Kamis, 22 Januari 2009

TELAAH EPISTEMOLOGI QIRA'AH

Sering kita jumpai beragam varian lafadz dan makna dalam teks al-Quran. Variasi tersebut tidak hanya merubah fungsi dan kedudukan suatu kalimat, bahkan mendekonstruksi makna yang kadangkala dipahami secara harfiyyah. Sehingga adanya interpretasi yang varian dari kalangan para pegiat intelektual ─baik ulama klasik maupun kontemporer─ menjadi suatu keniscayaan. Beragam makna yang disebabkan karena adanya perbedaan lafadz dalam al-Quran pada dasarnya bukanlah sebuah fenomena yang mengkhawatirkan akan otentisitas al-Quran itu sendiri. Pun, bukanlah suatu fenomena yang senantiasa diperdebatkan hingga menuai hujatan dari berbagai kalangan dengan beragam penilain yang tidak obyektif. Namun sebaliknya fenomena ini menunjukkan sifat I'jaz al-Quran dan menunjukkan identitas al-Quran sebagai kalam Tuhan yang dikemas dengan bahasa Tuhan pula.
Menelisik sejarah al-Quran khususnya pada tataran qira'ah, akan kita jumpai banyak variasi yang ditampilkan. Fenomena ini muncul sejak masa Rasulullah yang kemudian berkelanjutan pada masa setelahnya. Namun, variasi qira'ah ini mengalami pergeseran paradigma, dimana satu qira'ah dengan qira'ah lainnya bersaing untuk mendapatkan tempat pada khalayak. Realita ini bisa kita lihat dengan adanya pengklasifikasian qira'ah yang dilakukan oleh para pegiat al-Quran tempo dulu. Dari usaha mereka itulah sehingga kita mengenal Qiraah al-Sab'ah, Qira'ah al-'Asrah, dan Qira'ah al-Arba'ah al-'Asyar. Pergeseran ini semakin kita rasakan ketika melihat realita dimana pembacaan yang ada sekarang hampir semuanya memakai jalur periwayatan Hafs 'an 'Ashim, kecuali mereka yang berada di Maroko yang lebih banyak mengikuti riwayat Warsy dan di Libya mengikuti riwayat Qolun. Bahkan, hampir seluruh masyarakat muslim di dunia, termasuk Indonesia. Lebih cenderung mengikuti riwayat bacaan pertama.
Adalah masa khilafah Utsman ditetapkan sebagai era kodifikasi final terhadap teks al-Quran yang kemudian masyhur dengan mushaf Utsmani. Dari segala bentuk varian teks ataupun qira'ah diseragamkan ke dalam satu bentuk bacaan, yang juga dilakukan dengan sebuah penilaian yang dapat diperhitungkan. Demikian ini tidak menyurutkan Sahabat lainnya yang mempunyai integritas tinggi akan wacana al-Quran untuk membawa ragam qiraah ke seluruh penjuru negeri, semisal Ubay ibn Ka'ab, Zaid ibn Tsabit, Abu Hurairah, Abdullah ibn Abbas, Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, Abu Musa al-Asy'ari, Abu Darda', dan Abdullah ibn Mas'ud. Beragam bentuk bacaan yang mereka bawa ke seluruh penjuru tidak menjadikan mereka untuk menafikan teks yang termaktub dalam mushaf Utsmani. Bahkan upaya untuk menafikan keberadaan satu ayat pun dari mushaf Utsmani tidak pernah terjadi. Walaupun dalam sejarah ditemukan sebanyak 15 mushaf primer (mengambil istilah Arthur Jeffery) yang dikumpulkan para Sahabat. Kiranya tidak salah Utsman menunjuk Zaid ibn Tsabit sebagai penanggung jawab kodifikasi tersebut. Salah satu tugas yang diembankan kepadanya adalah mengumpulkan ragam corak ayat mutawatir, bahkan dua ayat pada akhir surat at-Taubah ─ditemukan Zaid ibn Tsabit dalam satu mushaf saat proses unifikasi dan tidak muncul pada tempat lain─ sudah menjadi mutawatir di kalangan Sahabat. Fenomena ini menunjukkan bahwa keberadaan ayat dalam mushaf Utsmani menempati posisi sentral dan di-endorse sejak Raslullah masih hidup.
Setelah Rusulullah wafat tanpa disangka muncul sebuah komunitas yang meriwayatkan nash al-Quran secara maknawi tanpa menoleh teks secara utuh (Riwayah bi al-Makna). Usaha ini Pada dasarnya tidak menjadi masalah selama terdapat nilai kemaslahatan yang ingin dicapai. Namun periwayatan tanpa identitas jelas yang dilakukan sebagian oknum sempat menghawatirkan kalangan Sahabat waktu itu. Sebab periwatan yang tidak jelas sanadnya suatu saat akan memunculkan distorsi yang dapat mengurangi bahkan menghilangkan otentisitas teks al-Quran itu sendiri.
Membincang Riwayah bi al-Makna secara otomatis memasukkan masyhur versus ahad. Pengkategorian riwayat selain masyhur yang disandangkan sebagai tafsir bi al-Makna masih problematik. Hal ini bisa kita justifikasi dengan satu kasus dimana sering muncul ayat mutawatir berjumlah lebih dari satu. Melihat fenomena di atas kiranya menjadi keniscayaan bagi kalangan cendekia untuk mencari solusi akan masalah tersebut. Seperti Hasan Bashri (110 H.), seorang tokoh yang peduli menyelesaikan problematika kala itu, beliau mendirikan madrasah qira'ah sebagai bentuk kepeduliannya untuk meluruskan kembali problematika qiraah yang menjadi kekhawatiran para ulama pada generasi setelahnya.
Sebagian orang menyangka keberadaannya mendirikan madrasah menjadi tonggak pertama kali dalam penanaman benih qira'at. Pada dasarnya para Sahabat yang rajin menyebarkan agama Islam ke penjuru negeri juga punya andil besar saat munculnya problematika ini. Corak warna dari setiap Sahabat sangat memungkinkan lahirnya pen-tadlis-an oleh sebagian kalangan. Kiranya tidak salah upaya Imam al-Dzahabi sebagai salah satu tokoh yang konsen dalam kajian al-Quran juga ikut andil melalui karyanya "al-Qurra' al-Kibar". Dalam karyanya ini secara lanjut mengklasifikasi qira'ah para ulama periode Sahabat. Menurut beliau dari berbagai riwayat dapat diklasifikasikan menjadi tujuh orang Sahabat masuk ke dalam tingkatan pertama dan menyelesaikan studinya dengan prediket cumlaude. Mereka adalah Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, Ubay ibn Ka'ab, Abdullah ibn Mas'ud, Zaid ibn Tsabit, Abu Musa al-Asy'ari, Abu Darda'. Semua Sahabat di atas mempunyai edisi khusus dalam mushaf mereka meskipun pada akhirnya harus menjadikan mushaf Utsmani sebagai otoritas tertinggi. Merunut perjalanan intelektualitasnya banyak di antara mereka menetap di Makkah dan Madinah sampai wafat, tapi tidak sedikit yang melanglang buana ke negeri lain dan menghabiskan sisa hidup mereka sampai akhir hayat. Banyak sekali aktifitas-aktifitas positif yang dilakukan. Diantara aktifitas mereka mengajarkan bacaan al-Quran yang saling berbeda satu dengan yang lain. Sebut saja Abdullah ibn Mas'ud sebagai salah satu punggawa qira'ah yang kemudian diikuti oleh tiga imam qira'ah yakni 'Ashim, Hamzah dan Kisa'i. Meski berangkat dari background yang tidak berlawanan, namun ketiga tokoh qiraah ini memiliki corak pembacaan yang berbeda, bahkan pada kerangka teoritis terdapat kaidah khusus pada satu imam. Di Syam (Siria) Abu Darda' juga mengajarkan warna bacaan lain ke Ibnu 'Amir, yang digolongkan Imam Suyuthi ke dalam tingkatan paling tinggi di jajaran pembawa sanad, dengan mengantongi empat belas thariqah periwayatan.
Menjamurnya berbagai macam aliran menimbulkan kehawatiran sebagian golongan. Muncul orang-orang zindiq yang selalu berusaha mentahrif kalam Tuhan dengan berbagai cara. Golongan ini disinyalir lahir pertama kali dari sepak terjang Abdullah bin Saba'. Tidak salah kemudian pada akhirnya memicu lahirnya aturan baku. Aturan ini dikoarkan oleh dua sosok yang sangat berpengaruh pada masa itu. Mereka muncul tidak lama sesudah madrasah Hasan Basri berdiri. Dua tokoh yang dimaksud tidak lain adalah. Pertama, Sibawaih (wafat 136 H.) beliau adalah pakar Ilmu nahwu yang mengesahkan qira'ah dengan kriteria ulama Basrah. Kedua, Abu Abid (wafat 223/224 H.) dan Abu Hamid al-Sijistani (wafat 248/255 H.). Secara bersamaan mereka mensyaratkan kebenaran qira'ah dengan menggunakan tiga perangkat, tidak terdapat cacat dalam pemakaian secara bahasa, mengikuti aturan mushaf utsmani, dan adanya konsensus masyarakat umum pada penerimaan qiraat tersebut yang cukup diwakili dominasi cendekiawan dengan kredibilitas serta kapabilitas tinggi. Periode setelahnya muncul Abu Bakar ibn Muqsim (wafat 354 H.). Hampir semua masyarakat umum menerima tiga syarat di atas, terkecuali Ibn muqsim. Pada saat itu dengan tegas menerima semua qira'at yang berstandar mushaf utsmani dan benar secara lughat (dua syarat pertama abu abid dan abu hamid). Atas pemikirannya yang terlalu berani pd th 322 Ibnu Muqsim dipanggil raja karena bacaannya yang tidak dibenarkan sebagian besar fuqaha' dan qurra'. Akan tetapi menjelang kematiannya ibn muqsim mencabut sumber kontroversi di atas dan kembali ke qira'ah biasa. Setelah Ibnu Muqsim meninggal Ibnu Makki (437 H.) menggagas tiga syarat baru yang menjadi klaim kebenaran qira'ah. Dua syarat pertama memiliki persamaan dengan pengajuan Abu Abid dan Abu Hamid. Adapun corak ketiga mempunyai kemiripan dengan penerimaan Hadis Shahih, yaitu diriwayatkan dari perawi tsiqah serta bersambung sampai ke Rasulullah Saw. Pada masa ini pula muncul pembagian qira'ah Masyhur dan Syadz, Mu'taraf versus Ghairu Mu'taraf. Pembagian tersebut sangat mungkin menjadi tonggak lahirnya unifikasi qira'at oleh Ibnu Mujahid (324 H.).
Abad kelima dan keenam menjadi periode munculnya proses belajar mengajar ilmu qira'ah secara tersistem. Adalah ibn Mujahid yang kemudian mengenalkan pembelajaran riwayat tiap qira'ah serta karakteristik pengucapannya. Tidak begitu lama lahirlah Imam Syathibi (590 H.) dengan magnum opus-nya "hirz al amani wa wajh al tihani" membuat rumusan ilmu qira'at secara sistematis. Saat mengajar Syathibi menyuruh murid-muridnya mengkhatamkan al-Quran minimal tiga kali. Dua kali khataman membaca dua perawi Imam. Khataman ketiga menggabungkan dua perawi tersebut. Sebelum Syathibi banyak bermunculan para Qori' dengan kuantitas lebih banyak saat membaca al-Quran. Imam al-Wahidi (468 H.) misalnya belajar qira'ah dengan jumlah tidak terhitung generasi sesudahnya. Itupun belum mampu menguras semua pengetahuan qira'at Ibn Mahran (w 381). Ibn al jazari menghitung thoriqoh periwayatan Ibn Mahran yang berhasil terdeteksi dalam pencapaian empat muridnya mencapai empat puluh lima jalan periwayatan. Delapan riwayat di ketahui berasal dari Ibn syanabudz . Ibn mujahid mengambil tiga riwayat. Al-Naqqasy meriwayatkan tiga jalur. Abu Bakr al-Munaqqi memperoleh enam jalan dengan satu jalan sama dengan tiga perawi di atas. Senada dengan al-Wahidi, al-Husory (488 H.) yang menjadi salah satu guru Ibnu Mujahid saat belajar juga harus mengkhatamkan tujuh puluh kali. Pun pada Ibnu Mujahid. Dengan membaca riwayat Hafs dari 'Asim ibn Mujahid membaca al-Quran secara sempurna berulang-ulang ke al-Husory dan al-Wahidy. Tampaknya apa yang telah terjadi di atas menjadi inspirasi tersendiri dalam pembakuan variasi qira'ah secara sistematis.
Meskipun tindakan Ibn Mujahid mempunyai nilai plus, bahkan hampir di seluruh dunia saat ini menerapkan, tetapi pada tataran praksis Ibn Mujahid melakukan tindakan baru dan belum penah terjadi pada periode sebelumnya. Ibn Aby laila (w 148) misalnya, tidak langsung menyalahkan muridnya saat membaca karena seorang murid terkadang memakai riwayat masyhur lain. Begitu juga Nafi'. Seringkali saat mengajar al-Quran memberi kemudahan pada murid-muridnya untuk memilih wajah qira'at yang pernah di dengarnya. Hal senada juga terjadi pada Imam qira'ah lain, karena pada prinsipnya tujuan mereka hanyalah mengajarkan al-Quran.
Pengaruh Ibnu Mujahid sebagai seorang panutan pada akhirnya menetapkan tujuh qira'ah Masyhur sebagai otoritas tertinggi di antara warna qira'ah yang ada. Pemetaan pada tujuh qira'ah meliputi tujuh Imam plus dua perawi. Nafi' (Ibn 'Abdurrahman ibn Abi Na'im (169 H.) sebagai guru besar di Madinah mengesahkan Qolun; Abu Musa, Isa ibn Mina (220 H.) dan Warsy; Utsman ibn Sa'id al-Qibthi (197 H.) sebagai perawinya. Abdullah ibn Katsir al-Makki (120 H.) menurunkan qira'ah-nya ke Ahmad ibn Muhammad ibn 'Abdullah al-Bazzi (250 H.) dan Qunbul; Muhammad ibn Abdurrahman al-Makhzumi (291 H.). Abu 'Amr al-Bashri, seorang ulama kelahiran Basrah mempunyai murid Abu 'Amr Hafs ibn Umar al-Duri (246 H.) dan Abu Syu'aib Soleh ibn Ziyad al-Susy (261 H.) sekaligus menjadi perawi. Hisyam ibn 'Amr (245 H.) dan Ibnu Dzakwan; 'Abu 'Amr Abdullah ibn Ahmad (245 H.) sebagai murid juga menjadi perawi Abdullah Ibn 'Amir (118 H.). Syu'bah ibn 'Ayyasy ibn Salim (193 H.) serta Abu 'Amr Hafs ibn Sulaiman (180 H.) dengan bacaannya yang dipakai seantero dunia saat ini meneruskan perjuangan 'Ashim dalam menyebarkan ilmu al-Quran. Hamzah ibn Habib al-Kufi (156 H.) memberikan otoritas qira'at ke Khalaf ibn Hisyam al-Bazzar (229 H.) maupun Khalad ibn Khalid (220 H.). Dan terakhir Ali ibn Hamzah al-Kisa'i (189 H.) memiliki dua perawi, yaitu Abu al-Harits (240 H.) serta al-Duri (perawi Abu 'Amr).
Syathibi kemudian membuat metodologi secara sistematis tentang kaidah yang dianut tujuh imam di atas. Semua tertulis dalam bukunya. Secara umum kandungan buku tersebut berisi dua pokok pembahasan. Pertama, kaidah yang diusung para Imam secara umum, meliputi idghom, mad, qosr, dua hamzah di satu kalimat maupun dua kalimat, memindah harakat hamzah ke lafal sebelumnya, waqaf, imalah, tarqiq dan taqlil. Kedua, perbedaan huruf. Pembahasan ini mencakup hampir seperempat isi kitab. Di dalamnya dikupas mulai surat al-Baqarah sampai surat al-Nass. Wewenang Ibnu Mujahid dalam membatasi tujuh qira'at di atas tampaknya di tentang Abu Syamah (665 H.). Senada dengan Abu Syamah, Al Jaziri juga (833 H.) menegaskan bahwa tiap variasi bacaan yang sama dengan kaidah bahasa Arab, tidak menyalahi aturan dengan mushaf Utsmani dan memiliki mata rantai sanad secara sah ke Rasulullah menjadi bacaan yang tidak boleh di tolak dan di ingkari. Salah satu pembuktiannya al-Jaziri juga mengikuti jejak al-Syathibi dengan menerbitkan tulisan berjudul "Al durrah Al Mudli'ah". Dalam karangannya al-Jaziri mengupas tiga Imam Qira'at selain tujuh di atas. Abu Ja'far; Yazid bin Al qa'qa' al makhzumi (128 H.) dengan perawi 'Isa ibn wardan (160 H.) serta Ibnu Jammaz; Sulaiman bin Muslim Al zuhri (170 H.). Ya'qub (205 H.) yang menjadikan Ruwais; Abu 'Abdillah Muhammad bin al-Mutawakkil (238 H.) dan ruh; 'Abu al Hasan bin 'Abd al-Mu'min (234/235 H.) sebagai perawi. Dan terakhir Abu Ya'qub Ishaq bin Ibrahim bin Utsman (286 H.) yang disandingkan Abu Hasan Idris bin 'Abdul Karim (292 H.). Keduanya menjadi perawi Khalaf (salah satu perawi Hamzah Imam Qira'at tujuh). Dengan berbentuk sya'ir al-Jaziri membuat sistematika penulisan yang hampir sama dengan al-Syathibi.
Melihat berbagai warna kajian di atas tampaknya tidak salah Al Azhar berupaya melestarikan khazanah peninggalan Ulama' klasik. Salah kepeduliannya tampak pada Ma'had qiraah yang berdiri di berbagai penjuru Mesir. Semoga kita menirunya.
Wallahu a'lamu bi al sawab.

