Kamis, 22 Januari 2009

TELAAH EPISTEMOLOGI QIRA'AH

Sering kita jumpai beragam varian lafadz dan makna dalam teks al-Quran. Variasi tersebut tidak hanya merubah fungsi dan kedudukan suatu kalimat, bahkan mendekonstruksi makna yang kadangkala dipahami secara harfiyyah. Sehingga adanya interpretasi yang varian dari kalangan para pegiat intelektual ─baik ulama klasik maupun kontemporer─ menjadi suatu keniscayaan. Beragam makna yang disebabkan karena adanya perbedaan lafadz dalam al-Quran pada dasarnya bukanlah sebuah fenomena yang mengkhawatirkan akan otentisitas al-Quran itu sendiri. Pun, bukanlah suatu fenomena yang senantiasa diperdebatkan hingga menuai hujatan dari berbagai kalangan dengan beragam penilain yang tidak obyektif. Namun sebaliknya fenomena ini menunjukkan sifat I'jaz al-Quran dan menunjukkan identitas al-Quran sebagai kalam Tuhan yang dikemas dengan bahasa Tuhan pula.
Menelisik sejarah al-Quran khususnya pada tataran qira'ah, akan kita jumpai banyak variasi yang ditampilkan. Fenomena ini muncul sejak masa Rasulullah yang kemudian berkelanjutan pada masa setelahnya. Namun, variasi qira'ah ini mengalami pergeseran paradigma, dimana satu qira'ah dengan qira'ah lainnya bersaing untuk mendapatkan tempat pada khalayak. Realita ini bisa kita lihat dengan adanya pengklasifikasian qira'ah yang dilakukan oleh para pegiat al-Quran tempo dulu. Dari usaha mereka itulah sehingga kita mengenal Qiraah al-Sab'ah, Qira'ah al-'Asrah, dan Qira'ah al-Arba'ah al-'Asyar. Pergeseran ini semakin kita rasakan ketika melihat realita dimana pembacaan yang ada sekarang hampir semuanya memakai jalur periwayatan Hafs 'an 'Ashim, kecuali mereka yang berada di Maroko yang lebih banyak mengikuti riwayat Warsy dan di Libya mengikuti riwayat Qolun. Bahkan, hampir seluruh masyarakat muslim di dunia, termasuk Indonesia. Lebih cenderung mengikuti riwayat bacaan pertama.
Adalah masa khilafah Utsman ditetapkan sebagai era kodifikasi final terhadap teks al-Quran yang kemudian masyhur dengan mushaf Utsmani. Dari segala bentuk varian teks ataupun qira'ah diseragamkan ke dalam satu bentuk bacaan, yang juga dilakukan dengan sebuah penilaian yang dapat diperhitungkan. Demikian ini tidak menyurutkan Sahabat lainnya yang mempunyai integritas tinggi akan wacana al-Quran untuk membawa ragam qiraah ke seluruh penjuru negeri, semisal Ubay ibn Ka'ab, Zaid ibn Tsabit, Abu Hurairah, Abdullah ibn Abbas, Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, Abu Musa al-Asy'ari, Abu Darda', dan Abdullah ibn Mas'ud. Beragam bentuk bacaan yang mereka bawa ke seluruh penjuru tidak menjadikan mereka untuk menafikan teks yang termaktub dalam mushaf Utsmani. Bahkan upaya untuk menafikan keberadaan satu ayat pun dari mushaf Utsmani tidak pernah terjadi. Walaupun dalam sejarah ditemukan sebanyak 15 mushaf primer (mengambil istilah Arthur Jeffery) yang dikumpulkan para Sahabat. Kiranya tidak salah Utsman menunjuk Zaid ibn Tsabit sebagai penanggung jawab kodifikasi tersebut. Salah satu tugas yang diembankan kepadanya adalah mengumpulkan ragam corak ayat mutawatir, bahkan dua ayat pada akhir surat at-Taubah ─ditemukan Zaid ibn Tsabit dalam satu mushaf saat proses unifikasi dan tidak muncul pada tempat lain─ sudah menjadi mutawatir di kalangan Sahabat. Fenomena ini menunjukkan bahwa keberadaan ayat dalam mushaf Utsmani menempati posisi sentral dan di-endorse sejak Raslullah masih hidup.
Setelah Rusulullah wafat tanpa disangka muncul sebuah komunitas yang meriwayatkan nash al-Quran secara maknawi tanpa menoleh teks secara utuh (Riwayah bi al-Makna). Usaha ini Pada dasarnya tidak menjadi masalah selama terdapat nilai kemaslahatan yang ingin dicapai. Namun periwayatan tanpa identitas jelas yang dilakukan sebagian oknum sempat menghawatirkan kalangan Sahabat waktu itu. Sebab periwatan yang tidak jelas sanadnya suatu saat akan memunculkan distorsi yang dapat mengurangi bahkan menghilangkan otentisitas teks al-Quran itu sendiri.
Membincang Riwayah bi al-Makna secara otomatis memasukkan masyhur versus ahad. Pengkategorian riwayat selain masyhur yang disandangkan sebagai tafsir bi al-Makna masih problematik. Hal ini bisa kita justifikasi dengan satu kasus dimana sering muncul ayat mutawatir berjumlah lebih dari satu. Melihat fenomena di atas kiranya menjadi keniscayaan bagi kalangan cendekia untuk mencari solusi akan masalah tersebut. Seperti Hasan Bashri (110 H.), seorang tokoh yang peduli menyelesaikan problematika kala itu, beliau mendirikan madrasah qira'ah sebagai bentuk kepeduliannya untuk meluruskan kembali problematika qiraah yang menjadi kekhawatiran para ulama pada generasi setelahnya.
Sebagian orang menyangka keberadaannya mendirikan madrasah menjadi tonggak pertama kali dalam penanaman benih qira'at. Pada dasarnya para Sahabat yang rajin menyebarkan agama Islam ke penjuru negeri juga punya andil besar saat munculnya problematika ini. Corak warna dari setiap Sahabat sangat memungkinkan lahirnya pen-tadlis-an oleh sebagian kalangan. Kiranya tidak salah upaya Imam al-Dzahabi sebagai salah satu tokoh yang konsen dalam kajian al-Quran juga ikut andil melalui karyanya "al-Qurra' al-Kibar". Dalam karyanya ini secara lanjut mengklasifikasi qira'ah para ulama periode Sahabat. Menurut beliau dari berbagai riwayat dapat diklasifikasikan menjadi tujuh orang Sahabat masuk ke dalam tingkatan pertama dan menyelesaikan studinya dengan prediket cumlaude. Mereka adalah Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, Ubay ibn Ka'ab, Abdullah ibn Mas'ud, Zaid ibn Tsabit, Abu Musa al-Asy'ari, Abu Darda'. Semua Sahabat di atas mempunyai edisi khusus dalam mushaf mereka meskipun pada akhirnya harus menjadikan mushaf Utsmani sebagai otoritas tertinggi. Merunut perjalanan intelektualitasnya banyak di antara mereka menetap di Makkah dan Madinah sampai wafat, tapi tidak sedikit yang melanglang buana ke negeri lain dan menghabiskan sisa hidup mereka sampai akhir hayat. Banyak sekali aktifitas-aktifitas positif yang dilakukan. Diantara aktifitas mereka mengajarkan bacaan al-Quran yang saling berbeda satu dengan yang lain. Sebut saja Abdullah ibn Mas'ud sebagai salah satu punggawa qira'ah yang kemudian diikuti oleh tiga imam qira'ah yakni 'Ashim, Hamzah dan Kisa'i. Meski berangkat dari background yang tidak berlawanan, namun ketiga tokoh qiraah ini memiliki corak pembacaan yang berbeda, bahkan pada kerangka teoritis terdapat kaidah khusus pada satu imam. Di Syam (Siria) Abu Darda' juga mengajarkan warna bacaan lain ke Ibnu 'Amir, yang digolongkan Imam Suyuthi ke dalam tingkatan paling tinggi di jajaran pembawa sanad, dengan mengantongi empat belas thariqah periwayatan.
