Senin, 12 Januari 2009

TELAAH ABU HANIFAH

Abu hanifah, mengaktualisasi perjalanan tertinggal

Oleh : Ahmad aniq munir

A.Pendahuluan .

Pada masa sahabat, tabi’in dan imam-imam mujtahid, muncul sederetan ulama dalam jumlah yang cukup banyak. Berbagai kawasan (negeri) Islam dipenuhi dengan ilmu dan ulama. Banyak diantara mereka yang mencapai tingkatan mujtahid mutlak. Sebagian ulama terbaik itu membuat metode yang digunakan untuk mengenal hukum-hukum. Akhirnya masing-masing mempunyai murid dan pengikut yang mengikuti metodenya. Metode ini yang kemudian dinamakan madzhab.

Madzhab fiqih yang masih ada sampai hari ini adalah Madzhab Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad. Ada beberapa madzhab yang telah habis pengikutnya seperti Madzhab Laits bin Sa’d, Madzhab Daud Azh Zhahiri dan Ibnu Jarir AT Thabary.

.Madzhab mereka tercermin dalam pendapat yang mereka tuangkan dalam buku-buku, tulisan murid-murid mereka atau jawaban atas pertanyaan dan permintaan fatwa. Kemudian teman-teman dan murid-murid mereka memperluas dan menyebarkan ke penjuru dunia. Masa dulu banyak sekali Ulama' yang tidak mempunyai murid dalam mentadwin hasil pemikiran gurunya sehingga menghilang dari permukaan bumi Salah satunya adalah Al Laits bin Sa’d. Bahkan Imam syafi'i sendiri memberikan pujian “Al Laits lebih mendalam pemahamannya dari Imam Malik, namun banyak di antara para pengikutnya tidak menjalankan kewajiban mereka (menjaga dan memelihara ilmu guru-gurunya).”

Peran para pengikut madzhab bukan terbatas pada menulis semua yang mereka dengar dan memperluas ilmu tersebut, tetapi mereka juga melakukan penelitian dan beristimbat dari nash ayat atau sunnah. Sehingga mereka juga melakukan ijtihad seperti yang dilakukan oleh para imam. Mereka tidak merasa berat untuk memilih pendapat yang berbeda dengan pendapat imam mereka jika memang kebenaran tidak sesuai dengan pendapat para imam tersebut.

Tulisan ini tidak akan berbicara lebih jauh dan hanya membahas seputar abu hanifah terlepas dari pengikutnya yang memiliki kapasitas sebagaimana pendiri madzhab tersebut.

B.Sekilas riwayat Abu Hanifah.

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa saat ini terdapat empat madzhab fiqh yang memiliki figur sentral dan dianggap sebagai pendiri madzhab. Mereka mempunyai corak pemikiran berbeda antara satu dengan yang lain .Salah satunya adalah nu'man bin tsabit (nama asli abu hanifah) yang dilahirkan pada tahun 80H/699M di Kufah, Iraq, sebuah kota yang sudah terkenal sebagai pusat ilmu pada saat itu. Ayahnya seorang pedagang besar, sempat hidup bersama Ali bin Abi Talib ra. Abu Hanifah waktu muda ikut serta dalam urusan perdagangan ayahnya, akan tetapi minat yang timbul dalam dirinya dan menjadi spirit adalah memahami Al Qur'an dan Al hadis.

Abu Hanifah pada saat mudanya berjumpa dengan al-Sya’bi, seorang tokoh agama yang terkenal pada saat itu bernama. Al-Sya'bi kemudian memberi nasihat agar lebih banyak mencurahkan kerja kerasnya ke kajian kajian keislaman. Dengan nasihat dan dorongan tersebut Abu Hanifah mulai menceburkan diri secara khusus mempelajari ilmu-ilmu Islam, Seperti ilmu qiraat, nahwu, saraf, kalam dan lain-lain. Akan tetapi bidang ilmu yang paling diminatinya ialah ilmu hadis dan fiqh. Beliau banyak meluangkan waktu dan tenaga dalam mendalaminya. Banyak sekali tokoh pada saat itu yang menjadi gurunya. Bahkan sebagian riwayat disebutkan, jumlah gurunya di Kufah mencapai 93 orang.

Beliau kemudian pindah ke kota Basrah untuk belajar ke Syaikh Hammad bin Abi Sulaiman, Qatadah dan Shu’bah. Setelah sekian lama berguru dengan Shu’bah (pada saat itu terkenal sebagai Amir al-Mu’minin fi Hadis), beliau mendapat idzin untuk mulai mengajar hadis ke masyarakat umum.