Selasa, 13 Januari 2009

Resensi Buku

MASYARAKAT MADANI,

DISKURSUS URGENSITAS CIVIL SOCIETY

Semua pemerintahan di dunia memiliki keanekaragaman system. Banyak di antaranya berisi tipologi yang berkaitan erat dengan lingkungan, watak, maupun warisan budaya setempat. Pengaruh tersebut dapat kita lihat dalam komunitas berskala makro. Lahirnya komunisme pada saat perang dunia pertama sangat dipengaruhi marxisme. Munculnya nazi di jerman juga di awali dengan kediktatoran Hitler. Sebuah sikap yang mencerminkan watak subyek masyarakat. Contoh lain pun tercakup secara mikro. Sifat-sifat social seperti tenggang rasa, setia kawan, dan kepedulian sesama individu sangat akrab di masyarakat pedesaan dibandingkan kaum perkotaan borjuis metropolis dengan sikap hedonis. Semua corak di atas menjadi gambaran system birokrasi social yang beradaptasi dengan individu public. Meskipun di sebagian tempat muncul tangan besi seorang penguasa berwajah dingin, namun pada dasarnya hampir semua pemimpin memiliki tujuan sama, adalah melahirkan komunitas ideal nan makmur. Walaupun tidak sedikit factor eksternal dan internal yang pada akhirnya merubah tipikal figur pemipin sejati.

Melihat pertarungan sejarah, demokrasi pada akhirnya mengalahkan komunis. Melalui hancurnya tembok berlin dan runtuhnya Uni Soviet, Amerika maupun Negara sekutunya mengumandangkan kemenangan besar yang tersaji lewat isu-isu global berikut pengaruhnya ke seluruh dunia. Peperangan dua kubu besar pada dasarnya sudah di mulai jauh sebelum perang dunia meletus. Konsep pemikiran yang dilontarkan semisal Thomas Hobbs, John Lock, J.J. Rousseau, kemudian menjadi embrio pemerintahan demokrasi yang dipakai Amerika serta sekutu-sekutunya. Begitu sebaliknya, wacana yang diusung Karl Marx ataupun kroni-kroninya juga menjadi pondasi terbentuknya Uni Soviet yang disadap RRC saat perang dunia pertama.

Demokrasi sebagai label dunia barat ternyata menarik untuk dikaji. Sebagai ideology modern, demokrasi menyimpan nilai-nilai social hingga pada akhirnya mampu diterima berbagai kalangan sampai saat ini. Sebuah perjalanan panjang yang tidak mungkin berdikari melainkan bersentuhan aspek lain. Ibarat dua saudara kembar demokrasi sangat berkaitan erat dengan esensi kehidupan civil society. Lazimnya buku-buku pemikiran sosial, penulis mengungkap sejarah demokrasi serta merunut terma civil society maupun dimensi-dimensi yang melingkupinya secara umum. Sepanjang perjalanannya, pengertian civil society mengalami pasang surut mengekor ruang dan waktu dimanapun istilah tersebut berada. Eksistensi masyarakat dunia saat ini yang terlalu majemuk plus transformasi kebudayaan juga mengakibatkan keanekaragaman pemahaman hingga tidak jarang pendistorsian makna dari substansi sesungguhnya.

Kompleksitas terminologi civil society juga menjadi problematika tersendiri dalm kancah dunia politik. Secara rinci, dalam bab tiga penulis membagi empat musykilah artian civil society versi masyarakat arab kontemporer. Pertama, Kesulitan sebagian cendekiawan menerima makna yang diusung sarjana barat. Sebagian dalih bermula dari ketakutan saat pengikut civil society memenangkan ideology mereka. Alasan tersebut cukup masuk akal mengingat perseteruan islam versus barat berlangsung sangat lama, maka sangat wajar di lain waktu dan tempat musuh-musuh barat mengambil sikap oposisi sebagai aktualisasi ketegangan di antara mereka. Selain faktor diatas, ada tiga unsur lain yang melatarbelakangi penegasan problematika istilah diatas secara khusus, ekonomi kapitalis, ideology teologis, dan politik demokratis. Ketiga-tiganya sering kali menjadi penopang kesuksesan wacana civil society meskipun tidak menutup kemungkinan hasrat tersembuyi dalam upaya jajanisasi slogan tersebut dengan membingkai lewat kado konsep pemikiran. Kedua, Interaksi makna dengan politik. Tuntutan permainan politik untuk mendapatkan kemauan akan menghalalkan cara apapun. Kerap juga lewat penggunaan lughah terucaplah makna atas artikulasi kasus baru. Lambat laun, makna tersebut dipakai oknum politik dalam menjalankan keinginan mereka. Kemudian pada akhirnya banyak orang meletakkan arti masyarakat madani ke baju politik. Namun langkah tersebut terganjal oleh sebagian pemikir lain yang menyandingkannya ke panggung sosial kemasyarakatan. Kedua pendapat tersebut pun belum final, karena ada lagi golongan-golongan lain yang memberi makna lebih umum dibandingkan keduanya melihat maksud dan tujuan. Ketiga, Intervensi makna demokrasi dengan nilai civil society. Secara sekilas akan nampak ruh masyarakat madani menyatu dengan kerangka teoritis demokrasi. Sikap sebuah masyarakat dengan mengembangkan kebebasan individu maupun golongan, melestarikan kemerdekaan tiap orang, menghormati hak maupun kewajiban makhluk merupakan cerminan masyarakat madani. Namun di satu sisi pemahaman tersebut menyebabkan pemerkosaan atas demokrasi atau sebaliknya. Efeknya tercermin pada keadaan negara yang memiliki system politik atau kerangka demokratis secara kelembagaan walaupun kehidupan didalamnya tidak kondusif. Keempat, sepanjang perjalanan, civil society memiliki bagian-bagian penunjang. Sebuah fungsi yang menjadi dinamisator stabilitas kelangsungan rakyat dan pemerintahan. Sebagian penunjang kadang berisi permasalahan yang principal, sehingga perkembangan isu-isu praksis maupun teoritis tetap eksis sampai sekarang. Semisal teori terbentuknya Negara, partai-partai politik, atau peraturan perundang-undangan. Oleh sebagian kalangan timbul kekhawatiran ketidakberdayaan Negara miskin atau berkembang mengadopsi pemikiran perihal ketidaksiapan sebuah Negara memandang perangkat yang melingkarinya.

Penulis juga berusaha melacak akar substansi teori civil society. Berbekal penelitian secara mendalam dapat disimpulkan beberapa poin-poin penting seputar wacana-wacana kontemporer. Posisinya yang diakui secara urgen bahkan tidak mengandung unsur pengekangan atas kapitalis. Karena secara prinsip maupun akal upaya pembebasan berbagai macam corak perdagangan apapun sangat dimungkinkan selama tidak mengganggu nilai-nilai civil society yang telah terpatri dalam masyarakat. Terwujudnya masyarakat madani tidak mungkin terjadi melainkan telah lahir unsur-unsur penting dalam masyarakat. Salah satu bagian yang telah diakui orang-orang barat plus non barat adalah upaya tiap person dalam mengkristalisasi kekuatan sehingga mncullah satu gelombang komunitas dengan bagian-bagian majemuk yang mampu diterima semua kalangan. Namun sayang telaah kesejarahan etimologi atau epistemology dari penulis kurang luas dan hanya berkisar pada saat lahirnya demokrasi zaman renaissance maupun aufklarung. Penulis juga menyajikan seputar problematika masyarakat arab, toh kenyataannya umat islam tidak terbatas di kawasan arab. Terakhir, solusi kesulitan yang diutarakan penulis juga terkesan apriori, terbatas dan kurang kaya dalam memasukkan riset pemikir barat atau sarjana-sarjana lain.

Semoga dengan ini cakrawala kita bertambah luas.

Senin, 12 Januari 2009

TELAAH ABU HANIFAH

Abu hanifah, mengaktualisasi perjalanan tertinggal

Oleh : Ahmad aniq munir

A.Pendahuluan .

Pada masa sahabat, tabi’in dan imam-imam mujtahid, muncul sederetan ulama dalam jumlah yang cukup banyak. Berbagai kawasan (negeri) Islam dipenuhi dengan ilmu dan ulama. Banyak diantara mereka yang mencapai tingkatan mujtahid mutlak. Sebagian ulama terbaik itu membuat metode yang digunakan untuk mengenal hukum-hukum. Akhirnya masing-masing mempunyai murid dan pengikut yang mengikuti metodenya. Metode ini yang kemudian dinamakan madzhab.

Madzhab fiqih yang masih ada sampai hari ini adalah Madzhab Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad. Ada beberapa madzhab yang telah habis pengikutnya seperti Madzhab Laits bin Sa’d, Madzhab Daud Azh Zhahiri dan Ibnu Jarir AT Thabary.

.Madzhab mereka tercermin dalam pendapat yang mereka tuangkan dalam buku-buku, tulisan murid-murid mereka atau jawaban atas pertanyaan dan permintaan fatwa. Kemudian teman-teman dan murid-murid mereka memperluas dan menyebarkan ke penjuru dunia. Masa dulu banyak sekali Ulama' yang tidak mempunyai murid dalam mentadwin hasil pemikiran gurunya sehingga menghilang dari permukaan bumi Salah satunya adalah Al Laits bin Sa’d. Bahkan Imam syafi'i sendiri memberikan pujian “Al Laits lebih mendalam pemahamannya dari Imam Malik, namun banyak di antara para pengikutnya tidak menjalankan kewajiban mereka (menjaga dan memelihara ilmu guru-gurunya).”

Peran para pengikut madzhab bukan terbatas pada menulis semua yang mereka dengar dan memperluas ilmu tersebut, tetapi mereka juga melakukan penelitian dan beristimbat dari nash ayat atau sunnah. Sehingga mereka juga melakukan ijtihad seperti yang dilakukan oleh para imam. Mereka tidak merasa berat untuk memilih pendapat yang berbeda dengan pendapat imam mereka jika memang kebenaran tidak sesuai dengan pendapat para imam tersebut.

Tulisan ini tidak akan berbicara lebih jauh dan hanya membahas seputar abu hanifah terlepas dari pengikutnya yang memiliki kapasitas sebagaimana pendiri madzhab tersebut.

B.Sekilas riwayat Abu Hanifah.

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa saat ini terdapat empat madzhab fiqh yang memiliki figur sentral dan dianggap sebagai pendiri madzhab. Mereka mempunyai corak pemikiran berbeda antara satu dengan yang lain .Salah satunya adalah nu'man bin tsabit (nama asli abu hanifah) yang dilahirkan pada tahun 80H/699M di Kufah, Iraq, sebuah kota yang sudah terkenal sebagai pusat ilmu pada saat itu. Ayahnya seorang pedagang besar, sempat hidup bersama Ali bin Abi Talib ra. Abu Hanifah waktu muda ikut serta dalam urusan perdagangan ayahnya, akan tetapi minat yang timbul dalam dirinya dan menjadi spirit adalah memahami Al Qur'an dan Al hadis.

Abu Hanifah pada saat mudanya berjumpa dengan al-Sya’bi, seorang tokoh agama yang terkenal pada saat itu bernama. Al-Sya'bi kemudian memberi nasihat agar lebih banyak mencurahkan kerja kerasnya ke kajian kajian keislaman. Dengan nasihat dan dorongan tersebut Abu Hanifah mulai menceburkan diri secara khusus mempelajari ilmu-ilmu Islam, Seperti ilmu qiraat, nahwu, saraf, kalam dan lain-lain. Akan tetapi bidang ilmu yang paling diminatinya ialah ilmu hadis dan fiqh. Beliau banyak meluangkan waktu dan tenaga dalam mendalaminya. Banyak sekali tokoh pada saat itu yang menjadi gurunya. Bahkan sebagian riwayat disebutkan, jumlah gurunya di Kufah mencapai 93 orang.

Beliau kemudian pindah ke kota Basrah untuk belajar ke Syaikh Hammad bin Abi Sulaiman, Qatadah dan Shu’bah. Setelah sekian lama berguru dengan Shu’bah (pada saat itu terkenal sebagai Amir al-Mu’minin fi Hadis), beliau mendapat idzin untuk mulai mengajar hadis ke masyarakat umum.

Beliau kemudian pergi ke Mekah dan Madinah. Disana berguru kepada Atha' bin Abi Rabiah dan Ikrimah, seorang tokoh besar di Mekah yang juga murid ‘Abdullah ibn ‘Abbas, ‘Ali bin Abi Talib, Abu Hurairah dan ‘Abdullah ibn ‘Umar .Kualitasnya dalam ilmu hadis dan fiqh diakui Ikrimah sehingga dinobatkan menjadi guru besar di makkah pada saat itu Mekah.

Abu Hanifah kemudian meneruskan perjuangannya ke Madinah. Kemudian beliau turut belajar hadis ke Malik bin Anas ( tokoh besar di Madinah pada saat itu). Walaupun Abu Hanifah 13 tahun lebih tua dari Malik, namun tidak menjadi duri yang menjadi penghalang untuk turut serta belajar.

Ketika Hammad meninggal dunia di Basrah pada tahun 120H/738M, Abu Hanifah kemudian menjadi pengganti Hammad sebagai guru dan tokoh panutan di Basrah. Mulai di sini, Abu Hanifah mengajar dan menjadi tokoh besar baru dalam dunia Islam. Disamping menjadi seorang pedagang besar. .

Pada zaman Abbasiah, Khalifah al-Mansur telah beberapa kali meminta beliau menjabat kedudukan kerajaan. Abu Hanifah menolak tawaran itu. Jawaban Abu Hanifah membuat Al Mansur marah lalu memenjarakan Abu Hanifah. Akan tetapi tindakan Al mansur mendapat tekanan dari masyarakat umum.

Abu Hanifah meninggal dunia pada bulan Rajab tahun 150H/767M. Solat jenazahnya dilangsungkan 6 kali, setiap jamaah diikuti hampir 50,000 orang. Abu Hanifah mempunyai tiga murid dengan kemampuan yang tidak jauh dengan Abu Hanifah, Zufir (158H/775M), Abu Yusuf (182H/798M), dan Muhammad bin Hasan al-Syaibani (189H/805M).

C.Lukisan metodologi Abu hanifah

Sebagaimana diterangkan di atas, abu hanifah menghabiskan sebagian besar waktunya mengembara mulai dari iraq sampai ke madinah. Dalam waktu tersebut tidak sedikit tokoh besar yang dijumpai dan mengambil ilmu dari tokoh tersebut. Dari ilmu tersebut abu hanifah membentuk dan mengembangkan hasil pemikirannya. Sebagian besar pemikirannya tentang manahij al tasyri' terbagi menjadi dua. Akan tetapi jika kita telusuri lebih jauh, banyak sekali pemikiran beliau yang tercecer, tidak di tulis dengan tangan beliau sendiri,bahkan menjadi isu sentral yang memaksa orang-orang lain untuk menjahili pemikirannya yang sudah terkodifikasi secara matang.

1.Abu hanifah dan empat tiang manhaj.

a.Nash Al qur'an.

Al qur'an sebagaimana yang di turunkan Allah ke rasulnya merupakan kumpulan wahyu ilahi yang di mulai dari surat Al fatihah dan di akhiri surat Al nass. Bacaan ayat Al qur'an juga meliputi berbagai macam variasi yang mengakibatkan timbulnya perbedaan hukum dalam memahami makna Al qur'an. Jikalau kita menilik konsep yang di usung Abu hanifah dalam beristimbath, akan kita dapati kenyataan penggunaan qiraat lain yang memiliki karakteristik berbeda dengan qiraat biasa. Dalam membaca nash Al qur'an Abu hanifah lebih sering menggunakan riwayat Ibn mas'ud, sehingga memunculkan hasil hukum yang berbeda dalam beristimbath. Salah satu contoh adalah lafal faqtha'u aidiyahuma dalam riwayat biasa yang menghukum potong tangan pencuri sampai ketiga kali. Hal ini disebabkan lafal yad dalam ayat potong tangan mencakup kanan dan kiri sehingga mengakibatkan seorang pencuri wajib di potong tangan kirinya ketiga kalinya ketika melakukan kegiatan yang sama. Berbeda dengan abu hanifah yang meniadakan potong tangan kiri ketika seseorang mencuri untuk ketiga kalinya. Abu hanifah mengambil hukum tersebut berdasarkan riwayat Ibn mas'ud yang mengganti lafal yad dengan lafal ayman. Abu hanifah menterjemahkan lafal ayman dengan tangan kanan. Abu hanifah mempossikan ayat masyhuroh sebagai muqoyyid riwayat ibn mas'ud. Hasil taqyid tersebut mengakibatkan kewajiban potong tangan hanya tercakup pada anggota pada tangan kanan. Abu hanifah pada dasarnya tidak mewajibkan potong kaki kiri pada pencuri berdasarka riwayat di atas. Adapun kewajiban potong kaki kiri menurutnya diikutkan dari kemujmalan riwayat masyhuroh yang mencakup kewajiban potong pada kaki seorang pencuri.

b.Hadis

Hadis Rasulullah SAW sebagaimana yang kita ketahui terdiri dari ucapan, perbuatan, dan ketetapan. Kedudukan hadis terbagi menjadi mutawatir dan ahad. Sebagian Ulama' mengklasifikasi hadis menjadi tiga bagian mutawatir, masyhur dan ahad. Abu hanifah memposisikan hadis mutawatir sebagaiman Ulama' lain yang menerima hadis mutawatir tanpa ada qoyyid dan syarat khusus. Kedudukan hadis masyhur (hadis yang diriwayatkan satu orang kemudian diterima sebagian besar kaum muslimin) sebagaimana hadis mutawatir yang mungkin untuk dijadikan hujjah dalam mengambil keputusan hukum. Bahkan sebagian pengikut hanafiyyah menyatakan bahwa riwayat ibn mas'ud yang di terima abu hanifah termasuk riwayat masyhuroh dan tidak mencapai derajat mutawatir. Hal ini berbeda dengan riwayat hafsh yang biasa kita amalkan, karena seluruh Ulama' mendudukkan riwayat tersebut ke derajat mutawatir.

Abu hanifah mempunyai sikap yang berbeda atas hadis ahad daripada dua hadis di atas. Jika Imam malik dan syafi'i menerima hadis ahad sesuai dengan kualitas perawi (apalagi syafi'i yang menerima semua hadis yang diriwayatkan sa'id ibn musayab), maka abu hanifah mengajukan dua syarat khusus atas hadis ahad sehingga mampu dijadikan hujjah. Syarat tersebut meliputi dua bagian, syarat yang harus melekat pada diri seorang rawi berupa islam, berakal, dlobth, dan adalah, dan syarat yang lebih ditujukan pada substansi hadis :

-Kandungan hadis ahad tidak bertentangan dengan sumber-sumber lain yang di akui kehujjiyahannya semisal Al qur'an, hadis mutawatir dan hadis masyhur. Banyak sekali hadis-hadis ahad dengan status sohih yang mendapat label tersebut dari sebagian cendekiawan muslim di dlo'ifkan abu hanifah dengan alasan diatas. Salah satunya adalah hadis yang menerangkan tashriyah (seorang penjual susu kambing sebelum menjual hasil produksinya ke pasaran, terlebih dahulu di simpan dengan jangka waktu yang tepat sehingga muncul anggapan bahwa hasil produksi tersebut bermutu tinggi). Hadis tersebut di tolak dengan tegas karena bertentangan dengan kandungan nash yang secara umum menerangkan ketidakbolehan seseorang mendapatkan hasil yang tidak sesuai dengan pengeluarannya.

-.Perawi hadis ahad tidak melakukan dan memberi fatwa yang bertentangan dengan hadis tersebut. Salah satu hadis yang menjadi korban pemikirannya adalah hadis “ laa nikaha illa bi waliyyin . . . “, karena perawi hadis yaitu sayyidah aisyah tidak mengamalkan hadis ini ketika menikahkan anak saudaranya (abdurrahman bin abu bakr) tanpa sepengetahuan abdurrahman.

-.Perawi hadis tidak mengingkari hadis yang telah diriwayatkannya. Pada satu hadis yang berbunyi “ayyuma imra'atin nakahat bi ghairi idzni waliyyiha fa nikahuha baatil”. Abu hanifah menolak hadis tersebut karena diriwayatkan Al zuhry. Pada suatu hari Ibn juraih menanyakan hadis tersebut pada Al zuhry, akan tetapi hadis tersebut tidak di akui dan di ingkari keberadaannya. Imam Syafi'i dan muhammad bin hasan Al syaibani (murid abu hanifah ) dengan tegas menolak pendapat abu hanifah karena sangat dimungkinkan seorang rawi meriwayatkan sebuah hadis kemudian melupakannya.

-.Kandungan hadis tidak bertentangan keadaan yang sudah di terima masyarakat umum. Abu hanifah menilai adat yang sudah terjadi sejak zaman rasulullah SAW dan berlaku sampai sekarang merupakan keadaan yang sudah paten dan tidak mungkin berubah hanya dengan satu riwayat meskipun berasal dari seseorang yang di anggap tsiqoh. Dengan pendirian ini abu hanifah menolak hadis abu hurairah yang menerangkan bahwa Rasulullah SAW mengeraskan bacaan basmalah saat pertama kali membaca fatihah di dalam salat.

c.Ijma'

Ijma' secara umum dapat di katakan sebagai kesepakatan Ulama' pada masa tertentu atas permasalahan yang sedang terjadi. Secara khusus Abu hanifah tidak memberikan uraian secara langsung mengenai pendapatnya tentang ijma'. Akan tetapi Dr Baltaji mengambil kesimpulan bahwa Abu hanifah mengakui dan menerima kehujjiyahan ijma'. Salah satu faktor yang menjadi kesimpulannya adalah muncul kenyataan bahwa abu hanifah lebih menggunakan hasil keputusan yang disepakati para sahabat daripada qiyas yang menjadi sudah patokannya dalam beristimbath.

d.qiyas

Abu hanifah termasuk orang yang paling sering menggunakan qiyas dan akal dalam membuat keputusan hukum. Bahkan timbul sebagian anggapan orang bahwa abu hanifah membangun rumah manhajnya di atas qiyas. Pendapat tesebut mungkin akan dibenarkan sebagian orang karena banyak sekali hasil keputusan abu hanifah yang bertentangan dengan nash-nash hadis yang sudah mendapat label sohih dari sebagian besar Ulama'.

Qiyas yang biasa kita pahami adalah mengembalikan hukum permasalahan baru ke hukum yang telah ada dengan sebuah 'illat yang menyatukan keduanya akan di pakai abu hanifah manakala tidak menemukan jawaban yang sudah ada dalam nash. Bahkan Abu hanifah sendiri tidak akan memakai qiyas ketika menemukan hadis yang dia anggap sohih. Salah satu ucapannya berbunyi “kencing di masjid menurutku lebih baik daripada melakukan qiyas”.

2 Membuka lembaran konsep tak baku.

a.Qoul sahaby

Para sahabat sejak zaman Rasulullah SAW sering berijtihad atas kasus yang mereka temukan secara langsung tanpa kehadiran Rasul. Banyak sekali hadis yang meriwayatkan perbedaan sahabat dalam menentukan hukum sebelum mengembalikan keputusan final ke tangan Rasul SAW. Sampai zaman khulafa'urrasyidin banyak sekali perbedaan pendapat di antara sahabat yang berimbas pada munculnya dua produk hukum berbeda.

Abu hanifah termasuk orang yang suka berpegang pada qoul sahaby saat tidak menemukan rujukan dari Al qur'an maupun hadis, bahkan saat muncul dua keputusan di antara sahabat maka akan memilih keputusan tersebut tanpa melirik standarisasi qiyas yang biasa di gunakan.

Pernyataan di atas mendapat bantahan keras dari Al bazdawi yang menganggap Abu hanifah pada satu kasus lebih menggunakan qiyas daripada qoul sahaby. Al bazdawi memberikan bukti konkrit dari pernyataannya. Salah satunya dengan pendapat abu hanifah yang menyamakan wanita hamil pada saat di thalaq dengan anak kecil dan wanita lanjut usia.

b.Istihsan

Banyak sekali pemahaman istihsan yang di lontarkan cendekiawan muslim. Pemahaman tersebut kebanyakan dilontarkan ashab hanafiyah, imam malik dan pengikut-pengikutnya. Di antara mereka muncul sebagian orang yang mencoba mendeskripsikan pemahaman istihsan versi abu hanifah karena selama hidupnya tidak membuat konsep tersebut secara langsung.

Dr baltaji kemudian menyimpulkan beberapa konsep penting yang di usung Abu hanifah dalam beristihsan

-Tidak mengambil hukum dari qiyas kalau muncul hadis sohih dari rasul.

-Menggunakan pendapat yang bersumber dari ucapan, perbuatan maupun ijma' sahabat walaupun di temukan celah dalam melakukan qiyas.

-'Urf yang telah ada harus dijadikan rujukan ketika dihadapkan dengan masalah yang memberi peluang dalam berqiyas.

-Maslahat harus selalu dikedepankan meskipun bertentangan dengan qiyas. Satu contoh sebagaimana pernyataannya yang membolehkan seseorang duduk di tengah-tengah salat. Pendapat tersebut berbeda dengan abu yusuf dan Muhammad yang mengharamkannya.

c.'Urf, istishab, sadd adzdzara'i dan syar' man qablana.

Di atas telah di kemukakan tentang konsep abu hanifah yang lebih mendahulukan 'Urf ketika bertabrakan dengan qiyas. Posisi tersebut diletakkan di bawah As sunnah dan qoul sahaby. Pendapat abu hanifah di amini murid-muridnya yang menggunakan jalan ini ketika tidak ada sumber nash dan tidak bertentangan dengan nash.

Semua imam empat madzhab setuju tentang penggunaan istishab. Tetapi semuanya berbeda tentang kapasitas penggunaannya. Imam Syafi'i dan Ahmad termasuk orang yang sering menggunakan perangkat ini. Kemudian di susul Malik dan Abu hanifah.

Sadd adzdzara'i diartikan sebagai upaya menghalangi seseorang agar terhindar dari keharaman. Abu hanifah pada saat tertentu juga menggunakan konsep ini dalam mengambil keputusan hukum. Tetapi Abu hanifah lebih sering menggunakan qiyas ketika dua perangkat tersebut ta'arudl.

Sangat sedikit sekali Ulama' yang mengakui kehujjiyahan syar' man qablana. Literatur yang telah ada sampai saat ini belum ada yang menunjukkan prinsip Abu hanifah tentang perangkat tersebut. Kemudian setelah abu yusuf dan Muhammad meninggal dunia, mulailah pengikut hanafiyyah membuat penetapan dengan membuat pengakuan sebagai pegangan selama tidak ada hukum baru yang mengganti kedudukan hukum lama.

Abu hanifah memiliki karakteristik berbeda dengan imam lain. Salah satu hal yang mencolok adalah penggunaan khilah yang sudah keluar dari maqasid al syari'ah. Selain itu abu hanifah termasuk orang yang suka membahas masalah iftiradli dan keluar dari realita yang ada.

C. Penutup.

Islam menjamin kebebasan berpikir dan berpendapat. Ulama' masa dulu telah membuktikan bagaimana kebebasan tersebut mampu mendorong mereka membuka lembaran baru yang menjadi dokumentasi generasi sesudahnya. Setiap orang yang mengikuti sejarah Islam akan menyaksikan dengan jelas bahwa para imam-imam madzhab zaman dahulu benar benar mengerahkan segala kemampuan dan kekuatan mereka untuk berfikir dan menuangkan tinta pemikiran mereka.

Akan tetapi kebebasan tersebut agak memudar setelah runtuhnya dinasti abbasiyah. Apalagi setelah muncul sebagian orang yang memproklamirkan tertutupnya pintu ijtihad. Semoga tulisan ini mampu mendorong kita untuk mengikuti jejak pendahulu kita yang tertinggal berabad-abad lalu.

POTRET HANABILAH

  1. POTRET HANABILAH[1]
  2. Oleh : Ahmad aniq munir [2]
  1. A.Pembukaan
  2. Allah S.W.T menganugerahkan akal kepada manusia yang membuatnya bisa berpikir. Hasil pemikiran manusia tertuang dalam kebudayaan dan pengetahuan. Sejarah telah membuktikan bahwa akal menjadi sumber aneka ragam kebudayaan maupun pengetahuan yang telah ada di muka bumi. Tidak hanya filsouf, sastrawan maupun cendekiawan yang telah sukses menggunakannya akan tetapi banyak sekali pemikir muslim dari teologi sampai fiqh yang nmenjadikan akal sebagai ujung tombak pemikiran mereka.
  3. Peranan akal juga masuk ke dalam wilayah teks yang berinteraksi dengan ilmu logika, kemudian lahirlah usul fiqh yang menjadi kerangka dalam beristimbath. Mayoritas Ulama' hanafiyah, Syafi'iyah, malikiyah maupun hanabilah memakai perangkat ilmu ini dalam menggali dasar sebuah hukum. Kesemuanya memiliki karakteristik tersendiri saat memahami nash-nash Al qur'an. Abu Hanifah terkenal dengan penggunaan nalar subyetif sehingga kebanyakan produk hukumnya bersifat logis. Imam Malik hidup diantara murid-murid Rasulullah di Madinah. Maka tidak heran hasil keputusan hokum yang dikeluarkan terkesan mengikuti jejak adat ahl al madinah. Berbeda dengan Imam Syafi'i. Keasyikannya melanglang buana hingga ke kufah pada akhirnya menciptakan konsep kajian baaru dan ditulis dalam bukunya al risalah. Ketiga warna-warni pemikir di atas dilengkapi dengan lahirnya Ahmad bin Hambal. Sosok yang sangat akrab sebagai tokoh Muhaddits, meskipun kita tidak menafikan kiprahnya dalam dunia fiqh. Bahkan, keempat Madzhab di atas, hanya jumhur Ulama' hanabilah yang mengatakan secara gambling pintu ijtihad masih terbuka[3]. Salah satu wacana yang menuntut transformasi paradigma dunia intelektual umat islam.



  4. B.Sepintas telaah historiograf.
  5. Imam Ahmad termasuk sosok yang gemar berpetualang. Semasa mudanya, tidak sedikit kota-kota besar menjadi persinggahan sekaligus tempat bernaung atas dahaga ilmu pengetahuan. Mulai dari sebelah utara kufah, basrah, syam, makkah, madinah, sampai barat Jazirah arab yaman. Dari perjalanannya tidak sedikit kaum muslimin menuntut ilmu dan menjadi ashabul hanabilah. Salah satunya berasal dari darah dagingnya sendiri bernama Soleh bin ahmad (w 266 H)[4]. Rekan kompatiotnya adalah Abdullah bin ahmad ( w 290 hijriyah), Hambal bin ishaq (w 273 hijriyah), Ibrohim bin ishaq al harbi ( w 285 H), Ahmad bin Muhammad bin hani' abu bakr al atsram (w 260 /261 /273 H), ahmad bin Muhammad bin al hajjaj abu bakr al marwadzi ( w 270 H)[5]. Nama di atas merupakan murid-murid ahmad bin hambal yang hidup sejaman dengannnya. Peran serta mereka di kemudian hari menjadi bibit-bibit unggul atas pergerakan fiqh madzhab Hanabilah.
  6. Setelah Imam Ahmad meninggal lahirlah Ahmad bin Muhammad bin harun Abu bakr Al khallal (w 321 H). Beliau berguru kepada murid-murid Imam Ahmad seperti Soleh bin Ahmad, Abu Zar'ah Al Dimasyqi serta Al Marwazi yang diikutinya sampai meninggal. Al Khallal menjadi figur sentral trnsformasi madzhab. Pembenaran tersebut terapresiasi lewat karya-karyanya. Pada saat inilah dimulai pembukuan fiqh Imam Ahmad sehingga tidak heran hampir semua kitab fiqh Hanailah era sekarang merujuk atas buku ini. Bahkan, Ibnu Qoyyim sendiri berkata "Al khallal mengarang kitab fiqh madzhab hanabilah sampai dua ratus juz". Kebanyakan 'Ulama' berpendapat bahwa Al khallal merupakan tokoh pertama dalam pengumpulan fiqh madzhab hanabilah. Beliau mengajarkan fiqh madzhab hanabilah di masjid Al mahdi, Baghdad. Sosok panutan semisal Al Khallal kiranya mendapat tempat di hati sanubari anak didiknya. Hingga pada akhirnya, murid-murid Al khallal mampu menjalankan tugas ganda di pundak mereka. mereka tidak hanya belajar epistemologi madzhab hanabilah akan tetapi banyak dari mereka yang ikut andil menyebarkan madzhab ke penjuru negeri.
  7. Al khallal mempunyai dua murid hebat. Umar bin Al Husain Abu Al Qosim Al Kharqi dan Abd Al Aziz bin Ja'far terkenal dengan sebutan ghulam al khallal[6]. Keduanya memiliki karakteristik berbeda dalam rangka pembangunan kehidupan sebuah mandzhab. Di mata para cendekiawan fiqh, murid kedua (ghulam al khallal) merupakan orang yang paling teguh dalam memegang madzhab Imam Ahmad. Kenyataaan tersebut nampak sekali dalam bersikap. Ghulam al khallal juga memiliki panggilan kunyah Abu bakr. Ketelatenannya dalam meneladani Al Khallal melahirkan produktivitas dalam menulis. Salah satu karangannya berjudul Al syafi, Al tanbih, zad al musafir. Selain dua nama di atas, Al khallal juga memiliki murid lain yang tidak kalah dalam berkiprah dibandingkan saudara seperguruan lain. Adalah Al kharqi, yang menjadi penulis buku mukhtasor al khorqi. Pada saat kaum qoromithoh (salah satu sekte syi'ah) menyerang makkah madinah dan mengambil hajar aswad dari tempatnya, al kharqi menitipkan karangannya di rumah ibn sulaiman. Namun sayang, kemudian rumah tersebut terbakar dan musnahlah semua karangannya kecuali satu kitab di atas. Kitab ini merupakan kitab yang paling penting dalam sejarah madzhab hanabilah, karena itu tidak sedikit Ulama' yang mensyarahi kitab tersebut, seperti Abu Ya'la, Abu Ali Al Bana, bahkan salah satu riwayat memyebutkan terdapat sekitar 300 kitab yang menjadi komentar mukhtasor tersebut. Salah satunya adalah al mughni, karya muwaffiq al din ibn qudamah al muqoddasi. Kitab ini menjadi ensiklopedia fiqh yang popular di kalangan hanabilah. Pada kitab ini Ibn Qudamah tidak hanya menyajikan perkhilafan antara imam-imam madzhab empat, tapi juga imam madzhab yang tidak mempunyai pengikut seperti Al auza'i, Al laits bin sa'd.



  8. C.Ensiklopedia epistemologi aliran
  9. Sebagaimana madzhab lain, kaum hanabilah juga mempunyai landasan istimbath al hukm yang menjadi patokan mereka dalam berfiqh.[7] Nash Al qur'an dan hadis, qoul sahaby, qoul tabi'in, ijma' dan qiyas memiliki porsi penting di mata mereka dengan menggunakan stsandar yang khusus dan unik.

  10. A.Nash al qur'an dan hadis.
  11. Nash memiliki porsi yang paling tinggi di mata kaum hanabilah dalam beristimbath. Kedudukan al qur'an haruslah didahulukan daripada hadis dari segi keduanya merupakan unsur satu. Hadis di sederajatkan dengan Al qur'an selama hadis tersebut soheh, karena itu kaum hanabilah tidak harus mendahulukan ayat al qur'an dalam menerangkan sebuah hukum. Mereka juga berpendapat bahwa hadis merupakan penjelas al qur'an. Jika secara dlohir mereka menemukan ayat al qur'an bertentangan dengan hadis, maka makna al qur'an harus di larikan ke makna hadis, karena hadis menjadi mubayyin. Pada ayat al qur'an tidak sedikit ditemukan lafal 'aam dan dlohir. Jumhur Ulama' berpendapat bahwa lafal 'aam harus diyakini makna umumnya serta tidak boleh diamalkan sebelum mengetahui mukhossis. Imam ahmad dalam masalah ini berpendapat sama dengan jumhur pada salah satu riwayatnya. Tapi pada saat lain muncul pernyataan sebagai berikut "lafal 'aam tidak wajib di yakini dan di amalkan sehingga seorang mujtahid meneliti dan melihat "apakah disana terdapat mukhossis".Setelah diteliti dan dilihat kemudian tidak menemukan mukhossis maka lafal tersebut harus di amalkan"[8].Secara tidak langsung dapat ditarik kesimpulan bahwa imam ahmad pada riwayat lain mengatakan bahwa lafal 'aam tidak wajib di yakini dan diamalkan. Selain lafal 'aam, hanabilah berpendapat sama dengan madzhab lain tentang lafal dlohir, yaitu wajibnya mengikuti dan mengamalkannya. Lafal tersebut juga tidak boleh dihilangkan dari makna aslinya kecuali dengan menggunakan dalil yang mewajibkannya.
  12. Telah disebutkan diatas bahwa hadis disederajatkan dengan Al qur'an selama hadis tersebut sohih. Pernyataan ini tidak bertentangan dengan jawaban mu'adz bin jabal saat menjawab pertanyaan nabi. Maksud hadis tersebut hanyalah semata-mata mencari jawaban secara mudah, gampang, dan tepat,tanpa ada unsur mewajibkan beristimbath secara urut.Kaum hanabilah yang di motori imam ahmad menekankan agar memahami agama dengan jalan mempelajari hadis. Memahami Al qur'an maupun mempelajari agama secara utuh hanya bisa dilalui dengan jalan mengetahui hadis. Mengambil hukum dari Al qur'an tanpa melirik hadis tidak bisa dibenarkan,[9] karena:
  13. 1.Nash al qur'an wajib diikuti sebab mengikuti rasulullah. Allah SWT sendiri mengancam orang-orang yang menentang perintah rasul SAW "maka hendaklah orang-orang menentang perintahnya (Muhammad) merasa takut jika mereka terkena fitnah atau terkena siksaan yang pedih" (al nur:63). Dalam ayat lain disebutkan "apa yang diperintahkan rasul kepadamu maka ambillah dan apa yang dilarang rasul kepadamu maka tinggalkanlah" (al hasyr :7).
  14. 2.Banyak sekali dalil-dalil yang mewajibkan berpegang nash hadis dan tidak terbatas pada nash.Salah satu riwayat disebutkan "akan ada salah satu diantara kamu yang berkata "ini kitabullah, hukum halal yang ada di dalamnya akan kami halalkan, hukum haram yang ada di dalamnya akan kami haramkan. Ingatlah, barang siapa yang menyampaikan hadis kepada seseorang kemudian dia membohonginya maka telah berbohong tiga kali, kepada Allah, rasulnya dan orang yang di khabari hadis tersebut."
  15. 3.Kebanyakan hukum yang ada diambil dari hadis. Al qur'an yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW kebanyakan bersifat global sehingga menuntut Ulama' untuk memahami dari jalur hadis.
  16. Para Ulama' berbeda pendapat tentang kehujjiyahan hadis mursal (penulis sengaja mengangkat hadis mursal karena tidak ada perbedaan yang kentara di antara Ulama' hanabilah dengan tiga madzhab lain tentang hadis mutawatir, masyhur, mustafidl. Adapun hadis ahad, hanafiyah menganggap hadis tersebut tidak bisa mentakhsis Al qur'an, berbeda dengan hanabilah). Abu hanifah menerima hadis mursal jika yang memursalkan hadis adalah sahabat (seorang sahabat tidak menyebutkan sahabat lain yang menjadi rawi) atau tabi'in (seorang tabi'in tidak menyebutkan nama sahabat). Imam malik hanya menerima hadis mursal dari orang yang dia anggap tsiqoh. Kriteria yang diajukan dua imam tersebut bukan berarti mereka menerima hadis mursal secara mudah. Pada masa sahabat maupun tabi'in sudah menjadi kebiasaan diantara mereka meriwayatkan hadis dengan jalan mursal. Karena pada masa tersebut belum banyak terjadi pembohongan maka tidak ada penghalang untuk menerima hadis mursal. Imam Syafi'i secara umum menerima hadis mursal dengan dua catatan, pertama seorang rawi yang mengirsalkan hadis haruslah tabi'in (apalagi jika rawinya sa'id ibn musayyab). Kedua, hadis tersebut haruslah dikuatkan dengan syahid yang diterima tazkiyahnya. Pentazkiyahan syahid cukup satu dari empat perkara :
  17. 1.Terdapat beberapap rawi tsiqoh yang meriwayatkan hadis tersebut sampai ke rasulullah SAW.
  18. 2.Munculnya hadis mursal lain dan diriwayatkan dengan jalan yang berbeda.
  19. 3.Dikuatkan dengan fatwa atau qoul al sahaby.
  20. 4.Segolongan pendekar hadis menerima dan memberi fatwa dengan mursal tersebut. Tingkatan ini paling terakhir dibandingkan tingkatan sebelumnya .
  21. Hadis mursal menurut Syafi'i tidak sekuat muttasil. Jika timbul pertentangan antara keduanya maka muttasil yang didahulukan. Pendirian Ahmad sama dengan syafi'i yang menjadikan hadis mursal sebagai hujjah. Akan tetapi, Ahmad menyamakan hadis mursal dengan hadis dloif yang dijadikan hujjah di bawah fatwa al sahaby.[10] Penetapan ahmad bukan sebuah jalan untuk menerima hadis ini secara mudah, bahkan lebih sulit dari syafi'i karena mengkategorikan sebagai hadis dlo'if yang difatwakan dalam keadaan dlarurat.
  22. Ada beberapa syarat yang diajukan Ahmad dalam menerima hadis dlo'if :
  23. 1.Hadis yang diriwayatkan tidak berasal dari orang yang suka berbohong.
  24. 2.Makna hadis bersifat umum.
  25. 3.Tidak boleh diyakini kebenaran hadis tersebut, akan tetapi diamalkan sebagai jalan ihtiyath.
  26. Sebagaimana di ketahui, tidak sedikit hadis dlo'if yang diriwayatkan Imam Ahmad dalam musnadnya. Mengamalkan hadis dlo'if lebih baik daripada memutuskan dengan ra'yu sebagai tindakan preventif menghindari kesalahan dalam berijtihad. Kebanyakan perawi hadis yang dicantumkan dalam musnadnya tidak tergolong orang yang suka berbohong, bahkan sebagian dari mereka ditazkiyahkan Ulama'. Sebagian lagi terdapat perawi hadis yang sanadnya kuat dengan dikuatkan hadis lain. Ibn Taimiyah bahkan berpendapat bahwa hadis dlo'if dalam musnad ahmad termasuk hadis hasan.

  27. B.Fatwa sahabat
  28. Hampir semua imam madzhab fiqh mempelajari ilmu dari gurunya secara utuh dan sempurna. Abu hanifah belajar kepada Ulama' iraq yang dinisbatkan ke Ibn mas'ud. Malik bin anas membuat kerangka fiqh dari fuqaha' al sab'ah. Syafi'i menyusun rumusan fiqh dan hadis dari Ibn 'uyainah dan malik, membuat komparasi dengan fiqh ahl 'iraq saat bertemu Muhammad bin hasan kemudian lahirlah ilmu usul fiqh.
  29. Pada periode Ahmad banyak sekali hasil keputusan maupun fatwa sahabat yang telah di ikuti dan dijadikan rujukan Ulama', salah satu orang yang mengikuti jejak langkah ini adalah Ahmad bin hambal. Bahkan hasil fatwa tersebut dijadikan hujjah yang berdiri setelah nash dan sebelum hadis mursal. Menurutnya fatwa sahabat memiliki dua tingkatan[11]:
  30. 1.Fatwa yang tidak ada perkhilafan diantara sahabat, atau ada qoul lain yang tidak ditemukan sumber penelitiannya. Fatwa tersebut diamalkan dan tidak di katakan ijma'.
  31. 2.Permasalahan yang menyebabkan fatwa berbeda di antara sahabat. Sebagai contoh kedudukan kakek dari sisi ayah. Abu bakar menggolongkannya seperti ayah yang bisa menghalangi saudara laki-laki mendapatkan warisan, sedangkan zaid menyamakannya dengan saudara laki-laki yang berhak menerima warisan setelah terpenuhi beberapa syarat. Terdapat beberapa sumber mengenai pendirian Ahmad dalam kasus ini, sumber pertama memilih dengan mengi'tibar semua fatwa sahabat. Sumber kedua sebagaimana komentar Ibn Qoyyim "salah satu usulnya (ahmad) jika ditemukan perbedaan di antara sahabat maka yang dipilih adalah qoul yang lebih mendekati kitabullah dan al hadis."[12]Pendirian kedua tidak hanya menjadi riwayat Ahmad, akan tetapi juga diriwayatkan Syafi'i dan abu hanifah.
  32. Pendirian Ahmad tidak berakhir dengan dua riwayat saja, bahkan riwayat terakhirnya mentarjih qoul khulafa al rasyidin. Salah satu faktor yang mendorongnya memilih qoul ini dikarenakan qoul mereka lebih mendekati kebenaran yang disetujui jumhur al muslimin.

  33. C. Fatwa tabi'in
  34. Sebagian besar Ulama' menganggap fatwa tabi'in bukanlah sebuah dasar hukum yang wajib diikuti. Abu hanifah pada satu kasus mengikuti qoul ibrahim al nakho'i tanpa menjadikan pendapatnya sebuah kekuatan hukum yang pasti. Imam malik kadang berlaku hal yang sama dengan qoul Said ibn musayyab, Imam Syafi'i pun senada dengan keduannya saat menerima ro'yu atho'.
  35. Jika ketiga-tiganya mempunyai pendirian yang mirip tentang fatwa sahabat, berbeda dengan Hanabilah yang mempunyai dua qoul berbeda atas riwayat Ahmad jika tidak ditemukan nash Qur'an atau hadis maupun fatwa al sahaby. Sebagian menjadikan fatwa tabi'in sebagai hujjah dan wajib diikuti. Berbeda dengan salah satu pendapat hanabilah yang memilih tidak wajib mengambil fatwa tabi'in. Kaum yang mengambil jalan pertama berselisih ketika fatwa tabi'in ta'arudl dengan qiyas. Sebagian mendahulukan fatwa al tabi'in karena qiyas tidak boleh digunakan kecuali dalam keadaan dlarurat, lebih-lebih ketika sang mufti terkenal dengan kealiman dan ketaqwaannya. Sedangkan yang lain memprioritaskan qiyas karena merupakan sebuah dalil yang diakui dan mu'tabar.[13]

  36. D. Ijma'
  37. Sejak dulu sudah muncul persengkataan Ulama' tentang kehujjiyahan ijma'. Adalah Al nidlom (w 331 H) salah satu orang yang mengingkari kehujjiyahan ijma', karena ijma' jika timbul dari dalil qoth'i maka dalil tersebut yang menjadi hujjah. Tapi jika wujudnya berasal dari dalil dlonny maka tidak mungkin timbul ijma' karena terdapat perbedaan Ulama' dalam memahami dalil dlonny. Imam malik menilai wujudnya ijma' hanya bisa terjadi dengan kesepakatan fuqaha' al madinah. Abu dawud menganggap ijma' tidak bisa di i'tibar kecuali dari sahabat.[14]
  38. Kaum hanabilah termasuk golongan yang mengakui kehujjiyahan ijma'. Mereka menta'rifi ijma' sebagai "kesepakatan kaum muslimin atas sebuah hukum. Jika ijma' atas hukum sudah terjadi maka tidak boleh bagi seseorang untuk keluar dari ijma'. Sebagian dari kaum muslimin menyangka banyak sekali permasalahan yang mendapat ijma',akan tetapi justru sebaliknya. Sangat sedikit permasalahan yang mendapat ijma'[15]". Ijma' dengan pengertian di atas hanya bisa terjadi pada sesuatu yang sudah menjadi ma'lum min al din bi al dlarurat, seperti salat, puasa, zakat, dll.
  39. Para Ulama' berbeda pendapat tentang kedudukan ijma' menurut Imam Ahmad. Sebagian mengatakan bahwa Ahmad tidak menjadikan ijma' sebagai salah satu sumber hukum sesuai dengan pernyataannya "barang siapa mendakwa ijma maka dia berbohong. Mungkin saja terdapat manusia yang berbeda". Akan tetapi pernyataan tersebut di bantah Dr Abdul Aziz Muhammad Azam yang menganggap qoul tersebut sebagai ucapan yang di tadliskan ke riwayat Ahmad, karena hasil penelitiannya menyatakan bahwa ucapan tersebut di lontarkan bisyri al marisi dan al asham. Secara lebih jauh Al qodli berkata "ucapan ini secara dlohir menunjukkan bahwa ijma' tidak mungkin terjadi. Akan tetapi pada kenyataannya tidaklah demikian. Jika ucapan ini benar-benar di lontarkan Imam Ahmad maka yang dimaksud disini hanyalah sebagai langkah mawas diri jika di khawatirkan muncul qoul yang berbeda."[16]
  40. Ijma' oleh fuqaha' diposisikan sesudah nash. Hal yang sama juga dilakukan kaum hanabilah. Mereka akan mendahulukan Ijma' jika ta'arudl dengan qiyas.

  41. E.Qiyas
  42. Banyak sekali pendapat Ulama' tentang qiyas. Satu pihak muncul Abu dawud dan al nidlom sebagai orang yang mengingkari keberadaan qiyas. Berbeda dengan abad ini yang melahirkan banyak sekali pemikir kontemporer dengan upaya mereka untuk membuka pintu qiyas selebar-lebarnya.
  43. Sebagian orang menganggap Ahmad bin hambal menafikan qiyas, sebagaimana dengan maqolahnya "omongan hendaknya di jauhkan dari hukum fiqh secara mujmal dan qiyas." Ucapan tersebut di bantah Al Qodli Aby ya'la yang memasukkan qiyas di atas ke qiyas fasid.[17]
  44. Secara umum kaum hanabilah yang mengakui kehujjiyahan qiyas tidak mempunyai perbedaan yang mencolok dengan tiga madzhab lain. Mereka lebih menekankan agar seseorang berhati-hati dalam mengerjakan qiyas. Terdapat beberapa tempat yang menjadi celah timbulnya kesalahan dalam berqiyas[18] :
  45. 1.Pemaksaan 'illat pada hukum yang tidak bisa di ta'lili. Pemerkosaan 'illat pada hukum tersebut akan merusak kasus lain dengan hukum tersebut. Sebagaimana wudlu menjadi batal ketika menyentuh hasil sembelihan kambing atau unta. Ketika hukum tersebut di 'illati karena keadaan daging panas, akan sangat kontras sekali jika seseorang memegang daging yang tidak panas atau dingin.
  46. 2.Ketidaktepatan seorang mujtahid dalam menaruh 'illat. Semisal Ulama' yang menta'lili gandum sebagai benda ribawy dengan al thu'm. Dengan pendirian tersebut akan salah jika dia memberi 'illat gandum selain dengan di atas.
  47. 3.Seorang mujtahid tidak menta'lili hukum secara utuh. Pada saat mujtahid memberikan 'illat wajibnya qisos pada pembunuh dengan alasan "pembunuhan di sengaja" tanpa mencantumkan "permusuhan" akan menyebabkan wajibnya qisos pada pihak wali yang terbunuh atas upaya mereka mengqisos pembunuh.
  48. 4.'Illat pada hukum berkumpul dengan fungsi lain yang merubah status dan kedudukannya. Pada contoh wajibnya kafarah orang arab yang bersetubuh pada siang hari bulan ramadlan dengan di alasi karena si so'im adalah orang arab akan meniadakan hukum wajib kafarah pada orang selain arab saat bersetubuh di siang hari bulan ramadlan.
  49. 5.Terjadi kesalahan dalam menempatkan 'illat ke far'i. Seperti orang yang menyangka bahwa apel merupakan benda yang di takar (al kail), sehingga menyamakannya dengan gandum dalam mengeluarkan zakat.
  50. Qiyas merupakan pekerjaan yang mudah. Banyak orang melakukan kesalahan dalam berqiyas. Jadi tidak heran jika kaum hanabilah memberikan sekat-sekat kuat sehingga seseorang tidak salah dalam berqiyas.

  51. F.Respon hanabilah atas riwayat Ahmad bin Hambal
  52. Imam ahmad sebagai orang yang tidak suka menggunakan ra'yu tidak jarang mempunyai riwayat yang menimbulkan pemahaman berbeda di antara hanabilah. Kaum hanabilah yang menerima keputusan hukum Imam mereka maupun pernyataan sorih yang disarikan dari kitab Al qur'an, hadis, ijma' atau qoul sahaby tanpa perbedaan riwayat lain, maka kesemuanya menjadi madzhab Ahmad. Al marwadzi, Ibn hamid, Ibn taimiyah menilai permasalahan yang diriwayatkan Ahmad dan di tadwin murid-muridnya tanpa muncul pendapatnya secara sorih sudah menjadi hukum madzhab dan pilihannya. Berbeda dengan sebagian hanabilah lain yang berbeda dengan pendapat di atas.[19]
  53. Respon Ulama' hanabilah tidak hanya mencakup riwayat yang sudah di tadwin sebagaimana di atas, tapi juga meliputi riwayat yang sudah di cabut Imam Ahmad sendiri. Al Qodli Aby ya'la, abu al khattab, dan ibn qudamah berpendapat banwa hukum yang sudah di cabut Ahmad akan meniadakan hukum pertama. Mereka menentang pendapat hasan bin hamid yang memposisikan riwayat pertama Ahmad seperti riwayat lain dan menjadi madzhab kedua.Perbedaan yang terjadi di kalangan hanabilah membuat tubuh madzhab tersebut sangat berbobot dan padat. Dalam literatur mereka tidak jarang dijumpai istilah seperti Al riwayat, Al wajh, Al ihtimal, Al takhrij, dan al taujih. Penggunaan Istilah pertama ke nash Imam Ahmad atau perkataan yang di tadwin murid-muridnya. Istilah kedua menjadi perkataan Ashab hanabilah saat memutuskan atau menta'lili hukum. Istilah ketiga merupakan dalil lemah saat di hadapkan dengan dalil yang lebih kuat. Al takhrij menjadi istilah saat memindah hukum masalah ke masalah lain. Sedangkan Al taujih adalah penjelas yang berupa alasan timbulnya hukum.



  54. D.Penutup
  55. Di antara empat madzhab fiqh, pada masa lampau hanya madzhab hanabilah yang mempunyai pengikut paling sedikit. Baru abad terakhir perkembangan madzhab ini melaju pesat. Dengan metode istimbath dan pemikiran unik yang mereka tawarkan seharusnya pengikut madzhab ini mampu mengembangkan dan melebarkan sayap-sayap mereka ke seluruh pelosok dunia.
  56. Dengan mempelajari sekilas metode istimbath mereka, semoga akan merangsang kemauan belajar kita dan menumbuhkan minat untuk terus maju ke depan.


  57. WALLAHU A'LAM BI SAWAB.











  58. [1] Makalah ini disampaikan di kajian regular LBM PCI-NU mesir

  59. [2] Penulis adalah mahasiswa al azhar fakultas syari'ah islamiyah tingkat II yang sedang menunggu natijah turun

  60. [3] Dr Muhammad abu zuhroh, tarikh al madzahib al islamiyah, dar al fikr al arabi, kairo, 1996, hal 526

  61. [4] Dr abd al aziz Muhammad azam, ahmad ibn hambal hayatuhu wa makanatuhu fi al fiqh wa al hadits, dar al bayan, kairo, cet I, 2000-2001, hal 207-208

  62. [5] Ibid hal 212

  63. [6] Ibid hal 216

  64. [7] Dr Ali jum'ah Muhammad, al madkhal ila dirasati al madzahib al fiqhiyah, dar al salam, kairo, cet I, 2004, hal 193

  65. [8] Ibid hal 195

  66. [9] Muhammad abu zuhroh, ibn hambal hayatuhu wa ashruhu ara'uhu wa fiqhuhu, dar al fikr al arabi, kairo, 1997, hal 174

  67. [10] Ibid hal 181

  68. [11] Ibid hal 193

  69. [12] Ibid hal 194

  70. [13] Ibid 201-202

  71. [14] Dr abd al aziz Muhammad azam, ahmad ibn hanbal hayatuhu wa makanatuhu fi al fiqh al islamy, dar al bayan, kairo, cet I, 2001-2002, hal 294

  72. [15] Aby al abbas ibn taimiyah, al fatawa ibn taimiyah, juz I, mathba'ah al azhary, cairo, tanpa tahun cetakan, hal 406

  73. [16] Op .cit hal 304

  74. [17] Muhammad Al Amin bin Muhammad Al mukhtar Al syinqithi, mudzakkiroh fi usul al fiqh, dar al itqon, iskandariyah, tanpa tahun, hal 272

  75. [18] Ibid hal 274

  76. [19] Dr Abd al muhsin bin 'abd aziz, qawa'id al istimbath min alfadz al adillah inda al hanabilah wa atsariha al fiqhiyyah, dar al basya'ir al islamiyyah, Beirut, cet I, 2004, hal 29

Rabu, 07 Januari 2009

KAMAR KANG SANTRI

MENEROPONG SEPERCIK PERJALANAN QIRA'AH

Sudah bukan menjadi rahasia lagi kalau hampir semua orang di dunia ini membaca al Qur'an dengan satu riwayat saja hafs an ashim, terkecuali libya yang eksis dengan qolun an nafi' dan Maroko melalui warsy 'an nafi'. Perbedaan yang terjadi di antara imam kemudian disebut qira'ah. Sebagian orang menyangka sosok Hasan Bashri (110 H.) menjadi tonggak pertama kali dalam penanaman benih qira'at. Namun, pada dasarnya para Sahabat yang rajin menyebarkan agama Islam ke penjuru negeri punya andil besar saat munculnya wacana ini. Imam al-Dzahabi juga ikut memberi sumbangsih tersendiri dalam bukunya "al-Qurra' al-Kibar". Dalam karyanya ini secara lanjut mengklasifikasi qira'ah para ulama periode Sahabat. Menurut beliau dari berbagai riwayat dapat diklasifikasikan menjadi tujuh orang Sahabat masuk ke dalam tingkatan pertama. Mereka adalah Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, Ubay ibn Ka'ab, Abdullah ibn Mas'ud, Zaid ibn Tsabit, Abu Musa al-Asy'ari, Abu Darda'. Semua Sahabat di atas mempunyai edisi khusus dalam mushaf mereka meskipun pada akhirnya harus menjadikan mushaf Utsmani sebagai otoritas tertinggi. Semasa hidup mereka banyak sekali aktifitas-aktifitas positif yang dilakukan. Diantaranya mengajarkan bacaan al-Quran yang saling berbeda satu dengan yang lain. Sebut saja Abdullah ibn Mas'ud sebagai salah satu punggawa qira'ah yang kemudian diikuti oleh tiga imam qira'ah yakni 'Ashim, Hamzah dan Kisa'i. Meski berangkat dari background yang tidak berlawanan, namun ketiga tokoh qiraah ini memiliki corak pembacaan yang berbeda, bahkan pada kerangka teoritis terdapat kaidah khusus pada satu imam. Di Syam (Siria) Abu Darda' juga mengajarkan warna bacaan lain ke Ibnu 'Amir, yang digolongkan Imam Suyuthi ke dalam tingkatan paling tinggi di jajaran pembawa sanad.

Menjamurnya berbagai macam aliran maupun kehadiran orang-orang zindiq menimbulkan kehawatiran sebagian golongan. Golongan ini disinyalir lahir pertama kali dari sepak terjang Abdullah bin Saba'. Tidak salah kemudian pada akhirnya memicu lahirnya aturan baku. Aturan ini dikoarkan oleh dua sosok yang sangat berpengaruh pada masa itu. Mereka muncul tidak lama sesudah madrasah Hasan Basri berdiri. Pertama, Sibawaih (wafat 136 H.) beliau adalah pakar Ilmu nahwu yang mengesahkan qira'ah dengan kriteria ulama Basrah. Kedua, Abu Abid (wafat 223/224 H.) dan Abu Hamid al-Sijistani (wafat 248/255 H.). Secara bersamaan mereka mensyaratkan kebenaran qira'ah dengan menggunakan tiga perangkat, tidak terdapat cacat dalam pemakaian secara bahasa, mengikuti aturan mushaf utsmani, dan adanya konsensus masyarakat umum pada penerimaan qiraat tersebut yang cukup diwakili dominasi cendekiawan dengan kredibilitas serta kapabilitas tinggi. Periode setelahnya muncul Abu Bakar ibn Muqsim (wafat 354 H.). Hampir semua masyarakat umum menerima tiga syarat di atas, terkecuali Ibn muqsim. Pada saat itu dengan tegas menerima semua qira'at yang berstandar mushaf utsmani dan benar secara lughat (dua syarat pertama abu abid dan abu hamid). Atas pemikirannya yang terlalu berani pd th 322 Ibnu Muqsim dipanggil raja karena bacaannya yang tidak dibenarkan sebagian besar fuqaha' dan qurra'. Akan tetapi menjelang kematiannya ibn muqsim mencabut sumber kontroversi di atas dan kembali ke qira'ah biasa. Setelah Ibnu Muqsim meninggal Ibnu Makki (437 H.) menggagas tiga syarat baru yang menjadi klaim kebenaran qira'ah. Dua syarat pertama memiliki persamaan dengan pengajuan Abu Abid dan Abu Hamid. Adapun corak ketiga mempunyai kemiripan dengan penerimaan Hadis Shahih, yaitu diriwayatkan dari perawi tsiqah serta bersambung sampai ke Rasulullah Saw. Pada masa ini pula muncul pembagian qira'ah Masyhur dan Syadz, Mu'taraf versus Ghairu Mu'taraf. Pembagian tersebut sangat mungkin menjadi tonggak lahirnya unifikasi qira'at oleh Ibnu Mujahid (324 H.).

Abad kelima dan keenam menjadi periode munculnya proses belajar mengajar ilmu qira'ah secara tersistem. Adalah ibn Mujahid yang kemudian mengenalkan pembelajaran riwayat tiap qira'ah serta karakteristik pengucapannya. Tidak begitu lama lahirlah Imam Syathibi (590 H.) dengan magnum opus-nya "hirz al amani wa wajh al tihani" membuat rumusan ilmu qira'at secara sistematis. Saat mengajar Syathibi menyuruh murid-muridnya mengkhatamkan al-Quran minimal tiga kali. Dua kali khataman membaca dua perawi Imam. Khataman ketiga menggabungkan dua perawi tersebut. Sebelum Syathibi banyak bermunculan para Qori' dengan kuantitas lebih banyak saat membaca al-Quran. Imam al-Wahidi (468 H.) misalnya belajar qira'ah dengan jumlah tidak terhitung generasi sesudahnya. Itupun belum mampu menguras semua pengetahuan qira'at Ibn Mahran (w 381). Ibn al jazari menghitung thoriqoh periwayatan Ibn Mahran yang berhasil terdeteksi dalam pencapaian empat muridnya mencapai empat puluh limaHafs 'an'Asim ibn Mujahid membaca al-Quran secara sempurna berulang-ulang ke al-Husory dan al-Wahidy. Tampaknya apa yang telah terjadi di atas menjadi inspirasi tersendiri dalam pembakuan jalan periwayatan. Delapan riwayat di ketahui berasal dari Ibn syanabudz . Ibn mujahid mengambil tiga thoriqoh. Al-Naqqasy meriwayatkan tiga jalur. Abu Bakr al-Munaqqi memperoleh enam jalan dengan satu jalan sama dengan tiga perawi di atas. Senada dengan al-Wahidi, al-Husory (488 H.) yang menjadi salah satu guru Ibnu Mujahid saat belajar juga harus mengkhatamkan tujuh puluh kali. Pun pada Ibnu Mujahid. Dengan membaca riwayat variasi qira'ah secara sistematis.

Meskipun tindakan Ibn Mujahid mempunyai nilai plus, bahkan hampir di seluruh dunia saat ini menerapkan, tetapi pada tataran praksis Ibn Mujahid melakukan tindakan baru dan belum penah terjadi pada periode sebelumnya. Ibn Aby laila (w 148) misalnya, tidak langsung menyalahkan muridnya saat membaca karena seorang murid terkadang memakai riwayat masyhur lain. Begitu juga Nafi'. Seringkali saat mengajar al-Quran memberi kemudahan pada murid-muridnya untuk memilih wajah qira'at yang pernah di dengarnya. Hal senada juga terjadi pada Imam qira'ah lain, karena pada prinsipnya tujuan mereka hanyalah mengajarkan al-Quran.

Pengaruh Ibnu Mujahid sebagai seorang panutan pada akhirnya menetapkan tujuh qira'ah Masyhur sebagai otoritas tertinggi di antara warna qira'ah yang ada. Meskipun tindakan tersebut banyak ditentang ulama'-ulama' lain. Pemetaan pada tujuh qira'ah meliputi tujuh Imam plus dua perawi. Nafi' (Ibn 'Abdurrahman ibn Abi Na'im (169 H.) sebagai guru besar di Madinah mengesahkan Qolun; Abu Musa, Isa ibn Mina (220 H.) dan Warsy; Utsman ibn Sa'id al-Qibthi (197 H.) sebagai perawinya. Abdullah ibn Katsir al-Makki (120 H.) menurunkan qira'ah-nya ke Ahmad ibn Muhammad ibn 'Abdullah al-Bazzi (250 H.) dan Qunbul; Muhammad ibn Abdurrahman al-Makhzumi (291 H.). Abu 'Amr al-Bashri, salah satu qori' yang terkenal dengan idghom kabir mempunyai murid Abu 'Amr Hafs ibn Umar al-Duri (246 H.) dan Abu Syu'aib Soleh ibn Ziyad al-Susy (261 H.) sekaligus menjadi perawi. Hisyam ibn 'Amr (245 H.) dan Ibnu Dzakwan; 'Abu 'Amr Abdullah ibn Ahmad (245 H.) sebagai murid juga menjadi perawi Abdullah Ibn 'Amir (118 H.). Syu'bah ibn 'Ayyasy ibn Salim (193 H.) serta Abu 'Amr Hafs ibn Sulaiman (180 H.) dengan bacaannya yang dipakai seantero dunia saat ini meneruskan perjuangan 'Ashim dalam menyebarkan ilmu al-Quran. Hamzah ibn Habib al-Kufi (156 H.) memberikan otoritas qira'at ke Khalaf ibn Hisyam al-Bazzar (229 H.) maupun Khalad ibn Khalid (220 H.). Dan terakhir Ali ibn Hamzah al-Kisa'i (189 H.) memiliki dua perawi, yaitu Abu al-Harits (240 H.) serta al-Duri (perawi Abu 'Amr).

Syathibi kemudian membuat metodologi secara sistematis tentang kaidah yang dianut tujuh imam di atas. Semua tertulis dalam bukunya. Secara umum kandungan buku tersebut berisi dua pokok pembahasan. Pertama, kaidah yang diusung para Imam secara umum, meliputi idghom, mad, qosr, dua hamzah di satu kalimat maupun dua kalimat, memindah harakat hamzah ke lafal sebelumnya, waqaf, imalah, tarqiq dan taqlil. Kedua, perbedaan huruf. Pembahasan ini mencakup hampir seperempat isi kitab. Di dalamnya dikupas mulai surat al-Baqarah sampai surat"Al durrah Al Mudli'ah". Dalam karangannya al-Jaziri mengupas tiga Imam Qira'at selain tujuh di atas. Abu Ja'far; Yazid bin Al qa'qa' al makhzumi (128 H.) dengan perawi 'Isa ibn wardan (160 H.) serta Ibnu Jammaz; Sulaiman bin Muslim Al zuhri (170 H.). Ya'qub (205 H.) yang menjadikan Ruwais; Abu 'Abdillah Muhammad bin al-Mutawakkil (238 H.) dan ruh; 'Abu al Hasan bin 'Abd al-Mu'min (234/235 H.) sebagai perawi. Dan terakhir Abu Ya'qub Ishaq bin Ibrahim bin Utsman (286 H.) yang disandingkan Abu Hasan Idris bin 'Abdul al-Nass. Wewenang Ibnu Mujahid dalam membatasi tujuh qira'at di atas tampaknya di tentang Abu Syamah (665 H.). Senada dengan Abu Syamah, Al Jaziri juga (833 H.) menegaskan bahwa tiap variasi bacaan yang sama dengan kaidah bahasa Arab, tidak menyalahi aturan dengan mushaf Utsmani dan memiliki mata rantai sanad secara sah ke Rasulullah menjadi bacaan yang tidak boleh di tolak dan di ingkari. Salah satu pembuktiannya al-Jaziri juga mengikuti jejak al-Syathibi dengan menerbitkan tulisan berjudul Karim (292 H.). Keduanya menjadi perawi Khalaf (salah satu perawi Hamzah Imam Qira'at tujuh). Dengan berbentuk sya'ir al-Jaziri membuat sistematika penulisan yang hampir sama dengan al-Syathibi. Meskipun waktu terus berlalu namun telaah mengenai kajian ini sampai sekarang tampak tidak usang. Terbukti dengan menjamurnya ma'had-ma'had qiraah di seantero dunia.

Wallahu a'lamu bi al sawab.