Rabu, 08 Desember 2010

Studi beberapa variasi ayat Al qur'an terhadap hukum perdata ( al ahwal al syakhshiyyah )

prolog
Beberapa ayat al Qur'an yang berisi perintah, larangan atau kebijakan-kebijakan lain tersusun dengan menggunakan kalimat sederhana dan mudah dipahami. Syarat mutlak eksistensi kitab suci agar para pembaca memahami dengan jelas maksud maupun kandungan dalam mencari intisari sebuah ajaran meskipun hal ini tidak menafikan maksud lain yang dikodifikasi secara tersandi.

Beberapa bagian tersebut membahas hubungan antar manusia dengan bentuk khusus seperti pernikahan, warisan, dan hal-hal yang berhubungan dengan keduanya semisal talak, ruju', nafkah, pembagian harta gono gini dan lain sebagainya yang lazim dikenal dengan hukum perdata.

Ada kesulitan dari para ahli dimanapun dalam menentukan batasan-batasan tersebut secara tegas. Hal ini disebabkan karena asal muasal undang undang tersebut adalah memecahkan sengketa yang terjadi antara dua pihak. Tapi di sisi lain praktek yang terjadi seringkali melibatkan aspek lain seperti keuangan, nama baik seseorang, wakaf, baik yang menyangkut aturan dalam negeri atau praktek-praktek lain yang mengharuskan seseorang registrasi ke sebuah instansi.

Disinilah dilema tersebut yang sampai saat ini terus berputar. Di satu negara mungkin saja kasus uang khulu' masuk ke hukum keuangan karena memang bersinggungan langsung dengan uang bahkan menjadi salah satu bagian vital sebuah problem namun di negara lain bisa juga dikategorikan hukum perdata karena uang tersebut berakar dari perceraian antar suami istri yang menuntut suami menjatuhkan talak kepada istri atas uang kompensasi tersebut.

Mungkin akan sedikit bijak kalau kita menilik sumber primer kaum muslimin yang menjadi rujukan awal para ahli dalam membuat keputusan. Sebagaimana kita ketahui Al qur'an menyebutkan produk hukum yang terkadang satu kalimat memiliki perbedaan bacaan di antara para qari'. Seperti kalimat " واحدة " pada surat Al Nisa' ayat 3 dan 11. Sebagian orang membaca huruf ta' dengan nasab karena menjadi khabar " كان ". Versi ini juga menjadi standar bacaan yang berlaku di seluruh dunia pada saat ini dan diamini mayoritas kaum muslim. Namun kenyataannya ada perbedaan di antara cendekiawan muslim dengan di atas. Versi tersebut adalah bacaannya Abu Ja'far yang membaca ta' di atas dengan rafa'.

Meninjau beberapa variasi ayat di dalam hukum perdata
Kebanyakan produk hukum yang ada di dalam Al qur'an berada pada Surat Al Baqarah yang menjadi surat-surat Madaniyyah. Aturan perundangan yang ditujukan kepada kaum muslimin tersebut seringkali ayat-ayatnya memiliki variasi di antara para cendekiawan. Penetapan hukum di Madinah memang sangat tepat karena pada saat itu kondisi sosial politik relatif stabil dibandingkan Makkah. Sikap masyarakat Yatsrib yang terbuka terhadap masyarakat luar menjadikan ajaran Rasulullah lebih cepat berkembang sehingga tanpa tempo yang relatif panjang upaya membumikan pun tercapai.

1. Surat Al Baqoroh ayat 233
Pada ayat 233 yang berbunyi " لا تضار والدة بولدها " ada perbedaan Ulama' dalam memberi harakat ra' meskipun semuanya sepakat mentasydid dan memanjangkan mad. Ibnu Katsir, Abu Amr, Ya'qub membaca dengan rafa'. Sedangkan Nafi', Ibnu Amir, Asim, Hamzah, Kisai membaca dengan nasab. Perbedaan tersebut tejadi karena melihat adanya idgham pada ra' yang awal dengan yang kedua.

Ulama yang membaca rafa' mengasalkan kalimat tersebut dari dua ra' dengan membaca ra' pertama secara kasrah dan ra' kedua secara dlommah. Berbeda dengan golongan yang membaca nasab mengasalkan ra' pertama secara fathah dan ra' kedua secara sukun.

Versi pertama menetapkan kalimat tersebut adalah kata kerja dari tempo sekarang ( fi'il mudlori' ) yang menjadikan istri sebagai subyek. Secara kasar petikan ayat di atas bisa kita maknai " tidaklah seorang ibu mendapatkan dlarar ". Versi kedua hampir memiliki makna serupa dengan pertama akan tetapi ada makna lain yang berbeda dengan kalimat pertama yaitu larangan yang tersimpan dalam penggalan tersebut.

Seruan yang ditujukan pun mengarah ke dua personal berbeda. Tafsiran pertama menyerukan kepada ibu dan menghendaki pemahaman bahwa saat dia mendapatkan kemudlaratan dari ayah tidak boleh membalas perlakuan tersebut kepada anak. Dengan kata lain tindakan kriminal yang dilakukan kepada orang lain tidak boleh terjadi hanya karena orang tersebut telah mendapatkan perlakuan criminal dari orang lain.

Sedangkan sasaran versi kedua memiliki arti lain dari pendapat awal. Mereka ( Ulama'-Ulama' penafsir ) mengartikan seruan yang terkandung dalam kalimat tersebut berlaku kepada seorang suami. Dia tidak boleh melakukan kekerasan kepada istri yang bisa mengakibatkan istri tersebut mengabaikan kewajibannya dalam menyusui bayi maupun memberikan kasih sayang kepada anak.

Secara sekilas hampir tidak ada perbedaan mencolok diantara dua penafsiran di atas namun ada karakteristik hukum yang timbul dari keduanya semisal saat dihadapkan pada kasus seperti ini. Ada istri yang mengadu kepada hakim meminta cerai dari suaminya karena suami tersebut tidak memberi nafkah lahir kepadanya. Suami tersebut kemudian bersikukuh kepada hakim mengenai kelalaian istri tersebut yang tidak menyusui si bayi sehingga alasan dari pihak suami untuk tidak memberi nafkah bisa dikatakan logis.
Berpijak dari pendapat pertama maka sang Hakim tidak boleh membenarkan gugatan dari istri karena telah mengindahkan seruan Al Qur'an agar tidak melakukan dloror kepada bayi dan dari sini kita menyimpulkan bahwa sang suami menang. Namun bukan berarti sang suami lepas sepenuhnya dari tuntutan tersebut karena mungkin saja gugatan istri justru dimenangkan dengan memandang nash-nash lain yang menguatkan posisi istri.

Kasus tersebut sedikit berubah tatkala kita memandang tafsiran kedua. Si suami kalah dan si istri dimenangkan Hakim dalam tuntutannya berdasarkan ayat di atas yang menyeru kepada suami agar tidak melakukan tindakan salah seperti apapun kepada istri. Hal ini -sebagaimana di atas- juga bukan berarti menutup peluang suami untuk memenangkan kasusnya, mungkin saja ada peluang untuk menang dengan menimbang dalil-dalil lain yang melarang seorang istri melalaikan kewajibannya sehingga hal itu berbuntut kepada tindakan suami.

Poin penting dari pemahaman di atas adalah larangan melakukan dloror kepada orang lain meskipun secara keseluruhan penulis lebih memilih tafsiran pertama. Namun bukan berarti penulis tidak setuju secara mutlak dengan tafsiran kedua. Ada kalanya alasan yang diutarakan suami jauh lebih tepat daripada tuntutan yang diungkapkan istri, semua kembali kepada kebijaksanaan Hakim dalam menanggapi dua bagian tersebut. Hakim harus di tuntut hati-hati dalam menimbang dan menilai masalah. Pun tidak lupa efek dloror yang diterima kedua belah pihak agar tidak terjadi kesenjangan dalam memutuskan masalah.

2. Surat Al Baqarah ayat 229
Penggalan ayat lain yang memiliki perbedaan bacaan adalah ayat 229. Secara khusus potongan tersebut berbunyi :

ولا يحل لكم أن تأخذوا مما آتيتموهن شيأ إلا أن يخافا أن لا يقيما حدود الله

Titik konsentrasi perbedaan tersebut ada pada kalimat " إلا أن يخافا " yang ya' nya dibaca dengan menggunakan mabni ma'lum ( kata kerja aktif ) dan kalimat sesudahnya yang berbunyi " أن لا يقيما " menjadi maf'ul bih. Susunan ini memberi makna bahwa khouf ( ketakutan ) yang memperbolehkan seorang laki-laki untuk menerima harta dari istri adalah saat hal tersebut keluar dari dua belah pihak. Dengan makna lain sang suami takut tidak menunaikan kewajibannya sehingga sang istri kemudian menderita begitu juga sebaliknya sang istri takut melanggar kewajiban yang diembannya sehingga memberi tebusan kepada suami sebagai talak yang dijatuhkan kepadannya.

Sebagian Ulama' lain seperti Hamzah, Abu Ja'far dan Ya'qub membaca dengan kalimat " يخافا " ya' nya terbaca dengan mabni majhul dan kalimat sesudahnya menjadi penguat kalimat sebelumnya. Penggalan kaliamat ini hampir sama dengan makna di atas bahwa sebuah tebusan yang di terima seorang suami dari istri sebagai talak adalah saat keduanya takut dalam melalaikan tugas masing-masing.

Tidak ada perbedaan mencolok di antara kedua peafsiran di atas. Semua bacaan tersebut mengharuskan adanya khouf saat seorang istri meminta talak kepada suami. Perbedaan yang mendasar adalah tafsiran pertama menghendaki suami istri tersebut sebagai subyek yang sedang mengalami ketakutan dalam menjalankan perintah Allah sedangkan tafsiran yang kedua memberi artian bahwa pensyaratan wujudul khouf berasal dari Allah yang diberikan kepada mereka berdua saat keduanya takut dalam menjalankan amanat Allah.

Memang benar tidak ada perbedaan yang mencolok di antara dua penafsiran di atas tetapi hal yang perlu di ingat adalah penafsiran tersebut memiliki perbedaan dalam mengambil sebuah hukum saat kalimat tersebut bersinggungan dengan kalimat pengecualian yang jatuh sebelumnya yaitu " إلا ".

Dalam gramatikal arab kalimat tersebut dikenal dengan istilah istitsna'. Kalimat pengecualian tersebut memiliki dua macam, muttasil dan munfasil. Pengertian yang pertama adalah sebuah susunan kalimat pengecualian dengan memasukkan kalimat yang dikecualikan ( mustatsna / mustatsna alaih ) sebagai bagian dari yang mengecualikan ( mustatsna minhu ). Sedangkan pemahaman yang kedua adalah susunan pengcualian dengan tidak memasukkan kalimat yang dikecualikan ( mustatsna / mustatsna alaih ) sebagai bagian dari kalimat kalimat yang mengecualikan ( mustatsna minhu ).

Diferensiasi ini kemudian mengakibatkan perbedaan pemahaman dalam menetapkan khulu', apakah poin tersebut harus terjadi saat dua pasutri tersebut dalam keadaan takut ataukah cukup dengan perasaan takut yang lahir pada salah satunya atau mungkinkah tanpa ada perasaan takut seorang istri boleh memberikan harta kepada suaminya sebagai tebusan atas talak yang diterimanya. Al Azhary, Al Nakho'i dan Daud Al Dlohiri berpendapat bahwa harus ada rasa ketakutan yang timbul pada diri seorang istri sehingga perasaan tersebut menyebabkan keinginan yang kuat dari dalam dirinya untuk berpisah. Sedangkan sebagian besar Fuqaha' menyatakan tidak ada keharusan bagi seorang istri akan hal hal tersebut. Jadi manakala ada keinginan kuat dari dalam dirinya, syara' membuka pintu selebarnya untuk berpisah. Mereka menegaskan pada firman Allah yang lain

فإن طبن لكم عن شيئ منه نفسا فكلوه هنيئا مريئا

3. Surat Al Baqarah ayat 240
Ayat tersebut berbunyi :

والذين يتوفون منكم ويذرون أزواجا وصية لأزواجهم متاعا إلى الحول غير إخراج

Kalimat " وصية " di atas punya dua variasi bacaan. Sebagian orang membaca dengan rafa', dan sebagian lagi dengan nasab. Bagi orang yang membaca rafa' ada beberapa i'rob yang memungkinkan pada kalimat tersebut. Pertama, kalimat " وصية " menjadi mubtada' dan " لأزواجهم " khobar. Secara umum memang status subyek bersifat khusus seperti contoh " Muhammad pergi ke pasar " namun ada juga kasus-kasus tertentu yang memperbolehkan subyek berasal dari kalimat-kalimat umum dengan maksud dan tujuan tujuan tertentu, dalam ayat di atas adalah menjadikan wasiat hanya khusus pada pasangan hidup mereka. Kedua, kalimat " وصية " menjadi mubtada' dan khobarnya terbuang. Konsep seperti ini banyak digunakan di susunan bahasa manapun bahkan bahasa Indonesia sekalipun. Salah satu contoh kongkret semisal ada pertanyaan dari seorang guru " siapakah yang absen pada hari ini ? ", si murid cukup menjawab satu nama yang absen seperti " Soleh ". Toh semestinya jawaban yang komplit adalah " soleh yang absen ". Tentu saja penghapusan seperti ini harus ada kepahaman dari dua belah pihak agar semuanya sama-sama mengetahui maksud dan tujuan ucapan yang diungkapkan. Ketiga, kalimat " وصية " menjadi khobar dari mubtada yang dihilangkan. Poin ini sama dengan poin kedua hanya saja penghapusan yang terjadi di sini adalah subyek, berbeda dengan kedua yang mengalami penghapusan pada prediket. Penghilangan ini dalam bahasa Indonesia sebagaimana jawaban seseorang yang cukup dengan " di pasar " saat diberi pertanyaan " dimanakah Muhammad ? " karena pada dasarnya asal mula jawaban tersebut berupa " Muhammad ada di pasar ". Berhubung yang ditanya sudah mafhum dengan pertanyaan maka lontaran jawaban pun juga sudah cukup tanpa menggunakan Muhammad.

Masih ada alasan alasan lain mengenai kemungkinan penulisan harakat pada kalimat tersebut selain tiga macam di atas. Namun tampaknya tiga i'rob di atas sudah cukup menjawab kebingungan yang terjadi manakala kita memaknai secara harfiah susunan kalimat pada ayat di atas karena sisi yang paling penting dari sini adalah memahami makna dengan menyeluruh.

Ayat 240 dari surat Al Baqarah memiliki pembahasan yang panjang seputar hukum. Sebagian besar orang menyatakan ayat tersebut dimansukh dengan ayat 234 dari surat yang sama. Mereka menyatakan bahwa praktek tersebut adalah kebiasaan yang dianut masyarakat Jahiliyah dan sempat dipakai pada masa awal umat islam. Berhubung ada ayat lain yang berbeda dengan ayat tersebut yang kedudukannya menghilangkan konsepsi tradisi maka mereka kemudian memilih ayat 240 untuk dinonaktifkan pemakaiannya meskipun sebenarnya masih ada jalan lain untuk menggabungkan dua dalil tersebut dengan mengarahkan maksud masing masing kea rah yang berbeda.

Selain itu, para Ulama jug memiliki pandangan yang berbeda mengenai makna wasiat. Sebagian orang menganggap makna tersebut adalah harta dan nafkah selama setahun, sebagian yang lain menafsiri dengan memberi tempat tinggal selama setahun. Berangkat dari kalimat " إلى الحول " kiranya kedua pemahaman tersebut bisa saja masuk kedalam keumuman yang terkandung pada kalimat " حول " atau dengan kata lain kata haul yang ditulis tanpa qoyyid memberi pemahaman secara umum yang akan memasukkan dua maksud di atas.

Walaupun penggalan ayat ini berimplikasi terhadap hukum yang memiliki perbedaan di antara para Ulama' hampir kesemua hukum tersebut tidak ada yang berasal dari i'rob pada kalimat " وصية ". Karena tujuan utama kalimat tersebut adalah mewajibkan wasiat ( sesuai penafsiran di atas ) pada istri mereka saat suami mereka meninggal selama satu tahun meskipun ada perbedaan harfiyah pada salah satu kalimat tersebut.

4. Surat Al Baqoroh ayat 236 dan 237
Ayat 236 dan 237 adalah dua ayat berbeda yang memiliki hubungan erat di antara keduanya. Ayat pertama ( Al Baqarah 236 ) menyiratkan secara umum kebolehan seorang suami terhadap istri selama belum disetubuhi meskipun suami tersebut tidak menyebut mahar pada saat akad. Keterangan ini seakan menjelaskan larangan Rasulullah atas menikah yang hanya didasari dengan mengikuti hawa nafsu bahwa menikah yang dianjurkan adalah menikah dengan niat baik meskipun seorang lelaki setelah menikah akan melakukan larangan yang tidak diperbolehkan sebelumnya namun sah setelah menikah, bahkan hukum tersebut diperbolehkan secara mutlak ( baik si istri belum atau menerima mahar ).

Ayat kedua menerangkan tentang status mahar yang disebutkan si suami secara jelas pada waktu akad. Pada kasus ini saat suami mentalak istri dan belum pernah menggauli sama sekali ada aturan khusus menganai batasan mahar yang boleh diambil suami. Batasan tersebut adalah setengah dari jumlah keseluruhan mahar. Jadi si suami tidak boleh mengambil lebih banyak dari setengah seperti dua pertiga, tiga perempat, empat perlima kecuali si istri merelakan pengambilan tersebut.

Pada dua ayat ini ada kalimat yang memiliki perbedaan di antara para cendekiawan. Kalimat tersebut adalah " تمسوهن " yang dibaca Hamzah dan Ali Al kisa'i dengan " تماسوهن ". Padanan ini merujuk pada kalimat " مفاعلة " yang memiliki makna asal muthowa'ah, yaitu sebuah kegiatan yang dilakukan seseorang dan mendapat respon serta balasan dari orang lain.

Kelemahan bacaan mayoritas adalah kalimat tersebut menunjuk kepada perbuatan yang dilakukan satu orang, padahal aktifitas hubungan sumi istri dilakukan oleh kedua belah pihak sehingga kalau kalimat tersebut dipaksakan maka akan merubah makna asli menjadi metafora.

Kelemahan lain adalah implikasi terhadap hukum karena secara nalar tidak mungkin syara' menangguhkan hukum iddah hanya kepada menyentuh sedangkan sentuh menyentuh adalah sebuah keniscayaan yang tidak mungkin dihilangkan. Karena hal tersebut maka upaya memaknainya harus dengan melarikan makna asal ke makna yang yang mirip yaitu hubungan suami istri.

Bacaan Hamzah yang berupa " تماسوهن " memang cukup pas dengan konteks iddah yang diterima wanita sesudah talak meskipun tidak secara penuh karena kalimat tersebut tidak mengalami perubahan secara frontal. Perubahan tersebut hanya berkutat seputar perbuatan yang dilakukan satu orang menjadi dua orang atau beberapa orang dan tidak merubah makna asal kecuali kalimat tersebut dijadikan kalimat majas.

Hampir semua kalimat " تمسوهن " memiliki versi lain di semua ayat Al qur'an, satu contoh lain seperti pada surat Al Ahzab ayat 49

ياأيها الذين آمنوا إذا نكحتم المؤمنات ثم طلقتموهن من قبل أن تمسوهن

Pada surat Ahzab tersebut Hamzah dan Kisa'i juga membaca dengan panjang sesudah huruf mim. Persamaan yang ada di surat-surat lain juga sebagaimana yang terdapat pada surat Al Baqarah bahwa perbedaan bacaan tidak menyebabkan perbedaan hukum kecuali pada ayat tersebut mengalami naskh atau di jelaskan dengan ayat-ayat lain.

Pandangan Ulama' pada surat Al Baqarah ayat 236 justru terletak pada kalimat sesudahnya yaitu " ومتعوهن ", ada kontroversi seputar dalalah pada kalimat tersebut. Sebagian orang menilai bahwa pemberian mut'ah adalah wajib karena melihat makna asal sebuah perintah. Alasan lain adalah kalimat-kalimat sesudahnya yang berbunyi " على الموسع قدره وعلى المقتر قدره ", maksudnya yaitu setiap orang mempunyai kadar masing-masing yang disesuaikan dengan kemampuan mereka sendiri baik orang tersebut kaya atau miskin. Sebagian yang lain menyatakan bahwa pemberian tersebut tidak wajib dan secara otomatis tentu saja makna dari perintah tersebut adalah sunnah atau nadb. Mereka mendasarkan argumennya pada kalimat yang jatuh sesudahnya yaitu " حقا على المحسنين ".

5.Surat Al Nisa' ayat 12
Al qur'an memisahkan harta wasiat dan harta warisan. Persamaan dari keduanya adalah harta tersebut berasal dari si mayit yang diberikan setelah mayit tersebut meninggal. Perbedaannya adalah harta wasiat diperuntukkan kepada selain ahli waris sedangkan harta warisan hanya dikhususkan kepada ahli waris. Ayat ini menerangkan bagian warisan yang diterima ahli waris dari mayit setelah pembagian harta wasiat.

Titik fokus yang menjadi konsentrasi pembahasan ini adalah frase

فإن كان رجل يورث كلالة أة امرأة وله أخ أو أخت

Salah satu perhatian penting pada kalimat tersebut adalah " يورث " yang dibaca mayoritas dengan pasif ( mabni majhul ). Pada versi ini minimal ada dua makna yang keluar dari sini. Perbedaan versi tersebut terjadi karena perbedaan makna kalalah di kalangan para ahli yang memberi penafsiran kalimat tersebut dengan harta maupun mereka yang memaknainya dengan individu. Hal yang sama juga terjadi saat " يورث " dibaca dengan aktif ( mabni ma'lum ).

Yang dimaksud saudara laki laki atau saudara perempuan pada barisan di atas adalah saudara seibu. Pengambilan makna ini bukan tanpa sebab, para penafsir memiliki kecocokan dengan bacaan salah satu sahabat Nabi Ubay bin Kaab dengan versi

وله أخ أو أخت من الأم

Variasi sama juga terjadi pada bacaannya Saad bin Abi Waqqash yang berbunyi

وله أخ أو أخت من أم

Berangkat dari bacaan asing sebagaimana di atas Abi Hayyan kemudian mendakwa Ijma' dari para mufassirun tentang makna saudara laki-laki/saudara perempuan. Hal senada tentang pendakwaan tersebut juga berasal dari cendekiawan lain yang menutup penafsiran selain dari saudara seibu.

Hal ini bukan berarti memberi pemahaman bahwa qiraat syadz bisa menjadi rujukan secara mutlak karena hal ini akan bertentangan dengan tipologi Al Qur'an itu sendiri. Namun bacaan tersebut memiliki peran layaknya hadis nabawi yang menjelaskan keumuman kalimat Al Qur'an dengan menambahkan potongan kalimat lain sehingga maksud tertentu frase tersebut menjadi lebih jelas.

Karena kedudukannya yang seperti hadis ahad pada beberapa kasus tidak semua sarjana muslim sepakat pada dengan maksud sebuah ayat yang memiliki penambahan atau perubahan tersebut. Terkadang mereka memilih keumuman ayat yang jauh lebih fleksibel dengan maksud dan kehendak sang penafsir sendiri. Sebagian lagi lebih memilih dalil lain sebagai tempat berpijak mengingat kemungkinan dalil tersebut lebih kuat menurutnya.

Perbedaan pengambilan hukum tersebut selain potongan surat Al Nisa' ayat 12 di atas. Semua Ulama' sepakat maksud dari " وله أخ أو أخت " adalah saudara seibu dengan mengambil pemahaman tersebut dari bacaan-bacaan asing versi Ubay dan Saad. Bacaan tersebut dimasukkan hadis ahad yang hanya digunakan saat tidak penjelasan ayat Al qur'an yang mutawatir maupun hadis Nabawi mutawatir dan Msyhur. Sebuah alasan logis mengingat bacaan asing tersebut bisa jadi hanya pendapat mereka sendiri yang tidak diasalkan dari sabda Nabi.

Epilog
Hukum perdata dalam alam sadar masyarakat Indonesia memiliki pemahaman muamalah secara umum, namun hukum perdata pada tulisan ini hanya dikonsentrasikan pada hubungan suami istri dan permasalahan permasalahan yang berhubungan dengan keduannya. Penyebabnya adalah terbatasnya terma akhwal syakhsiyyah pada hal hal tertentu yang menyebabkan konsep tersebut sedikit mengecil dibandingkan dengan fakta yang terjadi di Indonesia.

Ada banyak ayat yang bersinggungan dengan hukum perdata dan memiliki variasi kalimat selain ayat ayat di atas. Perubahan kalimat yang terjadi pada ayat tersebut tidak hanya i'rob namun juga asal derivatif kalimat tersebut, seperti kalimat " العفو " ( Al baqarah : 215 ) yang dibaca rafa' dan nasab, kalimat " يطهرن " ( Al Baqarah : 222 ) yang tho' nya di sukun dan tasydid, kalimat " كرها " ( Al Nisa' : 19 ) yang kaf nya di fathah dan di dlommah, kalimat " أحصن " ( Al Nisa' : 25 ) yang dipakai secara aktif dan pasif, kalimat " تساءلون " yang sin nya di tasydid maupun tidak, kalimat " الأرحام " yang mim nya di fathah maupun di kasrah ( dua ayat terakhir terletak di surat Al Nisa' : 1 ), dan masih banyak lagi kalimat-kalimat lain yang tidak mungkin disebutkan secara menyeluruh.

Variasi kalimat yang disebutkan di atas banyak juga yang menyebabkan lahirnya perbedaan deskripsi. Tetapi kenyataannya semua perbedaan tersebut sama sekali tidak menimbulkan perbedaan pemahaman sehingga hukum yang lahir pun memiliki makna yang tidak sama. Surat Al Baqarah ayat 233 memiliki perbedaan kalimat yang berimplikasi pada perbedaan gambaran di sebuah ayat, namun hal tersebut sama sekali tidak menimbulkan perbedaan hukum sehingga poin hukum tersebut pun tetap. Surat Al Baqarah ayat 229 perbedaan hukum pada salah satu kalimatnya yang mengakar dari kalimat " إلا " dengan menggolongkan kata tersebut ke " متصل " atau " منقطع ". Surat Al Baqarah ayat 240 yang melahirkan ide ide beragam dari sebagian besar cendekiawan memiliki variasi pada salah satu ayatnya, namun ide tersebut bukan menjadi sebuah konsekuensi dari variasi ayat meskipun kalimat yang bersangkutan memiliki efek besar terhadap pemahaman ayat, hal sama juga terjadi pada ayat 236/237. Bahkan bacaan syadz sekalipun pada kasus warisan tidak memberi pengaruh terhadap perbedaan terminologi yang menyebabkan hukum berbeda, justru dengan melihat kasus di atas posisinya tidak lain hanyalah penjelas dari mutawatir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar