Sabtu, 11 April 2009

MENGINTIP STUDI AWAL MAQASID

PROLOG
Kebanyakan sarjana membagi masyarakat Arab ke dalam tiga golongan 'Aribah, Muta'rriba, dan Musta'ribah. Sosio-geografis yang membentang dari ujung utara ke selatan sangat mungkin memicu beragam dialektika meskipun berasal dari satu induk. Hampir sebagian besar orang menyebut 'Aramiyyah (Aramic) sebagai induk semua bahasa masyarakat Arab. Pola pengucapan pada saat ini terlihat banyak mengalami perbedaan meski tidak jarang terdapat konotasi lafadz dalam memahami makna. Terlalu banyaknya kosakata baru saat ini sehingga pelantunan Aramic sangat sulit dikenali, namun merunut fakta sejarah akan tampak bahwa peranan bahasa masyarakat Arab sampai saat ini tidak lepas dari keberadaannya. Salah satu bahasa yang menjadi sorotan banyak peneliti adalah Ibrani. Melihat statusnya dalam panggung sejarah, sebagian dari mereka menafikan lahirnya bahasa tersebut. Hampir semua bukti dan fakta menuntun kebanyakan sarjanawan untuk memasukkan ke dalam bahasa-bahasa yang dibawa para pendahulunya. H. S. Tharik Chehab dalam hipotesanya menyebutkan bahwa pada dasarnya penyebutan bahasa dengan istilah Ibrani tidak pernah terjadi. Pembuktian ditarik dari asal-muasal penyebutan "Ibrahim" (nenek moyang semua agama Samawi). Menurutnya nama asli Ibrahim adalah "Abram". Saat Abram ─Arab Muta'arribah─ hijrah dari kampung UR (berbahasa Aromia Kildani, sekarang Iraq selatan) ke negeri Kan'an yang masyarakatnya memakai bahasa Aromia Kan'ani. Adapun kini, Palestina (Israel) atau yang disebut bangsa keturunan Kan'an ─yang juga termasuk Arab Muta'arribah─ memanggilnya dengan sebutan Ibrahim yang berarti "Orang Sebrang". Panggilan ini disematkan karena Ibrahim menyeberangi sungai Efrat. Fakta ini menunjukkan bahwa panggilan Ibrahim terjadi karena adanya sebab-musabab, bukan terlahir sejak awal.
Sudah tidak asing di kalangan kita, Ibrahim melahirkan Ishak yang menjadi nenek moyang Bani Israel. sedangkan Ismail sebagai jalur nasab kaum Arab Quraisy. Dua klan besar dengan perjalanan sepanjang samudera pasir gersang mengisi lembaran-lembaran buku sejarah sampai saat ini. Bani Israel mulai dari permulaan abad Masehi diramaikan dengan nama-nama para Nabi dan para Rasul yang menyeru ke jalan Allah S.W.T. Lain halnya dengan bangsa keturunan Ismail, hampir tidak ada keturunan Ismail yang menjadi tokoh besar sampai masa kelahiran Rasul akhir zaman; Muhammad ibn Abdillah al-Hasyimi S.A.W. Banyak perundangan yang dibawa oleh syariat Muhammad ini memiliki kesamaan dengan perundangan yang terkonsep pada masa pensyariatan Bani Israel. Pada intinya kitab perundangan tersebut berisi ajaran untuk tunduk ke jalan Allah Swt,, disamping menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Cukup dengan setengah abad, hampir seluruh masyarakat di Jazirah Arab berbondong-bondong mengikuti risalah Muhammad Saw. Jika kita tengok perjalanan Nabi Besar ini, dan dengan membandingkan hasil neraca kesuksesan mereka Nabi-Nabi Israel mungkin hanya Muhammad Saw. yang pantas menduduki rangking pertama dalam menyebarkan corak pemikirannya ke masyarakat. Kiranya tidak salah Michael Hart memasukkan nama satu tokoh ini ke dalam urutan teratas, melihat hasil pencapaiannya yang hanya memakan waktu kurang dari setengah abad, sungguh waktu yang cukup singkat. Terlepas perdebatan di atas, muncul wacana unik semenjak lahirnya agama Islam. Seiring lajunya zaman wacana tersebut berkembang bahkan terus hidup sampai sekarang. Adalah ilmu Maqashid saat Syathibi memproklamirkannya ke jantung wilayah pemikiran Islam yang sedang memanas.

TELAAH SINGKAT HISTORIOGRAFI MAQASID
Tiap kesuksesan mengakar pada kunci kemenangan. Sebagaimana di atas, hanya seperempat abad Muhamad mampu membumikan risalah di seluruh Jazirah arab. Salah satu kunci kemenangannya terletak pada kapasitas hukum perundangan yang bersifat universal. Hampir semua kegiatan manusia telah diatur Syariat secara baku. Pun tidak luput amaliah batin manusia. Aturan baku tersebut terkadang menyimpan 'illah. Sebagaimana termaktub dalam kitab usul fiqh, illah akan selalu berubah setiap kali muncul pergantian hukum, sehingga tidak jarang pada satu kasus terdapat tumpang tindih kontroversial. Terlepas kontroversi seputar illah, Hukum Syara' kadang juga menyimpan maqasid. Salah satu jalan untuk menggapai dinamika kehidupan yang lebih tercerahkan.
Mengkaji sejarah dinamika keislaman. Istilah maqasid belum menjadi pemikiran universal di kalangan cendekiawan muslim turats. Baru pada abad 20-an muncullah beberapa pemikir muslim kontemporer yang mencoba membuat rumusan tentang maqasid, semisal qardlawi, al risuni, Allal Fasy dan yang lain-lain. Salah satu rumusan maqasid sebagaimana diungkapkan Ibnu Asyur:
مقاصد التشريع العامة هي المعاني والحكم الملحوظة للشارع في جميع أحوال التشريع أو معظمها بحيث لاتختص ملاحظتها بالكون في نوع خاص من أحكام الشريعة
Selanjutnya, Ibn Asyur pun membagi al ma'ani kedalam dua bagian, al ma'ani al haqiqiyah –Kandungan 'illat yang bisa di telusuri nilai maslahat-, dan al ma'ani al'urfiyyah al' aammah-praktik manusia yang mengandung nilai positif- Keduanya merupakan benang merah dalam menelusuri pemikiran maqasid secara terperinci.
Jika di telusuri lebih lanjut kandungan al ma'ani pada ungkapan di atas pada dasarnya sudah di ajarkan Rasululah S.A.W. Sebagai keturunan Ibrahim, Muhammad mengerti betul kapan dan di mana saat yang tepat untuk berdakwah. Tak pelak lagi kemudian muncul ayat-ayat Al qur'an berisi kandungan maqasid yang sangat tepat dengan ritme sosio setempat. Banyak ayat-ayat Al qur'an berisi kandungan al ma'ani pertama dalam pembagian Ibn Asyur, semisal:
يا أيها الذين أمنوا كونو قوامين لله شهداء بالقسط
اعدلوا هو أقرب للتقوى
فاحكم بين الناس بالحق ولا تتبع الهوى فيضلك عن سبيلك
Ketiga ayat di atas menyuarakan keadilan pada tiap manusia. Keadilan tersebut mencerminkan lahirnya maslahat dalam tiap lingkungan sehingga terwujudlah masyarakat madani. Muhamad S.A.W. juga mengajarkan kepada kita natijah al ma'ani kedua di atas, seperti:
ولكم في القصاص حياة
وكتبنا عليهم فيها أن النفس بالنفس والعين بالعين والأنف بالأنف والأذن بالأذن والسن بالسن والجروح قصاص
والسارق والسارقة فاقطعوا أيديهما جزاء بما كسبا نكالا من الله
Tiga ayat di atas menjadi lambang hidup manusia yang menjadi embrio kemaslahatan rakyat secara umum. Karena dengan qishash seseorang merasa mendapat keadilan. Dan keadilan termasuk resep terciptanya masyarakat madani. Dua prinsip ma'ani di atas telah di jalankan dengan sempurna semasa Rasulullah S.A.W. hidup. Tidak heran kemudian terciptalah masyarakat madani karena pada masa itu semua orang merasakan hak dan kewajibannya telah terpenuhi.
Sesudah Muhammad S.A.W. wafat muncullah khulafaurrasyidin sebagai penerus pemimpin umat. Keempat orang tersebut mampu memimpin masyarakat dengan semangat izzul islam wal muslimin. Tatanan syari'at mereka terapkan secara utuh. Tidak ketinggalan dua poin penting di atas mereka jalankan dengan baik. Mungkin terdapat beberapa tindakan salah satu khalifah yang dianggap salah menurut syari'at secara dlahir seperti tindakan Sayyidina Umar menggugurkan had sariqoh, had zina, mengqisos sekelompok orang karena membunuh satu orang, namun semua tindakan tersebut pada dasarnya tetap memakai perangkat verbal qoth'i. Dr baltaji bahkan mengungkapkan pendapatnya "tidak ada semua tindakan Umar R.A. sebagaimana di atas melainkan bertepatan dengan Syari'at Islam, dasar-dasarnya, dan tujuan-tujuannya secara umum".
Dinasti Umayyah menjadi penerus Khulafaurrasyidin. Walaupun proses transmisi menyisakan noda hitam di lembaran sejarah peradaban islam. Tidak menjadi catatan dinasti tersebut tidak meninggalkan karya-karya baru. Tiap kota besar di negeri islam melahirkan madrasah sebagai kaderisasi pemuda masa depan. Mekkah memunculkan Ibn Abbas guru madrasah. Ubay bin ka'ab berdiri di barisan paling depan saat menjadi guru di madrasah Madinah. Tidak ketinggalan Ibnu mas'ud sebagai kepala sekolah madrasah kufah ikut meramaikan Syiar islam di bawah bendera islam. Meski sepak terjang mereka di mulai sejak zaman khulafaurrasyidin namun upaya memperjuangkan agama Allah tidak pernah surut bahkan terus mengalami kemajuan pada saat dinasti Umayyah berkuasa. Terbukti di tangan mereka lahir wajah-wajah baru di belantika keilmuan islam seperti sa'id bin jubair, mujahid, ikrimah, thawus bin kisan, 'atho bin abi robah di bawah bimbingan Ibn Abbas. Kemudian zaid bin aslam, abu al 'aliyah, muhammad bin ka'ab al quradli dengan guru sekaliber Ubay bin ka'ab. Dan terakhir Ibn Mas'ud yang melahirkan alqamah bin qais, masruq, al aswad bin zaid, murrah al hamdany, 'amir al sya'by, hasan basri, qatadah bin du'amah al sadusy. Perkembangan terus berlanjut tanpa sedikitpun mengurangi nilai-nilai maqasid yang telah di bawa Rasulullah S.A.W.
Zaman Abbasiyah kemudian mengganti panggung sejarah dinasti Umayyah. Kemajuan muncul di sana-sini. Meskipun terdapat masa-masa kelam pada waktu tertentu, kaum muslimin tetap menjaga nilai-nilai maqasid yang telah ada. Bahkan muncul wacana maupun konsep baru seputar maqasid meski tidak terkodifasi secara sistematis. Sampai pada abad delapan hijriyah hiduplah tokoh besar yang dianggap sebagian orang besar sebagai bapak maqasid. Dia adalah Abu Ishak Al Syathibi. Dalam bukunya Al Syathibi secara global membagi maqasid ke dalam dua kategori. Pertama, maqasid yang kembali ke qasd' al syari'. Kedua, maqasid yang kembali ke qasd al mukallaf .
Pemikiran Syathibi selanjutnya di sempurnakan Muhamad Tohir bin Asyur. Dalam bukunya, banyak pemikiran baru maqasid terkaji secara lebih komplit dan matang. Secara garis besar Ibn Asyur mengelompokkan maqasid ke 'aam dan khoss. Bagian pertama meliputi semua pembahasan maqasid secara umum. Disini Asyur menelaah maqasid dan mengupasnya, tak ketinggalan faktor eksternal yang turut mempengaruhi hasil baku maqasid. Salah satu pembahasannya adalah samakhah. Mungkin Ibn Asyur termasuk tokoh moderat setaraf abduh. Keluwesannya dalam membumikan syariat mengantarkan kita untuk menerima samakhah sebagai bagian maqasid al din. Cakupan makna yang terkandung secara umum meliputi I'tidal, 'adl dan tawasuth. Pemahaman global yang menjadi baju kemaslahatan masyarakat pada akhirnya menempatkan samakhah berada di antara sifat tasahul dan tadlyiq. Banyak nash Al qur'an dan hadis menyitir keberadaan samakhah. Pada intinya agama mengajarkan pemeluknya agar tidak berlebih-lebihan dan tidak meremehkan warna ibadah yang telah ada. Bagian kedua Ibn Asyur mencoba memetakan konsep maqasid secara khoss. Konsep tersebut berupa persenggamaan antar manusia, semisal maqasid di dalam berkeluarga, bekerja, qadla', syahadah dan tindak pidana atas kejahatan.
Pemikiran Ibn Asyur sebagaimana di atas pada dasarnya bukanlah hal baru dalam dunia akademik per-fiqh-an. Jika kita telusuri lebih lanjut akan kita temukan wacana maqasid meski belum matang. Ibn Asyur sendiri menyatakan sejak dulu belum banyak Ulama' fiqh mau memfokuskan diri dalam dunia maqasid. Namun pada dasarnya maqasid tidak pernah lepas dari fitrah agama islam sendiri. Salah satu tokoh yang di anggap serius memperjuangkan nilai-nilai maqasid adalah Al Hakim Al Turmudzi. Siapakah dia sebenarnya? Bagaimanakah konsep nalar pemikirannya?

TAPAK TILAS ABSTRAKSI
Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ali bin al hasan bin bisyr al turmudzi. Abu abdillah dilahirkan dari keluarga yang dinisbatkan ke bangsa arab pada sepuluh pertama abad tiga hijriyah. Ayah Ibunya adalah seorang perawi hadis. Begitu juga kakeknya. Hampir semua kitab tarajum dan thabaqat – untuk menyebut tidak ada - yang di tulis menurut kebiasaan qudama' tidak menyinggung tanggal kelahiran maupun prediksi seputar kelahirannya. Sungguh menjadi kenyataan pahit bagi dunia akademik kita, meskipun mereka beralasan karena keberadaan Abu abdillah yang tidak di ketahui para sejarawan saat itu. Bahkan tahun kematiannya pun masih misterius. Sebuah keadaan yang tidak lazim dalam diri seorang sarjana muslim. Sebagian orang menyebut 255 H sebagai tahun wafat beliau. Sebagian lagi memprediksi tahun 285 H. Dr Ali hasan 'abd al qodir bahkan mentaksir sekitar tahun 296 H. Akan tetapi semua riwayat di atas di mentahkan cerita Ibn hajar yang menulis riwayat Al anbari saat berpetualang. Salah satunya yang terjadi pada tahun 318 H Al anbary pernah mendengarkan hadis dari Abu 'abdillah. Mungkin sebab inilah yang memicu kebanyakan Ulama' untuk memilih tahun 320 H sebagai akhir hayat beliau. Berpijak pendapat di sini, kita akan taksir Al hakim Al turmudzi lahir sekitar tahun 205 H dan hidup panjang umur selama 105 tahunan .
Iklim Turmudz yang terletak berdekatan dengan persia melahirkan benturan kebudayaan islam. Banyak kaum muslimin di Turmudz kemudian menuntut ilmu baru di negeri lain. Setelah mereka kembali lahirlah pergerakan baru dengan semangat Syiar islam. Namun tidak jarang muncul pemikiran agak nyleneh. Berdasarkan sejarah ada tiga pergerakan baru di masa Al Hakim.
Pertama, pergerakan semisal pengumpulan hadis dan penyaringan hadis shahih. Seiring meluasnya daerah-daerah islam para Muhaddits pun berserakan di mana-mana. Berputarnya roda zaman pada akhirnya melahirkan beberapa pendekar muslim yang bergerak di bidang hadits. Tanpa di sadari banyak aktivis-aktivis muslim berusaha mengikuti jejak pendahulu mereka. Pergerakan ini tampak meluas di daerah turmudz maupun sekitarnya. Bahkan mencapai keemasan pada abad ketiga. Terbukti dengan lahirnya Al Bukhari, muslim, Abu daud, Al Nasa'i, Al Trumudzi dan Ibnu Majah.
Kedua, pergerakan sufistik. Tasawuf pada dasarnya tidak pernah di ajarkan Muhammad. Mungkin kita bisa menemukan makna hakikat tasawuf pada ajaran Rasul, namun secara formalitas Syari'at sama sekali tidak mengangkat isu tasawuf. Di bagian ini muncul dua kubu besar dalam lembaran sejarah Turmudz. Gerakan pertama memiliki dua kelompok. Kelompok yang dinisbatkan kepada Syah bin Syuja' Al Kirmani (ahl al fatwah) dan kelompok yang di sebut ahlul mulat dengan memainkan peran tiga tokoh sufi sebagai tokoh utama, Abu Hafs Al Haddad, Hamdun Al Qasar, serta Abu Utsman Al Hairi. Kedua firqoh tersebut mempunyai karakteristik khusus dengan pola pergerakan yang sama. Kelompok ahl al fatwah berusaha membumikan nilai tasawuf mereka dengan mengedepankan kasih sayang yang berhubungan secara internal melalui tarbiyah. Sedangkan Ahl al mulat mengajarkan ilmu tasawuf melalui terma pemikiran al 'aql, al hawa, al nafs dan al ruh. Pada dasarnya keduanya berusaha memilih jalur filsafat atau rasional yang kebanyakan tidak bersumber dari syari'at. Pergerakan sufistik kedua adalah aliran permulaan dalam dunia sufistik. Aliran ini tumbuh di balkha dan sekitarnya pada akhir abad kedua dan awal abad ketiga. Di antara pemegang peran di sini adalah Fudail bin 'iyadh, Ibrahim bin Adham dan Hatim Al Asom. Ketiganya termasuk pemimpin para sufi. Aliran tasawuf di Turmudz pun berbeda dengan pemikiran Sufi di basrah, kufah maupun Syam.
Ketiga, pergerakan yang memiliki keterkaitan dengan 'ilm al kalam. Abad kedua dan ketiga memiliki sejarah berliku-liku sepanjang paradigma kehidupan umat islam. Banyak kemajuan positif yang sampai sekarang bisa rasakan. Namun tidak sedikit, upaya campur tangan kotor yang berusaha merubah nilai tatanan baku. Salah satunya melalui pemikiran baru tanpa tanpa melihat pijakan kuat. Untungnya, lahirlah tokoh besar semisal Abu Mansur Al Maturidi dan Abu Hasan Al Asy'ary yang berusaha membentengi dan meredam serangan-serangan di atas. Rongrongan terhadap fithroh agama juga terjadi di Turmudz. Benturan dua kebudayaan tersebut melahirkan cendekiawan baru bernafaskan filsafat. Pertama, madzhab Ulama' kalam yang bersentuhan dengan politik. Kedua, madzhab Ulama' kalam yang berikatan dengan kaum rasional. Secara kultur, madzhab pertama hidup dan berkembang terlebih dahulu di Turmudz. Bahkan muncul kemungkinan aliran ini bercokol pertama kali semenjak permulaan islam. Adalah kaum khwarij yang berdiam diri sampai daerah khurasan. Madzhab kedua terbagi menjadi tiga golongan. Golongan Syi'ah, bertempat di sebelah utara. Golongan Mu'tazilah, bertempat di selatan dan tengah. Golongan Murji'ah, menempati kawasan tengah dan timur.
Sebelum Khurasan di tempati kaum muslimin, di sana telah bercokol agama-agama non samawi. Kebanyakan penduduk asli sebelum islam datang memeluk Majusi. Mungkin karena kedekatannya dengan Persia. Sangat sulit memprediksi interaksi masyarakat setempat dengan pengikut agama samawi sebelum islam, sehingga tidak muncul informasi seputar perkembangan Yahudi maupun Nasrani.
Al Hakim sejak kecil telah mengenyam pendidikan agama dari orang tuanya, dan juga kakeknya. Hingga tidak heran rasa hausnya akan ilmu pengetahuan terus menggunung. Bahkan menurut versi lain, Al Hakim pernah menuntut ilmu kepada Khidr A.S. Al Hakim tidak menjelaskan secara jelas mengenai pengalamannya selama berguru. Bahkan nama-nama gurunya pun tidak di sebutkannya secara terperinci kecuali ayahnya. Sebagian kitab tarajum pernah meriwayatkan sedikit perjalanan Al Hakim saat menuntut ilmu. Pada saat berumur 27 tahun Al Hakim pernah menunaikan haji. Selama perjalanannya Al Hakim melintasi Iraq, Bashrah dan Kufah. Di tempat ini Al Hakim pernah mengeambil hadis dari Ulama' terkemuka setempat, namun tidak disebutkan siapa saja yang menjadi gurunya. Sebagian sumber memperkirakan tujuh belas nama yang tersebar di Iraq dan Khurasan sebagai gurunya di bidang hadis, tetapi kesemuanya tidak di kategorikan sebagai tokoh Muhadditsin. Sebagian referensi lain kemudian menyebutkan tiga pembesar sufi sebagai nama tokoh besar yang pernah bertemu Al Hakim. Mereka adalah Yahya bin Al Jala', Abu Turab Al Nakhsyaby, dan Ahmad bin Khadlrawaih. Pada dasarnya ketiga-tiganya tidak bisa di sebut guru karena pertemuan antara Al Hakim dengan mereka hanyalah sharing ide, dan munadlarah. Kiranya sangat masuk akal jikalau mereka bertiga benar-benar guru Al Hakim tentu Al Hakim sendiri menulis berita tersebut.
Umur panjang pada diri seseorang melahirkan eksistensi dalam kehidupannya, tanpa terkecuali jati diri Al Hakim. Dari tangannya lahir tokoh-tokoh baru sebagai tonggak kejayaan islam. Sebagian nama tersebut adalah Ahmad bin Muhamad bin Isa, Al Hasan bin Ali Al Juzajani, Mansur bin Abdullah bin Khalid Al Harawy, Abu Bakr Muhamad bin Ja'far bin Al Haitsam dan Abu Bakr Muhamad bin Umar Al Waraq Al Turmudzi Al Hakim.
Abu 'Abdillah termasuk jenis kritikus ulung. Hampir semua jajaran kaum cendekiawan muslim mendapat semprotan pedas darinya. Jika kita berusaha mencari titik temu pangkal permasalahan akan kita temukan tiga sumber alasan sebagai jalan kritisasi dalam diri Abu 'Abdillah, al manhaj, al maudlu', dan al ghayah. Tiga pokok tersebut menjadi pangkal kritik kepada pemikiran dan cendekiawan. Sebagaimana di ketahui banyak pemahaman Mu'tazilah yang tidak senafas dengan Syari'at, bahkan kaum Sunni sendiri terkadang kurang bisa memahami intisari agama sehingga pemahaman yang di usung terkesan kulit luar Syari'at. Abu 'Abdillah di posisi seperti ini sering mengkritik manhaj maupun maudlu' gaya sarjana muslim sebagaimana di atas. Selain dua terma di atas Abu 'Abdillah juga sering mengkritik ghayah al ilm. Seorang Ulama' pada dasarnya harus memiliki jiwa amanat yang tebal sehingga mampu mewujudkan ajaran agama di dalam kesehariannya. Seringa kali muncul Ulama yang tidak mampu memahami al ghayah. Perilaku tersebut justru berujung pada kerusakan dan di dalam bertindak. Sosok Ulama' yang semestinya menjadi contoh di dalam berperilaku maupun bertindak dengan membuat contoh negatif akan menciptakan kondisi masyarakat tidak islami. Kemudian lahirlah sebuah kondisi kesesatan yang membumi.

SEPERCIK TEROPONG PARADIGMA KLASIK
Abu 'Abdillah pada dasarnya lebih cocok di kategorikan tokoh sufi di banding tokoh fiqh. Ada tiga alasan yang mendasari penulis membuat kesimpulan di sini. Pertama, jika kita menelusuri perjalanan Abu 'abdillah akan kita temukan sejarah hidupnya yang di luar nalar standar. Pemahaman non logis di dalam akademik keislaman acapkali di sematkan ke ilmu tasawuf. Pada masa mudanya sebagaimana di atas Al Hakim di kabarkan pernah belajar pada Khidr A.S. Kedua, sebagian kitab tarajum dan thabaqat versi mutaakhirin saat menulis sekilas perjalanan hidupnya tampak di antara mereka memberi label al sufi, salah satunya sebagaimana di tulis tajuddin al subki dalam thabaqat syafiiyahnya. Pemberian stempel sebagaimana di atas sama saja dengan memvonis Al Hakim termasuk golongan Sufi. Ketiga, banyak sekali buku-buku al hakim berisi pemikiran sufistik. Semisal kitab bayan al farq baina al sadr wa al qalb wa al fuad wa al lubb. Dalam buku ini Al hakim berusaha membedakan empat unsur di atas dan membuat klasifikasi lebih lanjut. Sebagai contoh, nama al qalb menjadi sebuah nama yang menuntut eksistensi batin seseorang. Di dalam batin terdapat beberapa tempat, sebagian tempat tersebut di kategorikan eksternal dan sebagian lagi menjadi wilayah internal. Banyak pengakuan sarjana muslim mengenai produktivitas menulis Al hakim. Namun karya-karya tersebut memiliki kecenderungan sufistik, bahkan bukunya nawadirul usul (berisi hadis-hadis dari riwayatnya) jika di teliti lebih jauh lagi akan tampak upaya Al hakim untuk membumikan tasawuf.
Kehebatan Al Hakim tidak hanya terkenal dari sisi tasawuf. Banyak sarjana muslim mengakui kapasitasnya dalam cabang lain. Al Hajwiri pernah mengungkapkan dalam bukunya kasyf al mahjub bahwa Al Hakim memiliki kitab tafsir murni (tidak di ketahui keberadaannya). Al Hakim juga menulis beberapa cuplikan tentang tafsir ayat seperti bukunya al amtsal, tafsir ayat laa syarqiyat wa laa gharbiyat. Satu catatan penting yang perlu di garis bawahi disini adalah upaya Al Hakim memberi makna hamil al qur'an. Salah satu komentarnya "seseorang hanya pantas disebut hamil al qur'an ketika mampu mengetahui hati Al qur'an, memahami ucapan Al qur'an, dan memakai jubah Al qur'an. Tiap huruf Al qur'an memancarkan cahaya. Sebuah pancaran yang menjadi jubah kebesaran Al qur'an. Cahaya tersebut mencari hati yang suci, jiwa yang bersih, pribadi yang besar hingga muncullah cahaya tersebut bersama hurufnya. Jika sang cahaya tidak menemukan hati dengan sifat demikian maka sang cahaya menetap di luar, dan di dalam hati hanya terdapat kekosongan (pengetahuan lafdliyah Al qur'an)."
Era kehidupan Al Hakim menjadi kulminasi beberapa kebudayaan baru. Di beberapa daerah, hasil asimilasi kebudayaan setempat dengan peradaban islam plus sains semisal Persia Yunani melahirkan wacana baru dalam dunia islam. Tidak jarang kemudian timbul perang pemikiran antara satu golongan dengan yang lainnya. Dan hampir semua firqoh yang menjadi pemenang mendapat suntikan tangan kekuasaan. Suatu saat mu'tazilah menjadi pemenang tapi di lain waktu Ahlussunnah menjadi firqoh nomor satu di sebuah negeri. Pertempuran tersebut pun tidak luput dari pendirian Al Hakim. Kebanyakan sarjana muslim menilai Al Hakim termasuk tokoh Ahlussunnah. Dalam bukunya Al radd 'ala al mu'aththilah Al Hakim mencoba membuat alasan layaknya muhaddits. Al Hakim juga mengklasifikasikan hadis-hadis yang menguatkan alasan kemungkinan melihat dzat Allah S.W.T. (salah satu pendapat ahlussunnah ). Penulis menilai pendirian ini sama saja mengakui pendapat yang di usung Abu Hasan Al Asy'ary dan Abu Mansur sebagai panutannya.
Bagaimanakah pendirian Al Hakim mengenai firqoh-firqoh lain? Pertanyaan tersebut juga menjadi penelitian para sarjana muslim. Namun melihat hasil tulisan dan ulasan kitab thabaqat, akan nampak kenyataan di mana Al Hakim juga mengungkapkan pendiriannya atas firqoh-firqoh lain semisal Musyabbihah, Qadariyah, Jabariyah, dan Khawarij. Salah satu komentarnya tentang Khawarij sebagaimana tertulis dalam bukunya mas'alah al iman, wa al islam wa al ihsan "Khawarij adalah kaum yang tersesat perjalanannya di dalam dunia dan mereka menyangka telah melakukan amal baik. Mereka adalah orang yang paling rugi pekerjaannya. Semua pekerjaannya musnah. Di hari kiamat sama sekali tidak mempunyai timbangan kebaikan. Semuanya karena mereka bersungguh –sungguh di dalam beribadah tetapi hati mereka berbelok, akal mereka membatu, dan mereka menta'wil tidak semestinya." Al Hakim juga menawarkan konsep teologi agama secara semestinya. Secara lebih lanjut ada perbedaan antara ikhtilaf sahabat dengan pemahaman golongan-golongan di atas. Ikhtilaf yang terjadi di antara sahabat merupakan sebuah rahmat sekaligus simbol keanekaragaman khazanah islam. Sedangkan khilaf golongan di atas menjadi sebuah fitnah yang berujung konflik plus perpecahan di antara umat islam.
Rentang perjalanan hidup dalam kungkungan madzhab pada akhirnya merangsang para sarjana muslim meneliti pendapatnya tentang fiqh. Tajuddin Al Subki dalam Thabaqatnya menulis Al Hakim sebagai salah satu golongan Syafi'iyah. Namanya di sandingkan dengan Al Syafi'I, bahkan termasuk pembesar Syafi'iyah di Iraq. Pendapat di atas berseberangan dengan Ibn Araby dalam futuhat al makiyyahnya. Ibn Araby menulis, pada asalnya Abu Abdillah termasuk golongan Hanafi. Sejak muda bahkan pernah belajar ilmu hadis dan qiyas menurut versi Hanafiyyah. Abu Abdillah juga memiliki pendirian lain tentang ahl al hadis. Menurutnya, Ahl Al Hadis yang sempurna adalah sosok yang menerima hadis dengan hati besih, mampu membuka warna-warni al ma'ani dan al ta'wil, dapat menangkap pemahaman hadis dan tafsirnya, bisa mengambil istimbath hukum sesudah mengetahui al khas, al 'aam, al nasikh, al mansukh serta kerangka-kerangka yang lain. Pemahaman Al Muhaddis di sini bagaikan pinang di belah dua, sangat mirip dengan ta'rif al faqih. Namun, al faqih menurutnya memiliki makna tersendiri. Istilah Faqih mengandung dua makna. Pertama, seseorang yang mengetahui tentang hukum. Sosok seperti ini tidak hanya belajar ilmu agama tetapi juga membawa amanat yang harus di kumandangkan ke penjuru negeri. Kedua, seseorang yang memahami hakikat sebuah hukum sekaligus menemukan intisarinya. Cahaya Allah akan selalu menaungi seorang muslim. Setiap muslim yang belajar dan mengamalkan ilmunya, Allah akan menguatkan dan menggandakan sinar cahaya tersebut. Kemudian seseorang yang berhasil menangkap initsari agama pada dasarnya telah menggapai Nur yang di sematkan Allah kepada hambanya. Orang tersebut akan mampu mengambil rahasia-rahasia tiap kejadian meskipun permulaan kejadian hanyalah bayangan semu.
Al Faqih sebagaimana di atas menuntut pemahaman baru mengenai qiyas. Qiyas menurut kebiasaan usul fiqh adalah " mengembalikan hukum al far'i karena tidak memiliki nash kepada al asl yang mengandung nash karena ada illat yang mampu menyamakan keduanya di dalam hukum." Berpijak mengenai pemahaman Al Faqih versi Abu 'Abdillah di atas dapat kita raba pemahaman baru qiyas. Menurutnya, konsep di atas tidak tepat di namakan qiyas tetapi musyakalah. Menyamakan hukum ke hukum lain, menyerupakan masalah juz'i ke juz lain yang pada akhirnya memberikan hukum pada juz awal ke juz kedua. Musyakalah tidak memberikan kebenaran hukum kecuali secara tidak sengaja. Pendapat ini mengantarkan Abu 'Abdillah untuk menolak sebagian besar metode istimbath al hukm yang di usung ahl al ra'yi terutama madzhab hanafiyyah. Qiyas menurutnya adalah upaya menggiring setiap far'i kepada hukum asl yang telah digariskan Allah S.W.T. kepada hambanya di dalam masalah yang membahas hukum tersebut. Qiyas bukan berarti memberi hukum yang sudah berlaku di dalam asal ke permasalahan baru, atau memberi hukum baru pada sebuah permasalahan dengan menyamakan ke dalam masalah yang mengandung nash. Menurutnya, tindakan seperti ini tidak bisa menghasilkan kebenaran sebuah hukum karena yang di kehendaki qiyas sesungguhnya adalah mencari kebenaran di dalam istimbath al hukm.
Sebagian contoh yang nampak adalah orang yang makan karena lupa di saat berpuasa. Salah satu riwayat Abu Hanifah mengatakan "Jika tidak ada hukum dari Atsar maka aku akan berkata secara qiyas bahwa dia batal." Pendapat tersebut dikomentari Abu 'Abdillah "itu hanya musyakalah, tidak bisa di katakan qiyas. Karena secara qiyas tindakan tersebut tidak mengakibatkan gugurnya puasa." Abu Hanifah di dalam kasus di atas berusaha mengqiyaskan kepada tindakan seseorang yang berbicara karena lupa di dalam salat, seseorang yang menyetubuhi istrinya pada saat Ihram karena lupa, dan praktek-praktek ibadah yang menyebabkan seseorang tidak di perhitungkan kesalahannya karena lupa. Sama halnya dengan puasa, di saat puasa termasuk varian ibadah di atas maka puasa maupun salatnya tetap berakibat batal. Akan tetapi ketika muncul hadis sahih yang membuat ketetapan tidak batal maka puasanya dianggap sah.
Apakah qiyas seperti di atas sama menurut Abu 'Abdillah? Puasa sebenarnya adalah nadzar. Ketetapan yang harus dipenuhi seorang hamba kepada Tuhannya. Rezeki seseorang telah mendapat ketentuan Allah S.W.T, kekayaan harta, rumah, jumlah istri, nama anak, dan semua kenikmatan berskala makro maupun mikro bahkan kandungan nasi yang menjadi bahan makanan pokok seseorang pun tak luput dari taqdir Alla S.W.T. Semua kompleksitas di atas ditentukan tiap harinya. Sebuah kewajiban yang harus dilakukan seorang muslim sejati adalah memenuhi ketentuan di atas. Namun ketika dihadapkan dengan puasa, seorang hamba dituntut memenuhi dua kewajiban, menjalani puasa fardlu sebagaimana kewajiban yang pertama, dan memenuhi ketentuan rezeki yang harus di penuhi pada saat itu. Dua problematika yang harus selesai bersamaan. Toh tidak mungkin seseorang melakukan keduanya. Allah S.W.T. kemudian menurunkan kasih sayangnya yang tak terhingga pada hambanya untuk menghadapi musykilah di atas. Allah membuat lupa seseorang atas nadzarnya dan memenuhi kewajibannya di dalam makan dan minum. Sampai seseorang terbebas dari tanggungannya. Allah juga memenuhi perkara yang menjadi kewajibannya pada saat itu serta mengampuni al nisyan yang di deritanya. Karena al nisyan berasal dari Allah, tidak muncul dari Syaitan.
Contoh lain sebagaimana dalam Takbir seseorang dengan lafadz Allah a'dlam, Allah ajal, dan lafal Allah a'azz. Abu Yusuf berpendapat ketidaksahan ibadah dengan menggunakan kalimat di atas. Sedangkan Abu Hanifah memilih sahnya ibadah seseorang dengan mengucapkan kalimat di atas. Kalimat-kalimat di atas menurut Abu Yusuf sama sekali tidak mengandung makna takbir, sedangkan Rasul sendiri bersabda " تحريمها التكبير وتحليلها التسليم. " Hadis ini dengan tegas menyatakan pembuka salat adalah takbir. Secara otomatis seorang muslim menjadi bersalah di dalam melakukan salat dengan mengucapkan kalimat di atas berlandaskan hadis ini. Abu Hanifah lebih menilai kalimat-kalimat di atas sebagai perwujudan nama-nama Allah S.W.T. dan sifat-sifatnya. Karena tujuan utama adalah mengagungkan nama-nama Allah, kiranya tidak salah jika seorang mushalli mengucapkan takbir dengan kalimat di atas.
Abu 'Abdillah berpendapat istidlal Abu Yusuf hanya berpegang secara dlahir. Sama sekali tidak melirik makna batin sebuah kejadian. Dia juga tidak setuju dengan uraian Abu Hanifah. Apa yang di kehendaki Abu Hanifah hanyalah sebatas musyakalah. Menurutnya, tanpa melihat kalimat hadis pun perbuatan tersebut tidak di benarkan berdasarkan qiyas. Qiyas, sebagaimana di atas adalah mengembalikan sesuatu ke al asl yang telah di gariskan Allah S.W.T. Kalimat Akbar merupakan sebuah sifat yang hanya pantas di sandingkan ke nama Allah. Kalau seseorang meninggalkan perintah Allah S.W.T. dengan tidak mengucapkan takbir maka dalam hatinya akan lahir sifat takabur. Allah S.W.T. berfirman " الا ابليس أبى واستكبر وكان من الكافرين ". Seorang muslim yang tidak mengucapkan takbir dalam shalat menjadi cerminan sikap iblis saat membangkang perintah Allah. Allah memberi perintah kepada kaum muslimin karena sudah seyogianya untuk selalu tunduk, rendah diri, dan mengikuti perintah Allah. Selain itu, kalimat-kalimat di atas merupakan susunan yang tidak cocok di ucapkan saat salat, karena saat bersembayang adalah waktu di mana seorang hamba menunjukkan sikap tunduk dan rendah diri. Sebagaimana ketidakmunasabahan pengucapan takbir dengan lafal alhamdulillah yang menjadi gambaran sikap istighfar, bertaubat, dan meminta ampun kepada Allah.
Pemikiran fiqh terpasung sebagaimana di atas pada prinsipnya memiliki karakteristik tersendiri. Abu 'Abdillah lebih mengutamakan wujud komparasi antara hukum-hukum agama dengan interaksi batiniyah dan pengaruh-pengaruh internal. Pengaruh tersebut tereksistensi pada kejiwaan Al Faqih sejati. Fenomena tersebut akhirnya berimbas pada transformasi metodologi fiqh independen. Sekilas, seorang peneliti yang membaca buku-buku fiqh Al Hakim tentu menilai tidak adanya sinkronisasi pemikiran fiqh. Justru buku tersebut mencerminkan nilai fiqh sejati 'ala Al Hakim Al Turmudzi. Salah satu bukunya semisal:
Pertama, al 'ilal. versi lain bernama 'ilal al 'ibadah. Salah satu manuskrip tertulis 'ilal al syari'at. Dari nama judulnya kita dapat mengetahui sekilas isi buku tersebut. Sebuah kitab yang secara khusus membahas sebagian masalah serta menerangkan 'illatnya. Abu 'Abdillah dalam kitab ini juga menegaskan bahwa setiap hukum pada dasarnya mengandung 'illat. Semua kemampuan memahami 'illat tergantung kepada kapasitas seorang faqih.
Kedua, al manhiyyat. Di dalam buku ini Abu 'Abdillah mengeluarkan segenap daya upaya untuk menerangkan ilat di dalam kalimat amr. Dia juga mengungkapkan " tidak ada nahy yang berisi larangan kecuali memiliki illat." Larangan Allah juga memiliki kadar tingkatan tersendiri. Ada yang berupa nahy adab maupun nahy tahrim. Meskipun keduanya berujung pada tindakan preventif namun ada maksud tertentu di balik makna susunan di atas.
Ketiga, itsbat al 'ilal. Kebanyakan orang menyangka kalimat perintah atau larangan dalam Al qur'an tidak mengandung 'illat seperti kebanyakan masalah ijtihady. Susunan kalimat di dalam nash-nash verbal menuntun para sarjana muslim untuk mengakui keadaan hukum yang bersifat ta'abbudi. Sebagian lagi mengira keadaan hukum tersebut bersifat ibtila' atau imtihan. Abu 'Abdillah dalam buku ini mencoba mendongkrak pemahaman di atas. Sebuah kasus yang telah memiliki proses pemecahan meskipun bersifat ta'abbudy pada dasarnya mengandung illat tersendiri. Seorang Al Faqih yang memiliki hati bersih dan mendapat nur Allah tentu dapat mengetahui makna 'illat tersebut. Sebaliknya, makna 'illat akan selalu tertutup manakala tidak hadir seseorang yang mampu membuka kunci sebuah hukum. Pendirian atas ta'abudy juga dihadapkan pada pertanyaan dilematis, apa maksud Allah S.W.T. memberi perintah atau larangan kepada hambanya ? Di antara kita terkadang menjawab "itu sudah taqdir", atau mungkin berkata "itu sesuatu di luar nalar". Jawaban tersebut sama saja mengatakan Allah S.W.T. bermain-main. Padahal Al Qur'an sendiri menjawab bahwa eksistensi nyamuk pun memiliki sisi positif. Sangat mustahil jika Tuhan menciptakan sesuatu secara sia-sia. Pilihan secara tepat adalah kemungkinan munculnya hikmah. Tugas ini menjadi kewajiban kita semua.
Abu 'Abdillah sangat mengkritik khilah pada kasus-kasus fiqh. Umumnya kaum Hanafiyyah menjadi golongan pertama yang mengangkat isu khilah. Mereka melarang ketika konsep tersebut digunakan dengan tujuan dzalim atau mengandung unsur penjarahan harta manusia secara bathil. Secara lanjut, metode tersebut sama dengan membuka pintu agar lari dari kewajiban. Mereka tidak ada bedanya dengan menipu Allah S.W.T. Anggapan karena telah bebas dari kewajiban-kewajiban yang melilit, mungkin bisa dilihat secara kasat mata. Tetapi di pengadilan mendatang mereka tidak mampu melarikan diri dari genggaman keadilan Allah.
Muslim sejati hanyalah seseorang yang selalu tunduk pada perintah Allah. Mampu menata niatnya secara lurus dan benar. Abu 'Abdillah sendiri menegaskan bahwa niat yang benar hanya tertuju kepada Allah S.W.T. Selain niat, seseorang harus memupuk sifat tawakal sejak dini. Upaya menyerahkan sesuatu kepada Allah S.W.T. dan meninggalkan ego manusiawi.

EPILOG
Peraturan perundangan pada zaman awal-awal islam terutama saat Muhamad S.A.W. masih hidup sangat memperhitungkan kondisi sosial masyarakat. Turunnya ayat Al Qur'an pun sering kali terjadi karena sebab musabab. Seiring berubahnya waktu dan tempat, nash-nash verbal kemudian dihadapkan pada problematika baru. Kesulitan nash di dalam berinteraksi terhadap pembaharuan sosial dan kebudayaan memicu embrio masyaqqah saat mengamalkan nash secara dlahir. Satu kasus yang cukup unik sebagaimana tindakan Sayyidina Umar menggugurkan had zina, mencuri, mengqisos segolongan orang karena membunuh satu orang. Contoh lain seperti perbuatan Sayyidina Ali menjilid pemabuk sebanyak 80 kali. Kesulitan memberlakukan nash secara dlahir sangat di maklumi dua khalifah di atas sehingga keduanya mengambil jalur dalil lain meski terkesan serampangan. Generasi pun berganti. Fenomena sebagaimana di atas pun tampaknya tidak pudar. Salah satu deskripsi lain sebagaimana keputusan Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan Al Syaibani yang merubah ketetapan mahar musamma dalam rentang waktu tiga puluh tahun.
Era modernisasi menuntut perubahan di segala lini. Musykilah-musykilah baru pun bermunculan. Hukum-hukum Tuhan yang bersifat universal kita yakini takkan lapuk di makan zaman. Namun, Ayat-ayat Al Qur'an maupun Al Hadits di hadapkan pada kesulitan yang lebih kompleks. Kekakuan penafsiran sering kali mengakibatkan wajah Syari'at tidak lagi shalih li kuli zaman wa makan. Mengikuti perjalanan sejarah, sering kita temukan kalam Tuhan hanya menjadi kedok kepentingan perseorangan maupun golongan. Keadaan di atas mendorong kita memakai baju baru yang menuntut transformasi menuju paradigma pencerahan.
Tipologi maqasid di atas mendorong kita untuk memformat ulang wacana keilmuan. Abu 'Abdillah menjanjikan pemikiran baru yang mampu meredam pemahaman teks secara kaku. Hasil asimilasi teks dlahir dengan dengan substansi nash batiniyah pada akhirnya menghasilkan ramuan fiqh proporsional. Racikan tersebut muncul dari tangan Al Faqih hakiki. Hukum yang lahir menjadi shalih li kuli zaman wa makan, tanpa terbentur bias-bias kejumudan di dalam memahami nash secara utuh.

WALLAHU A'LAMU BI AL SAWAB.