Senin, 12 Januari 2009

POTRET HANABILAH

  1. POTRET HANABILAH[1]
  2. Oleh : Ahmad aniq munir [2]
  1. A.Pembukaan
  2. Allah S.W.T menganugerahkan akal kepada manusia yang membuatnya bisa berpikir. Hasil pemikiran manusia tertuang dalam kebudayaan dan pengetahuan. Sejarah telah membuktikan bahwa akal menjadi sumber aneka ragam kebudayaan maupun pengetahuan yang telah ada di muka bumi. Tidak hanya filsouf, sastrawan maupun cendekiawan yang telah sukses menggunakannya akan tetapi banyak sekali pemikir muslim dari teologi sampai fiqh yang nmenjadikan akal sebagai ujung tombak pemikiran mereka.
  3. Peranan akal juga masuk ke dalam wilayah teks yang berinteraksi dengan ilmu logika, kemudian lahirlah usul fiqh yang menjadi kerangka dalam beristimbath. Mayoritas Ulama' hanafiyah, Syafi'iyah, malikiyah maupun hanabilah memakai perangkat ilmu ini dalam menggali dasar sebuah hukum. Kesemuanya memiliki karakteristik tersendiri saat memahami nash-nash Al qur'an. Abu Hanifah terkenal dengan penggunaan nalar subyetif sehingga kebanyakan produk hukumnya bersifat logis. Imam Malik hidup diantara murid-murid Rasulullah di Madinah. Maka tidak heran hasil keputusan hokum yang dikeluarkan terkesan mengikuti jejak adat ahl al madinah. Berbeda dengan Imam Syafi'i. Keasyikannya melanglang buana hingga ke kufah pada akhirnya menciptakan konsep kajian baaru dan ditulis dalam bukunya al risalah. Ketiga warna-warni pemikir di atas dilengkapi dengan lahirnya Ahmad bin Hambal. Sosok yang sangat akrab sebagai tokoh Muhaddits, meskipun kita tidak menafikan kiprahnya dalam dunia fiqh. Bahkan, keempat Madzhab di atas, hanya jumhur Ulama' hanabilah yang mengatakan secara gambling pintu ijtihad masih terbuka[3]. Salah satu wacana yang menuntut transformasi paradigma dunia intelektual umat islam.



  4. B.Sepintas telaah historiograf.
  5. Imam Ahmad termasuk sosok yang gemar berpetualang. Semasa mudanya, tidak sedikit kota-kota besar menjadi persinggahan sekaligus tempat bernaung atas dahaga ilmu pengetahuan. Mulai dari sebelah utara kufah, basrah, syam, makkah, madinah, sampai barat Jazirah arab yaman. Dari perjalanannya tidak sedikit kaum muslimin menuntut ilmu dan menjadi ashabul hanabilah. Salah satunya berasal dari darah dagingnya sendiri bernama Soleh bin ahmad (w 266 H)[4]. Rekan kompatiotnya adalah Abdullah bin ahmad ( w 290 hijriyah), Hambal bin ishaq (w 273 hijriyah), Ibrohim bin ishaq al harbi ( w 285 H), Ahmad bin Muhammad bin hani' abu bakr al atsram (w 260 /261 /273 H), ahmad bin Muhammad bin al hajjaj abu bakr al marwadzi ( w 270 H)[5]. Nama di atas merupakan murid-murid ahmad bin hambal yang hidup sejaman dengannnya. Peran serta mereka di kemudian hari menjadi bibit-bibit unggul atas pergerakan fiqh madzhab Hanabilah.
  6. Setelah Imam Ahmad meninggal lahirlah Ahmad bin Muhammad bin harun Abu bakr Al khallal (w 321 H). Beliau berguru kepada murid-murid Imam Ahmad seperti Soleh bin Ahmad, Abu Zar'ah Al Dimasyqi serta Al Marwazi yang diikutinya sampai meninggal. Al Khallal menjadi figur sentral trnsformasi madzhab. Pembenaran tersebut terapresiasi lewat karya-karyanya. Pada saat inilah dimulai pembukuan fiqh Imam Ahmad sehingga tidak heran hampir semua kitab fiqh Hanailah era sekarang merujuk atas buku ini. Bahkan, Ibnu Qoyyim sendiri berkata "Al khallal mengarang kitab fiqh madzhab hanabilah sampai dua ratus juz". Kebanyakan 'Ulama' berpendapat bahwa Al khallal merupakan tokoh pertama dalam pengumpulan fiqh madzhab hanabilah. Beliau mengajarkan fiqh madzhab hanabilah di masjid Al mahdi, Baghdad. Sosok panutan semisal Al Khallal kiranya mendapat tempat di hati sanubari anak didiknya. Hingga pada akhirnya, murid-murid Al khallal mampu menjalankan tugas ganda di pundak mereka. mereka tidak hanya belajar epistemologi madzhab hanabilah akan tetapi banyak dari mereka yang ikut andil menyebarkan madzhab ke penjuru negeri.
  7. Al khallal mempunyai dua murid hebat. Umar bin Al Husain Abu Al Qosim Al Kharqi dan Abd Al Aziz bin Ja'far terkenal dengan sebutan ghulam al khallal[6]. Keduanya memiliki karakteristik berbeda dalam rangka pembangunan kehidupan sebuah mandzhab. Di mata para cendekiawan fiqh, murid kedua (ghulam al khallal) merupakan orang yang paling teguh dalam memegang madzhab Imam Ahmad. Kenyataaan tersebut nampak sekali dalam bersikap. Ghulam al khallal juga memiliki panggilan kunyah Abu bakr. Ketelatenannya dalam meneladani Al Khallal melahirkan produktivitas dalam menulis. Salah satu karangannya berjudul Al syafi, Al tanbih, zad al musafir. Selain dua nama di atas, Al khallal juga memiliki murid lain yang tidak kalah dalam berkiprah dibandingkan saudara seperguruan lain. Adalah Al kharqi, yang menjadi penulis buku mukhtasor al khorqi. Pada saat kaum qoromithoh (salah satu sekte syi'ah) menyerang makkah madinah dan mengambil hajar aswad dari tempatnya, al kharqi menitipkan karangannya di rumah ibn sulaiman. Namun sayang, kemudian rumah tersebut terbakar dan musnahlah semua karangannya kecuali satu kitab di atas. Kitab ini merupakan kitab yang paling penting dalam sejarah madzhab hanabilah, karena itu tidak sedikit Ulama' yang mensyarahi kitab tersebut, seperti Abu Ya'la, Abu Ali Al Bana, bahkan salah satu riwayat memyebutkan terdapat sekitar 300 kitab yang menjadi komentar mukhtasor tersebut. Salah satunya adalah al mughni, karya muwaffiq al din ibn qudamah al muqoddasi. Kitab ini menjadi ensiklopedia fiqh yang popular di kalangan hanabilah. Pada kitab ini Ibn Qudamah tidak hanya menyajikan perkhilafan antara imam-imam madzhab empat, tapi juga imam madzhab yang tidak mempunyai pengikut seperti Al auza'i, Al laits bin sa'd.



  8. C.Ensiklopedia epistemologi aliran
  9. Sebagaimana madzhab lain, kaum hanabilah juga mempunyai landasan istimbath al hukm yang menjadi patokan mereka dalam berfiqh.[7] Nash Al qur'an dan hadis, qoul sahaby, qoul tabi'in, ijma' dan qiyas memiliki porsi penting di mata mereka dengan menggunakan stsandar yang khusus dan unik.

  10. A.Nash al qur'an dan hadis.
  11. Nash memiliki porsi yang paling tinggi di mata kaum hanabilah dalam beristimbath. Kedudukan al qur'an haruslah didahulukan daripada hadis dari segi keduanya merupakan unsur satu. Hadis di sederajatkan dengan Al qur'an selama hadis tersebut soheh, karena itu kaum hanabilah tidak harus mendahulukan ayat al qur'an dalam menerangkan sebuah hukum. Mereka juga berpendapat bahwa hadis merupakan penjelas al qur'an. Jika secara dlohir mereka menemukan ayat al qur'an bertentangan dengan hadis, maka makna al qur'an harus di larikan ke makna hadis, karena hadis menjadi mubayyin. Pada ayat al qur'an tidak sedikit ditemukan lafal 'aam dan dlohir. Jumhur Ulama' berpendapat bahwa lafal 'aam harus diyakini makna umumnya serta tidak boleh diamalkan sebelum mengetahui mukhossis. Imam ahmad dalam masalah ini berpendapat sama dengan jumhur pada salah satu riwayatnya. Tapi pada saat lain muncul pernyataan sebagai berikut "lafal 'aam tidak wajib di yakini dan di amalkan sehingga seorang mujtahid meneliti dan melihat "apakah disana terdapat mukhossis".Setelah diteliti dan dilihat kemudian tidak menemukan mukhossis maka lafal tersebut harus di amalkan"[8].Secara tidak langsung dapat ditarik kesimpulan bahwa imam ahmad pada riwayat lain mengatakan bahwa lafal 'aam tidak wajib di yakini dan diamalkan. Selain lafal 'aam, hanabilah berpendapat sama dengan madzhab lain tentang lafal dlohir, yaitu wajibnya mengikuti dan mengamalkannya. Lafal tersebut juga tidak boleh dihilangkan dari makna aslinya kecuali dengan menggunakan dalil yang mewajibkannya.
  12. Telah disebutkan diatas bahwa hadis disederajatkan dengan Al qur'an selama hadis tersebut sohih. Pernyataan ini tidak bertentangan dengan jawaban mu'adz bin jabal saat menjawab pertanyaan nabi. Maksud hadis tersebut hanyalah semata-mata mencari jawaban secara mudah, gampang, dan tepat,tanpa ada unsur mewajibkan beristimbath secara urut.Kaum hanabilah yang di motori imam ahmad menekankan agar memahami agama dengan jalan mempelajari hadis. Memahami Al qur'an maupun mempelajari agama secara utuh hanya bisa dilalui dengan jalan mengetahui hadis. Mengambil hukum dari Al qur'an tanpa melirik hadis tidak bisa dibenarkan,[9] karena:
  13. 1.Nash al qur'an wajib diikuti sebab mengikuti rasulullah. Allah SWT sendiri mengancam orang-orang yang menentang perintah rasul SAW "maka hendaklah orang-orang menentang perintahnya (Muhammad) merasa takut jika mereka terkena fitnah atau terkena siksaan yang pedih" (al nur:63). Dalam ayat lain disebutkan "apa yang diperintahkan rasul kepadamu maka ambillah dan apa yang dilarang rasul kepadamu maka tinggalkanlah" (al hasyr :7).
  14. 2.Banyak sekali dalil-dalil yang mewajibkan berpegang nash hadis dan tidak terbatas pada nash.Salah satu riwayat disebutkan "akan ada salah satu diantara kamu yang berkata "ini kitabullah, hukum halal yang ada di dalamnya akan kami halalkan, hukum haram yang ada di dalamnya akan kami haramkan. Ingatlah, barang siapa yang menyampaikan hadis kepada seseorang kemudian dia membohonginya maka telah berbohong tiga kali, kepada Allah, rasulnya dan orang yang di khabari hadis tersebut."
  15. 3.Kebanyakan hukum yang ada diambil dari hadis. Al qur'an yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW kebanyakan bersifat global sehingga menuntut Ulama' untuk memahami dari jalur hadis.
  16. Para Ulama' berbeda pendapat tentang kehujjiyahan hadis mursal (penulis sengaja mengangkat hadis mursal karena tidak ada perbedaan yang kentara di antara Ulama' hanabilah dengan tiga madzhab lain tentang hadis mutawatir, masyhur, mustafidl. Adapun hadis ahad, hanafiyah menganggap hadis tersebut tidak bisa mentakhsis Al qur'an, berbeda dengan hanabilah). Abu hanifah menerima hadis mursal jika yang memursalkan hadis adalah sahabat (seorang sahabat tidak menyebutkan sahabat lain yang menjadi rawi) atau tabi'in (seorang tabi'in tidak menyebutkan nama sahabat). Imam malik hanya menerima hadis mursal dari orang yang dia anggap tsiqoh. Kriteria yang diajukan dua imam tersebut bukan berarti mereka menerima hadis mursal secara mudah. Pada masa sahabat maupun tabi'in sudah menjadi kebiasaan diantara mereka meriwayatkan hadis dengan jalan mursal. Karena pada masa tersebut belum banyak terjadi pembohongan maka tidak ada penghalang untuk menerima hadis mursal. Imam Syafi'i secara umum menerima hadis mursal dengan dua catatan, pertama seorang rawi yang mengirsalkan hadis haruslah tabi'in (apalagi jika rawinya sa'id ibn musayyab). Kedua, hadis tersebut haruslah dikuatkan dengan syahid yang diterima tazkiyahnya. Pentazkiyahan syahid cukup satu dari empat perkara :
  17. 1.Terdapat beberapap rawi tsiqoh yang meriwayatkan hadis tersebut sampai ke rasulullah SAW.
  18. 2.Munculnya hadis mursal lain dan diriwayatkan dengan jalan yang berbeda.
  19. 3.Dikuatkan dengan fatwa atau qoul al sahaby.
  20. 4.Segolongan pendekar hadis menerima dan memberi fatwa dengan mursal tersebut. Tingkatan ini paling terakhir dibandingkan tingkatan sebelumnya .
  21. Hadis mursal menurut Syafi'i tidak sekuat muttasil. Jika timbul pertentangan antara keduanya maka muttasil yang didahulukan. Pendirian Ahmad sama dengan syafi'i yang menjadikan hadis mursal sebagai hujjah. Akan tetapi, Ahmad menyamakan hadis mursal dengan hadis dloif yang dijadikan hujjah di bawah fatwa al sahaby.[10] Penetapan ahmad bukan sebuah jalan untuk menerima hadis ini secara mudah, bahkan lebih sulit dari syafi'i karena mengkategorikan sebagai hadis dlo'if yang difatwakan dalam keadaan dlarurat.
  22. Ada beberapa syarat yang diajukan Ahmad dalam menerima hadis dlo'if :
  23. 1.Hadis yang diriwayatkan tidak berasal dari orang yang suka berbohong.
  24. 2.Makna hadis bersifat umum.
  25. 3.Tidak boleh diyakini kebenaran hadis tersebut, akan tetapi diamalkan sebagai jalan ihtiyath.
  26. Sebagaimana di ketahui, tidak sedikit hadis dlo'if yang diriwayatkan Imam Ahmad dalam musnadnya. Mengamalkan hadis dlo'if lebih baik daripada memutuskan dengan ra'yu sebagai tindakan preventif menghindari kesalahan dalam berijtihad. Kebanyakan perawi hadis yang dicantumkan dalam musnadnya tidak tergolong orang yang suka berbohong, bahkan sebagian dari mereka ditazkiyahkan Ulama'. Sebagian lagi terdapat perawi hadis yang sanadnya kuat dengan dikuatkan hadis lain. Ibn Taimiyah bahkan berpendapat bahwa hadis dlo'if dalam musnad ahmad termasuk hadis hasan.

  27. B.Fatwa sahabat
  28. Hampir semua imam madzhab fiqh mempelajari ilmu dari gurunya secara utuh dan sempurna. Abu hanifah belajar kepada Ulama' iraq yang dinisbatkan ke Ibn mas'ud. Malik bin anas membuat kerangka fiqh dari fuqaha' al sab'ah. Syafi'i menyusun rumusan fiqh dan hadis dari Ibn 'uyainah dan malik, membuat komparasi dengan fiqh ahl 'iraq saat bertemu Muhammad bin hasan kemudian lahirlah ilmu usul fiqh.
  29. Pada periode Ahmad banyak sekali hasil keputusan maupun fatwa sahabat yang telah di ikuti dan dijadikan rujukan Ulama', salah satu orang yang mengikuti jejak langkah ini adalah Ahmad bin hambal. Bahkan hasil fatwa tersebut dijadikan hujjah yang berdiri setelah nash dan sebelum hadis mursal. Menurutnya fatwa sahabat memiliki dua tingkatan[11]:
  30. 1.Fatwa yang tidak ada perkhilafan diantara sahabat, atau ada qoul lain yang tidak ditemukan sumber penelitiannya. Fatwa tersebut diamalkan dan tidak di katakan ijma'.
  31. 2.Permasalahan yang menyebabkan fatwa berbeda di antara sahabat. Sebagai contoh kedudukan kakek dari sisi ayah. Abu bakar menggolongkannya seperti ayah yang bisa menghalangi saudara laki-laki mendapatkan warisan, sedangkan zaid menyamakannya dengan saudara laki-laki yang berhak menerima warisan setelah terpenuhi beberapa syarat. Terdapat beberapa sumber mengenai pendirian Ahmad dalam kasus ini, sumber pertama memilih dengan mengi'tibar semua fatwa sahabat. Sumber kedua sebagaimana komentar Ibn Qoyyim "salah satu usulnya (ahmad) jika ditemukan perbedaan di antara sahabat maka yang dipilih adalah qoul yang lebih mendekati kitabullah dan al hadis."[12]Pendirian kedua tidak hanya menjadi riwayat Ahmad, akan tetapi juga diriwayatkan Syafi'i dan abu hanifah.
  32. Pendirian Ahmad tidak berakhir dengan dua riwayat saja, bahkan riwayat terakhirnya mentarjih qoul khulafa al rasyidin. Salah satu faktor yang mendorongnya memilih qoul ini dikarenakan qoul mereka lebih mendekati kebenaran yang disetujui jumhur al muslimin.

  33. C. Fatwa tabi'in
  34. Sebagian besar Ulama' menganggap fatwa tabi'in bukanlah sebuah dasar hukum yang wajib diikuti. Abu hanifah pada satu kasus mengikuti qoul ibrahim al nakho'i tanpa menjadikan pendapatnya sebuah kekuatan hukum yang pasti. Imam malik kadang berlaku hal yang sama dengan qoul Said ibn musayyab, Imam Syafi'i pun senada dengan keduannya saat menerima ro'yu atho'.
  35. Jika ketiga-tiganya mempunyai pendirian yang mirip tentang fatwa sahabat, berbeda dengan Hanabilah yang mempunyai dua qoul berbeda atas riwayat Ahmad jika tidak ditemukan nash Qur'an atau hadis maupun fatwa al sahaby. Sebagian menjadikan fatwa tabi'in sebagai hujjah dan wajib diikuti. Berbeda dengan salah satu pendapat hanabilah yang memilih tidak wajib mengambil fatwa tabi'in. Kaum yang mengambil jalan pertama berselisih ketika fatwa tabi'in ta'arudl dengan qiyas. Sebagian mendahulukan fatwa al tabi'in karena qiyas tidak boleh digunakan kecuali dalam keadaan dlarurat, lebih-lebih ketika sang mufti terkenal dengan kealiman dan ketaqwaannya. Sedangkan yang lain memprioritaskan qiyas karena merupakan sebuah dalil yang diakui dan mu'tabar.[13]

  36. D. Ijma'
  37. Sejak dulu sudah muncul persengkataan Ulama' tentang kehujjiyahan ijma'. Adalah Al nidlom (w 331 H) salah satu orang yang mengingkari kehujjiyahan ijma', karena ijma' jika timbul dari dalil qoth'i maka dalil tersebut yang menjadi hujjah. Tapi jika wujudnya berasal dari dalil dlonny maka tidak mungkin timbul ijma' karena terdapat perbedaan Ulama' dalam memahami dalil dlonny. Imam malik menilai wujudnya ijma' hanya bisa terjadi dengan kesepakatan fuqaha' al madinah. Abu dawud menganggap ijma' tidak bisa di i'tibar kecuali dari sahabat.[14]
  38. Kaum hanabilah termasuk golongan yang mengakui kehujjiyahan ijma'. Mereka menta'rifi ijma' sebagai "kesepakatan kaum muslimin atas sebuah hukum. Jika ijma' atas hukum sudah terjadi maka tidak boleh bagi seseorang untuk keluar dari ijma'. Sebagian dari kaum muslimin menyangka banyak sekali permasalahan yang mendapat ijma',akan tetapi justru sebaliknya. Sangat sedikit permasalahan yang mendapat ijma'[15]". Ijma' dengan pengertian di atas hanya bisa terjadi pada sesuatu yang sudah menjadi ma'lum min al din bi al dlarurat, seperti salat, puasa, zakat, dll.
  39. Para Ulama' berbeda pendapat tentang kedudukan ijma' menurut Imam Ahmad. Sebagian mengatakan bahwa Ahmad tidak menjadikan ijma' sebagai salah satu sumber hukum sesuai dengan pernyataannya "barang siapa mendakwa ijma maka dia berbohong. Mungkin saja terdapat manusia yang berbeda". Akan tetapi pernyataan tersebut di bantah Dr Abdul Aziz Muhammad Azam yang menganggap qoul tersebut sebagai ucapan yang di tadliskan ke riwayat Ahmad, karena hasil penelitiannya menyatakan bahwa ucapan tersebut di lontarkan bisyri al marisi dan al asham. Secara lebih jauh Al qodli berkata "ucapan ini secara dlohir menunjukkan bahwa ijma' tidak mungkin terjadi. Akan tetapi pada kenyataannya tidaklah demikian. Jika ucapan ini benar-benar di lontarkan Imam Ahmad maka yang dimaksud disini hanyalah sebagai langkah mawas diri jika di khawatirkan muncul qoul yang berbeda."[16]
  40. Ijma' oleh fuqaha' diposisikan sesudah nash. Hal yang sama juga dilakukan kaum hanabilah. Mereka akan mendahulukan Ijma' jika ta'arudl dengan qiyas.

  41. E.Qiyas
  42. Banyak sekali pendapat Ulama' tentang qiyas. Satu pihak muncul Abu dawud dan al nidlom sebagai orang yang mengingkari keberadaan qiyas. Berbeda dengan abad ini yang melahirkan banyak sekali pemikir kontemporer dengan upaya mereka untuk membuka pintu qiyas selebar-lebarnya.
  43. Sebagian orang menganggap Ahmad bin hambal menafikan qiyas, sebagaimana dengan maqolahnya "omongan hendaknya di jauhkan dari hukum fiqh secara mujmal dan qiyas." Ucapan tersebut di bantah Al Qodli Aby ya'la yang memasukkan qiyas di atas ke qiyas fasid.[17]
  44. Secara umum kaum hanabilah yang mengakui kehujjiyahan qiyas tidak mempunyai perbedaan yang mencolok dengan tiga madzhab lain. Mereka lebih menekankan agar seseorang berhati-hati dalam mengerjakan qiyas. Terdapat beberapa tempat yang menjadi celah timbulnya kesalahan dalam berqiyas[18] :
  45. 1.Pemaksaan 'illat pada hukum yang tidak bisa di ta'lili. Pemerkosaan 'illat pada hukum tersebut akan merusak kasus lain dengan hukum tersebut. Sebagaimana wudlu menjadi batal ketika menyentuh hasil sembelihan kambing atau unta. Ketika hukum tersebut di 'illati karena keadaan daging panas, akan sangat kontras sekali jika seseorang memegang daging yang tidak panas atau dingin.
  46. 2.Ketidaktepatan seorang mujtahid dalam menaruh 'illat. Semisal Ulama' yang menta'lili gandum sebagai benda ribawy dengan al thu'm. Dengan pendirian tersebut akan salah jika dia memberi 'illat gandum selain dengan di atas.
  47. 3.Seorang mujtahid tidak menta'lili hukum secara utuh. Pada saat mujtahid memberikan 'illat wajibnya qisos pada pembunuh dengan alasan "pembunuhan di sengaja" tanpa mencantumkan "permusuhan" akan menyebabkan wajibnya qisos pada pihak wali yang terbunuh atas upaya mereka mengqisos pembunuh.
  48. 4.'Illat pada hukum berkumpul dengan fungsi lain yang merubah status dan kedudukannya. Pada contoh wajibnya kafarah orang arab yang bersetubuh pada siang hari bulan ramadlan dengan di alasi karena si so'im adalah orang arab akan meniadakan hukum wajib kafarah pada orang selain arab saat bersetubuh di siang hari bulan ramadlan.
  49. 5.Terjadi kesalahan dalam menempatkan 'illat ke far'i. Seperti orang yang menyangka bahwa apel merupakan benda yang di takar (al kail), sehingga menyamakannya dengan gandum dalam mengeluarkan zakat.
  50. Qiyas merupakan pekerjaan yang mudah. Banyak orang melakukan kesalahan dalam berqiyas. Jadi tidak heran jika kaum hanabilah memberikan sekat-sekat kuat sehingga seseorang tidak salah dalam berqiyas.

  51. F.Respon hanabilah atas riwayat Ahmad bin Hambal
  52. Imam ahmad sebagai orang yang tidak suka menggunakan ra'yu tidak jarang mempunyai riwayat yang menimbulkan pemahaman berbeda di antara hanabilah. Kaum hanabilah yang menerima keputusan hukum Imam mereka maupun pernyataan sorih yang disarikan dari kitab Al qur'an, hadis, ijma' atau qoul sahaby tanpa perbedaan riwayat lain, maka kesemuanya menjadi madzhab Ahmad. Al marwadzi, Ibn hamid, Ibn taimiyah menilai permasalahan yang diriwayatkan Ahmad dan di tadwin murid-muridnya tanpa muncul pendapatnya secara sorih sudah menjadi hukum madzhab dan pilihannya. Berbeda dengan sebagian hanabilah lain yang berbeda dengan pendapat di atas.[19]
  53. Respon Ulama' hanabilah tidak hanya mencakup riwayat yang sudah di tadwin sebagaimana di atas, tapi juga meliputi riwayat yang sudah di cabut Imam Ahmad sendiri. Al Qodli Aby ya'la, abu al khattab, dan ibn qudamah berpendapat banwa hukum yang sudah di cabut Ahmad akan meniadakan hukum pertama. Mereka menentang pendapat hasan bin hamid yang memposisikan riwayat pertama Ahmad seperti riwayat lain dan menjadi madzhab kedua.Perbedaan yang terjadi di kalangan hanabilah membuat tubuh madzhab tersebut sangat berbobot dan padat. Dalam literatur mereka tidak jarang dijumpai istilah seperti Al riwayat, Al wajh, Al ihtimal, Al takhrij, dan al taujih. Penggunaan Istilah pertama ke nash Imam Ahmad atau perkataan yang di tadwin murid-muridnya. Istilah kedua menjadi perkataan Ashab hanabilah saat memutuskan atau menta'lili hukum. Istilah ketiga merupakan dalil lemah saat di hadapkan dengan dalil yang lebih kuat. Al takhrij menjadi istilah saat memindah hukum masalah ke masalah lain. Sedangkan Al taujih adalah penjelas yang berupa alasan timbulnya hukum.



  54. D.Penutup
  55. Di antara empat madzhab fiqh, pada masa lampau hanya madzhab hanabilah yang mempunyai pengikut paling sedikit. Baru abad terakhir perkembangan madzhab ini melaju pesat. Dengan metode istimbath dan pemikiran unik yang mereka tawarkan seharusnya pengikut madzhab ini mampu mengembangkan dan melebarkan sayap-sayap mereka ke seluruh pelosok dunia.
  56. Dengan mempelajari sekilas metode istimbath mereka, semoga akan merangsang kemauan belajar kita dan menumbuhkan minat untuk terus maju ke depan.


  57. WALLAHU A'LAM BI SAWAB.











  58. [1] Makalah ini disampaikan di kajian regular LBM PCI-NU mesir

  59. [2] Penulis adalah mahasiswa al azhar fakultas syari'ah islamiyah tingkat II yang sedang menunggu natijah turun

  60. [3] Dr Muhammad abu zuhroh, tarikh al madzahib al islamiyah, dar al fikr al arabi, kairo, 1996, hal 526

  61. [4] Dr abd al aziz Muhammad azam, ahmad ibn hambal hayatuhu wa makanatuhu fi al fiqh wa al hadits, dar al bayan, kairo, cet I, 2000-2001, hal 207-208

  62. [5] Ibid hal 212

  63. [6] Ibid hal 216

  64. [7] Dr Ali jum'ah Muhammad, al madkhal ila dirasati al madzahib al fiqhiyah, dar al salam, kairo, cet I, 2004, hal 193

  65. [8] Ibid hal 195

  66. [9] Muhammad abu zuhroh, ibn hambal hayatuhu wa ashruhu ara'uhu wa fiqhuhu, dar al fikr al arabi, kairo, 1997, hal 174

  67. [10] Ibid hal 181

  68. [11] Ibid hal 193

  69. [12] Ibid hal 194

  70. [13] Ibid 201-202

  71. [14] Dr abd al aziz Muhammad azam, ahmad ibn hanbal hayatuhu wa makanatuhu fi al fiqh al islamy, dar al bayan, kairo, cet I, 2001-2002, hal 294

  72. [15] Aby al abbas ibn taimiyah, al fatawa ibn taimiyah, juz I, mathba'ah al azhary, cairo, tanpa tahun cetakan, hal 406

  73. [16] Op .cit hal 304

  74. [17] Muhammad Al Amin bin Muhammad Al mukhtar Al syinqithi, mudzakkiroh fi usul al fiqh, dar al itqon, iskandariyah, tanpa tahun, hal 272

  75. [18] Ibid hal 274

  76. [19] Dr Abd al muhsin bin 'abd aziz, qawa'id al istimbath min alfadz al adillah inda al hanabilah wa atsariha al fiqhiyyah, dar al basya'ir al islamiyyah, Beirut, cet I, 2004, hal 29

Tidak ada komentar:

Posting Komentar