Menjamurnya berbagai macam aliran menimbulkan kehawatiran sebagian golongan. Muncul orang-orang zindiq yang selalu berusaha mentahrif kalam Tuhan dengan berbagai cara. Golongan ini disinyalir lahir pertama kali dari sepak terjang Abdullah bin Saba'. Tidak salah kemudian pada akhirnya memicu lahirnya aturan baku. Aturan ini dikoarkan oleh dua sosok yang sangat berpengaruh pada masa itu. Mereka muncul tidak lama sesudah madrasah Hasan Basri berdiri. Dua tokoh yang dimaksud tidak lain adalah. Pertama, Sibawaih (wafat 136 H.) beliau adalah pakar Ilmu nahwu yang mengesahkan qira'ah dengan kriteria ulama Basrah. Kedua, Abu Abid (wafat 223/224 H.) dan Abu Hamid al-Sijistani (wafat 248/255 H.). Secara bersamaan mereka mensyaratkan kebenaran qira'ah dengan menggunakan tiga perangkat, tidak terdapat cacat dalam pemakaian secara bahasa, mengikuti aturan mushaf utsmani, dan adanya konsensus masyarakat umum pada penerimaan qiraat tersebut yang cukup diwakili dominasi cendekiawan dengan kredibilitas serta kapabilitas tinggi. Periode setelahnya muncul Abu Bakar ibn Muqsim (wafat 354 H.). Hampir semua masyarakat umum menerima tiga syarat di atas, terkecuali Ibn muqsim. Pada saat itu dengan tegas menerima semua qira'at yang berstandar mushaf utsmani dan benar secara lughat (dua syarat pertama abu abid dan abu hamid). Atas pemikirannya yang terlalu berani pd th 322 Ibnu Muqsim dipanggil raja karena bacaannya yang tidak dibenarkan sebagian besar fuqaha' dan qurra'. Akan tetapi menjelang kematiannya ibn muqsim mencabut sumber kontroversi di atas dan kembali ke qira'ah biasa. Setelah Ibnu Muqsim meninggal Ibnu Makki (437 H.) menggagas tiga syarat baru yang menjadi klaim kebenaran qira'ah. Dua syarat pertama memiliki persamaan dengan pengajuan Abu Abid dan Abu Hamid. Adapun corak ketiga mempunyai kemiripan dengan penerimaan Hadis Shahih, yaitu diriwayatkan dari perawi tsiqah serta bersambung sampai ke Rasulullah Saw. Pada masa ini pula muncul pembagian qira'ah Masyhur dan Syadz, Mu'taraf versus Ghairu Mu'taraf. Pembagian tersebut sangat mungkin menjadi tonggak lahirnya unifikasi qira'at oleh Ibnu Mujahid (324 H.).
Abad kelima dan keenam menjadi periode munculnya proses belajar mengajar ilmu qira'ah secara tersistem. Adalah ibn Mujahid yang kemudian mengenalkan pembelajaran riwayat tiap qira'ah serta karakteristik pengucapannya. Tidak begitu lama lahirlah Imam Syathibi (590 H.) dengan magnum opus-nya "hirz al amani wa wajh al tihani" membuat rumusan ilmu qira'at secara sistematis. Saat mengajar Syathibi menyuruh murid-muridnya mengkhatamkan al-Quran minimal tiga kali. Dua kali khataman membaca dua perawi Imam. Khataman ketiga menggabungkan dua perawi tersebut. Sebelum Syathibi banyak bermunculan para Qori' dengan kuantitas lebih banyak saat membaca al-Quran. Imam al-Wahidi (468 H.) misalnya belajar qira'ah dengan jumlah tidak terhitung generasi sesudahnya. Itupun belum mampu menguras semua pengetahuan qira'at Ibn Mahran (w 381). Ibn al jazari menghitung thoriqoh periwayatan Ibn Mahran yang berhasil terdeteksi dalam pencapaian empat muridnya mencapai empat puluh lima jalan periwayatan. Delapan riwayat di ketahui berasal dari Ibn syanabudz . Ibn mujahid mengambil tiga riwayat. Al-Naqqasy meriwayatkan tiga jalur. Abu Bakr al-Munaqqi memperoleh enam jalan dengan satu jalan sama dengan tiga perawi di atas. Senada dengan al-Wahidi, al-Husory (488 H.) yang menjadi salah satu guru Ibnu Mujahid saat belajar juga harus mengkhatamkan tujuh puluh kali. Pun pada Ibnu Mujahid. Dengan membaca riwayat Hafs dari 'Asim ibn Mujahid membaca al-Quran secara sempurna berulang-ulang ke al-Husory dan al-Wahidy. Tampaknya apa yang telah terjadi di atas menjadi inspirasi tersendiri dalam pembakuan variasi qira'ah secara sistematis.
Meskipun tindakan Ibn Mujahid mempunyai nilai plus, bahkan hampir di seluruh dunia saat ini menerapkan, tetapi pada tataran praksis Ibn Mujahid melakukan tindakan baru dan belum penah terjadi pada periode sebelumnya. Ibn Aby laila (w 148) misalnya, tidak langsung menyalahkan muridnya saat membaca karena seorang murid terkadang memakai riwayat masyhur lain. Begitu juga Nafi'. Seringkali saat mengajar al-Quran memberi kemudahan pada murid-muridnya untuk memilih wajah qira'at yang pernah di dengarnya. Hal senada juga terjadi pada Imam qira'ah lain, karena pada prinsipnya tujuan mereka hanyalah mengajarkan al-Quran.
Pengaruh Ibnu Mujahid sebagai seorang panutan pada akhirnya menetapkan tujuh qira'ah Masyhur sebagai otoritas tertinggi di antara warna qira'ah yang ada. Pemetaan pada tujuh qira'ah meliputi tujuh Imam plus dua perawi. Nafi' (Ibn 'Abdurrahman ibn Abi Na'im (169 H.) sebagai guru besar di Madinah mengesahkan Qolun; Abu Musa, Isa ibn Mina (220 H.) dan Warsy; Utsman ibn Sa'id al-Qibthi (197 H.) sebagai perawinya. Abdullah ibn Katsir al-Makki (120 H.) menurunkan qira'ah-nya ke Ahmad ibn Muhammad ibn 'Abdullah al-Bazzi (250 H.) dan Qunbul; Muhammad ibn Abdurrahman al-Makhzumi (291 H.). Abu 'Amr al-Bashri, seorang ulama kelahiran Basrah mempunyai murid Abu 'Amr Hafs ibn Umar al-Duri (246 H.) dan Abu Syu'aib Soleh ibn Ziyad al-Susy (261 H.) sekaligus menjadi perawi. Hisyam ibn 'Amr (245 H.) dan Ibnu Dzakwan; 'Abu 'Amr Abdullah ibn Ahmad (245 H.) sebagai murid juga menjadi perawi Abdullah Ibn 'Amir (118 H.). Syu'bah ibn 'Ayyasy ibn Salim (193 H.) serta Abu 'Amr Hafs ibn Sulaiman (180 H.) dengan bacaannya yang dipakai seantero dunia saat ini meneruskan perjuangan 'Ashim dalam menyebarkan ilmu al-Quran. Hamzah ibn Habib al-Kufi (156 H.) memberikan otoritas qira'at ke Khalaf ibn Hisyam al-Bazzar (229 H.) maupun Khalad ibn Khalid (220 H.). Dan terakhir Ali ibn Hamzah al-Kisa'i (189 H.) memiliki dua perawi, yaitu Abu al-Harits (240 H.) serta al-Duri (perawi Abu 'Amr).
Syathibi kemudian membuat metodologi secara sistematis tentang kaidah yang dianut tujuh imam di atas. Semua tertulis dalam bukunya. Secara umum kandungan buku tersebut berisi dua pokok pembahasan. Pertama, kaidah yang diusung para Imam secara umum, meliputi idghom, mad, qosr, dua hamzah di satu kalimat maupun dua kalimat, memindah harakat hamzah ke lafal sebelumnya, waqaf, imalah, tarqiq dan taqlil. Kedua, perbedaan huruf. Pembahasan ini mencakup hampir seperempat isi kitab. Di dalamnya dikupas mulai surat al-Baqarah sampai surat al-Nass. Wewenang Ibnu Mujahid dalam membatasi tujuh qira'at di atas tampaknya di tentang Abu Syamah (665 H.). Senada dengan Abu Syamah, Al Jaziri juga (833 H.) menegaskan bahwa tiap variasi bacaan yang sama dengan kaidah bahasa Arab, tidak menyalahi aturan dengan mushaf Utsmani dan memiliki mata rantai sanad secara sah ke Rasulullah menjadi bacaan yang tidak boleh di tolak dan di ingkari. Salah satu pembuktiannya al-Jaziri juga mengikuti jejak al-Syathibi dengan menerbitkan tulisan berjudul "Al durrah Al Mudli'ah". Dalam karangannya al-Jaziri mengupas tiga Imam Qira'at selain tujuh di atas. Abu Ja'far; Yazid bin Al qa'qa' al makhzumi (128 H.) dengan perawi 'Isa ibn wardan (160 H.) serta Ibnu Jammaz; Sulaiman bin Muslim Al zuhri (170 H.). Ya'qub (205 H.) yang menjadikan Ruwais; Abu 'Abdillah Muhammad bin al-Mutawakkil (238 H.) dan ruh; 'Abu al Hasan bin 'Abd al-Mu'min (234/235 H.) sebagai perawi. Dan terakhir Abu Ya'qub Ishaq bin Ibrahim bin Utsman (286 H.) yang disandingkan Abu Hasan Idris bin 'Abdul Karim (292 H.). Keduanya menjadi perawi Khalaf (salah satu perawi Hamzah Imam Qira'at tujuh). Dengan berbentuk sya'ir al-Jaziri membuat sistematika penulisan yang hampir sama dengan al-Syathibi.
Melihat berbagai warna kajian di atas tampaknya tidak salah Al Azhar berupaya melestarikan khazanah peninggalan Ulama' klasik. Salah kepeduliannya tampak pada Ma'had qiraah yang berdiri di berbagai penjuru Mesir. Semoga kita menirunya.
Wallahu a'lamu bi al sawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar