Selasa, 13 Januari 2009

Resensi Buku

MASYARAKAT MADANI,

DISKURSUS URGENSITAS CIVIL SOCIETY

Semua pemerintahan di dunia memiliki keanekaragaman system. Banyak di antaranya berisi tipologi yang berkaitan erat dengan lingkungan, watak, maupun warisan budaya setempat. Pengaruh tersebut dapat kita lihat dalam komunitas berskala makro. Lahirnya komunisme pada saat perang dunia pertama sangat dipengaruhi marxisme. Munculnya nazi di jerman juga di awali dengan kediktatoran Hitler. Sebuah sikap yang mencerminkan watak subyek masyarakat. Contoh lain pun tercakup secara mikro. Sifat-sifat social seperti tenggang rasa, setia kawan, dan kepedulian sesama individu sangat akrab di masyarakat pedesaan dibandingkan kaum perkotaan borjuis metropolis dengan sikap hedonis. Semua corak di atas menjadi gambaran system birokrasi social yang beradaptasi dengan individu public. Meskipun di sebagian tempat muncul tangan besi seorang penguasa berwajah dingin, namun pada dasarnya hampir semua pemimpin memiliki tujuan sama, adalah melahirkan komunitas ideal nan makmur. Walaupun tidak sedikit factor eksternal dan internal yang pada akhirnya merubah tipikal figur pemipin sejati.

Melihat pertarungan sejarah, demokrasi pada akhirnya mengalahkan komunis. Melalui hancurnya tembok berlin dan runtuhnya Uni Soviet, Amerika maupun Negara sekutunya mengumandangkan kemenangan besar yang tersaji lewat isu-isu global berikut pengaruhnya ke seluruh dunia. Peperangan dua kubu besar pada dasarnya sudah di mulai jauh sebelum perang dunia meletus. Konsep pemikiran yang dilontarkan semisal Thomas Hobbs, John Lock, J.J. Rousseau, kemudian menjadi embrio pemerintahan demokrasi yang dipakai Amerika serta sekutu-sekutunya. Begitu sebaliknya, wacana yang diusung Karl Marx ataupun kroni-kroninya juga menjadi pondasi terbentuknya Uni Soviet yang disadap RRC saat perang dunia pertama.

Demokrasi sebagai label dunia barat ternyata menarik untuk dikaji. Sebagai ideology modern, demokrasi menyimpan nilai-nilai social hingga pada akhirnya mampu diterima berbagai kalangan sampai saat ini. Sebuah perjalanan panjang yang tidak mungkin berdikari melainkan bersentuhan aspek lain. Ibarat dua saudara kembar demokrasi sangat berkaitan erat dengan esensi kehidupan civil society. Lazimnya buku-buku pemikiran sosial, penulis mengungkap sejarah demokrasi serta merunut terma civil society maupun dimensi-dimensi yang melingkupinya secara umum. Sepanjang perjalanannya, pengertian civil society mengalami pasang surut mengekor ruang dan waktu dimanapun istilah tersebut berada. Eksistensi masyarakat dunia saat ini yang terlalu majemuk plus transformasi kebudayaan juga mengakibatkan keanekaragaman pemahaman hingga tidak jarang pendistorsian makna dari substansi sesungguhnya.

Kompleksitas terminologi civil society juga menjadi problematika tersendiri dalm kancah dunia politik. Secara rinci, dalam bab tiga penulis membagi empat musykilah artian civil society versi masyarakat arab kontemporer. Pertama, Kesulitan sebagian cendekiawan menerima makna yang diusung sarjana barat. Sebagian dalih bermula dari ketakutan saat pengikut civil society memenangkan ideology mereka. Alasan tersebut cukup masuk akal mengingat perseteruan islam versus barat berlangsung sangat lama, maka sangat wajar di lain waktu dan tempat musuh-musuh barat mengambil sikap oposisi sebagai aktualisasi ketegangan di antara mereka. Selain faktor diatas, ada tiga unsur lain yang melatarbelakangi penegasan problematika istilah diatas secara khusus, ekonomi kapitalis, ideology teologis, dan politik demokratis. Ketiga-tiganya sering kali menjadi penopang kesuksesan wacana civil society meskipun tidak menutup kemungkinan hasrat tersembuyi dalam upaya jajanisasi slogan tersebut dengan membingkai lewat kado konsep pemikiran. Kedua, Interaksi makna dengan politik. Tuntutan permainan politik untuk mendapatkan kemauan akan menghalalkan cara apapun. Kerap juga lewat penggunaan lughah terucaplah makna atas artikulasi kasus baru. Lambat laun, makna tersebut dipakai oknum politik dalam menjalankan keinginan mereka. Kemudian pada akhirnya banyak orang meletakkan arti masyarakat madani ke baju politik. Namun langkah tersebut terganjal oleh sebagian pemikir lain yang menyandingkannya ke panggung sosial kemasyarakatan. Kedua pendapat tersebut pun belum final, karena ada lagi golongan-golongan lain yang memberi makna lebih umum dibandingkan keduanya melihat maksud dan tujuan. Ketiga, Intervensi makna demokrasi dengan nilai civil society. Secara sekilas akan nampak ruh masyarakat madani menyatu dengan kerangka teoritis demokrasi. Sikap sebuah masyarakat dengan mengembangkan kebebasan individu maupun golongan, melestarikan kemerdekaan tiap orang, menghormati hak maupun kewajiban makhluk merupakan cerminan masyarakat madani. Namun di satu sisi pemahaman tersebut menyebabkan pemerkosaan atas demokrasi atau sebaliknya. Efeknya tercermin pada keadaan negara yang memiliki system politik atau kerangka demokratis secara kelembagaan walaupun kehidupan didalamnya tidak kondusif. Keempat, sepanjang perjalanan, civil society memiliki bagian-bagian penunjang. Sebuah fungsi yang menjadi dinamisator stabilitas kelangsungan rakyat dan pemerintahan. Sebagian penunjang kadang berisi permasalahan yang principal, sehingga perkembangan isu-isu praksis maupun teoritis tetap eksis sampai sekarang. Semisal teori terbentuknya Negara, partai-partai politik, atau peraturan perundang-undangan. Oleh sebagian kalangan timbul kekhawatiran ketidakberdayaan Negara miskin atau berkembang mengadopsi pemikiran perihal ketidaksiapan sebuah Negara memandang perangkat yang melingkarinya.

Penulis juga berusaha melacak akar substansi teori civil society. Berbekal penelitian secara mendalam dapat disimpulkan beberapa poin-poin penting seputar wacana-wacana kontemporer. Posisinya yang diakui secara urgen bahkan tidak mengandung unsur pengekangan atas kapitalis. Karena secara prinsip maupun akal upaya pembebasan berbagai macam corak perdagangan apapun sangat dimungkinkan selama tidak mengganggu nilai-nilai civil society yang telah terpatri dalam masyarakat. Terwujudnya masyarakat madani tidak mungkin terjadi melainkan telah lahir unsur-unsur penting dalam masyarakat. Salah satu bagian yang telah diakui orang-orang barat plus non barat adalah upaya tiap person dalam mengkristalisasi kekuatan sehingga mncullah satu gelombang komunitas dengan bagian-bagian majemuk yang mampu diterima semua kalangan. Namun sayang telaah kesejarahan etimologi atau epistemology dari penulis kurang luas dan hanya berkisar pada saat lahirnya demokrasi zaman renaissance maupun aufklarung. Penulis juga menyajikan seputar problematika masyarakat arab, toh kenyataannya umat islam tidak terbatas di kawasan arab. Terakhir, solusi kesulitan yang diutarakan penulis juga terkesan apriori, terbatas dan kurang kaya dalam memasukkan riset pemikir barat atau sarjana-sarjana lain.

Semoga dengan ini cakrawala kita bertambah luas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar