بن قيس ـ و زعم عمارة أنه رضى ـ عن نافع عن ابن عمر : عن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال : إن الله يحب أن تؤتى رخصه كما يحب أن تترك معصيته

Meskipun banyak sekali versi-versi berbeda, namun kebanyakan semua riwayat yang ada kembali ke Ibn Umar Ra.

[8] * قال أبو الفضل السيد أبو المعاطي في المسند الجامع

عَنْ أَبِي مُرَاوِحٍ ، عَنْ حَمْزَةَ بْنِ عَمْرٍو الأَسْلَمِيِّ ؛

أَنَّهُ قَالَ : يَا رَسُولَ اللهِ ، أَجِدُ بِي قُوَّةً عَلَى الصِّيَامِ فِي السَّفَرِ ، فَهَلْ عَلَيَّ جُنَاحٌ ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : هِيَ رُخْصَةٌ مِنَ اللهِ ، فَمَنْ أَخَذَ بِهَا فَحَسَنٌ ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَصُومَ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ.

أخرجه مُسْلم قال : حدَّثني أبو الطَّاهر ، وهارون بن سَعِيد الأَيْلِي ، قال هارون : حدَّثنا ، وقال أبو الطَّاهر : أخبرنا ابن وَهْب ، أخبرني عَمْرو بن الحارث. و"النَّسائي" ، وفي "الكبرى" قال : أخبرنا الرَّبِيع بن سُلَيْمَان ، قال : أنبأنا ابن وَهْب ، قال : أنبأنا عَمْرو ، وذكر آخر. و"ابن خزيمة" قال : حدَّثنا يُونُس بن عَبْد الأَعْلَى ، حدَّثنا عَبْد اللهِ بن وَهْب (ح) وأخبرني عَبْد الحَكَم ، أن ابن وَهْب أخبرهم ، أخبرني ابن الحارث.

كلاهما (عَمْرو بن الحارث ، والرجلُ الآخرُ) عن أَبِي الأَسْوَد ، عن عُرْوَة بن الزُّبَيْر ، عن أَبِي مُرَاوِح ، فذكره

قال شمس الدين محمد بن أحمد بن عبد الهادي الحنبلي *

قال الدارقطني ثنا أبو بكر النيسابوري قال ثنا يونس قال انبأ ابن وهب قال أخبرني عمرو ابن الحارث عن محمد بن عبد الرحمن عن عروة عن أبي مراوح عن حمزة بن عمرو الأسلمي أنه قال يا رسول الله إني أجد في قوة على الصيام في السفر فهل علي جناح فقال رسول الله هي رخصة من الله فمن أخذ بها فحسن ومن أحب أن يصوم فلا جناح عليه

قال الدارقطني هذا إسناد صحيح قال وخالفه هشام بن عروة عن أبيه عن عائشة أن حمزة سأل رسول الله

قال ويحتمل أن يكون القولان صحيحين والله أعلم

[9]قال الحافظ زين الدين أبو الفرج ابن رجب الحنبلي في فتح الباري *

وقال يزيد بن هارون ، عن سفيان بن حسين ، عن الزهري ، عن محمود بن الربيع - أو الربيع بين محمود - شك يزيد .

وقد روي عن ابن عيينة بإسناد آخر : خرجه ابن عبد البر في ((التمهيد)) ، من طريق عبيد الله بن محمد : ثنا سفيان بن عيينة ، عن الزهري ، عن عمرة ، عن عائشة - إن شاء الله - ، عن عتبان بن مالك ، أنه سأل رسول الله - صلى الله عليه وسلم - عن التخلف عن الصلاة ، فقال : ((أتسمع النداء؟)) قَالَ : نَعَمْ . فَلَمْ يرخص لَهُ .

وهذا الإسناد غير محفوظ ، ولهذا شك فيه الراوي - إما عن سفيان أو غيره - ، وقال : ((إن شاء الله)) ، وإنما أراد حديث محمود بن الربيع .

وأما ابن أم مكتوم ، فقد خرجه مسلم من رواية يزيد بن الأصم ، عن أبي

هريرة ، قال : أتى النبي - صلى الله عليه وسلم - رجل أعمى ، فقال : يا رسول الله ، أنه ليس لي قائد يقودني إلى المسجد . فسأل رسول الله - صلى الله عليه وسلم - أن يرخص له فيصلي في بيته ، فرخص له ، فلما ولى دعاه ، فقال : ((هل تسمع النداء بالصلاة)) قال : نعم . قال فأجب))

[10] Banyak sekali pengucapan kalimat rukhsoh yang diungkapkan para sahabat. Sebagaimana yang di ungkapkan dalam ‘umdatul qori :

وأخرجه الترمذي حدثنا الحسن بن محمد الزعفراني قال حدثنا الحجاج بن محمد عن ابن جريج قال أخبرني عبد الكريم سمع مقسما مولى عبد الله بن الحارث يحدث عن ابن عباس أنه قال لا يستوي القاعدون من المؤمنين غير أولي الضرر عن بدر والخارجون إلى بدر وقال عبد الله بن جحش وابن أم مكتوم إنا أعميان يا رسول الله فهل لنا رخصة فنزلت لا يستوي القاعدون من المؤمنين غير أولي الضرر وفضل الله المجاهدين على القاعدين درجه

[11] Saifuddin Abu Hasan Ali bin Abi Ali Al Amidy, Al Ihkam fii usul Al Ahkam,Jilid I, Dar Al kutub Al Ilmiyyah, Beirut, tanpa tahun, hal 113

[12] Abu Hamid Muhammad Al Ghazali, Al mustashfa, Juz I, Dar al fikr, Beirut, tanpa tahun, hal 98

[13] Al Imam Al Qodli Shodr Syari’at Abdullah bin Mas’ud Al Mahbubi, Al Taudlih li matn Al Tanqih fii usul al fiqh, tiga kitab dalam satu kitab, Juz II, maktabah al taufiqiyyah, kairo, tanpa tahun, hal 353-360

[14] Muhamad bukhit al muthi’I, sullam al wusuul li syarh nihaayat al suul, juz I, kulliyah syari’ah universitas al azhar kairo, tanpa tahun, hal 123

[15] Sebagaimana yang kita ketahui bahwa khitab al syari’ ada dua, khithob taklifi dan khithob wadl’i. Bagian pertama menjadi bagian yang berhubungan erat dengan taklif seseorang atau dengan kata lain penggolongan sesuatu menjadi sah, tidak atau mubah. Sedangkan prioritas bagian kedua ditekankan kepada hal-hal selain penggolongan pertama. Pembahasan macam-macam hokum seperti ini banyak ditemukan di hampir semua kitab-kitab usul fiqh. Salah satunya sebagaimana yang disebutkan dalam Al nafahaat.

Ahmad bin Abd Lathif Al khothib, al nafahaat ‘alaa syarh al waroqoot, al haromain, Surabaya, tanpa tahun, hal 16

[16] Al Jallal Syams Al Din Muhammad bin Ahmad Al Mahalli, syarh al Jallal ‘ala matn Jam’ al jawami’, jilid I, Dar al fikr, 1995, hal 123

[17] Sebagai perbandingan, coba perhatikan petikan kalimat dari salah satu buku kaum Hanafiyyah

ثم اعلم أنه نقل عن المصنف أن المريض الذى لا يضره الصوم والملك المرفه المسافر سواء في عدم المشقة فتجويز الأفطار لأحدهما دون الآخر تحكم وليس كذلك فإن الأحاديث الصحيحة قد دلت على عدم اعتبار المشقة في رخصة السفر وانعقد الاجماع

Lebh tegas lagi, ternyata sebagian golongan usuliyyin malah tidak meng’itibar masyaqqoh dalam rukhsoh safar.

Abd Al Aly Muhammad bin Nidlom Al Din Al Ansori, fawaatih Al Rahamuut bi Syarh muslim Al tsubuut, Juz I,Dar Al fikr, tanpa tahun, hal 71