Beliau kemudian pergi ke Mekah dan Madinah. Disana berguru kepada Atha' bin Abi Rabiah dan Ikrimah, seorang tokoh besar di Mekah yang juga murid ‘Abdullah ibn ‘Abbas, ‘Ali bin Abi Talib, Abu Hurairah dan ‘Abdullah ibn ‘Umar .Kualitasnya dalam ilmu hadis dan fiqh diakui Ikrimah sehingga dinobatkan menjadi guru besar di makkah pada saat itu Mekah.

Abu Hanifah kemudian meneruskan perjuangannya ke Madinah. Kemudian beliau turut belajar hadis ke Malik bin Anas ( tokoh besar di Madinah pada saat itu). Walaupun Abu Hanifah 13 tahun lebih tua dari Malik, namun tidak menjadi duri yang menjadi penghalang untuk turut serta belajar.

Ketika Hammad meninggal dunia di Basrah pada tahun 120H/738M, Abu Hanifah kemudian menjadi pengganti Hammad sebagai guru dan tokoh panutan di Basrah. Mulai di sini, Abu Hanifah mengajar dan menjadi tokoh besar baru dalam dunia Islam. Disamping menjadi seorang pedagang besar. .

Pada zaman Abbasiah, Khalifah al-Mansur telah beberapa kali meminta beliau menjabat kedudukan kerajaan. Abu Hanifah menolak tawaran itu. Jawaban Abu Hanifah membuat Al Mansur marah lalu memenjarakan Abu Hanifah. Akan tetapi tindakan Al mansur mendapat tekanan dari masyarakat umum.

Abu Hanifah meninggal dunia pada bulan Rajab tahun 150H/767M. Solat jenazahnya dilangsungkan 6 kali, setiap jamaah diikuti hampir 50,000 orang. Abu Hanifah mempunyai tiga murid dengan kemampuan yang tidak jauh dengan Abu Hanifah, Zufir (158H/775M), Abu Yusuf (182H/798M), dan Muhammad bin Hasan al-Syaibani (189H/805M).

C.Lukisan metodologi Abu hanifah

Sebagaimana diterangkan di atas, abu hanifah menghabiskan sebagian besar waktunya mengembara mulai dari iraq sampai ke madinah. Dalam waktu tersebut tidak sedikit tokoh besar yang dijumpai dan mengambil ilmu dari tokoh tersebut. Dari ilmu tersebut abu hanifah membentuk dan mengembangkan hasil pemikirannya. Sebagian besar pemikirannya tentang manahij al tasyri' terbagi menjadi dua. Akan tetapi jika kita telusuri lebih jauh, banyak sekali pemikiran beliau yang tercecer, tidak di tulis dengan tangan beliau sendiri,bahkan menjadi isu sentral yang memaksa orang-orang lain untuk menjahili pemikirannya yang sudah terkodifikasi secara matang.

1.Abu hanifah dan empat tiang manhaj.

a.Nash Al qur'an.

Al qur'an sebagaimana yang di turunkan Allah ke rasulnya merupakan kumpulan wahyu ilahi yang di mulai dari surat Al fatihah dan di akhiri surat Al nass. Bacaan ayat Al qur'an juga meliputi berbagai macam variasi yang mengakibatkan timbulnya perbedaan hukum dalam memahami makna Al qur'an. Jikalau kita menilik konsep yang di usung Abu hanifah dalam beristimbath, akan kita dapati kenyataan penggunaan qiraat lain yang memiliki karakteristik berbeda dengan qiraat biasa. Dalam membaca nash Al qur'an Abu hanifah lebih sering menggunakan riwayat Ibn mas'ud, sehingga memunculkan hasil hukum yang berbeda dalam beristimbath. Salah satu contoh adalah lafal faqtha'u aidiyahuma dalam riwayat biasa yang menghukum potong tangan pencuri sampai ketiga kali. Hal ini disebabkan lafal yad dalam ayat potong tangan mencakup kanan dan kiri sehingga mengakibatkan seorang pencuri wajib di potong tangan kirinya ketiga kalinya ketika melakukan kegiatan yang sama. Berbeda dengan abu hanifah yang meniadakan potong tangan kiri ketika seseorang mencuri untuk ketiga kalinya. Abu hanifah mengambil hukum tersebut berdasarkan riwayat Ibn mas'ud yang mengganti lafal yad dengan lafal ayman. Abu hanifah menterjemahkan lafal ayman dengan tangan kanan. Abu hanifah mempossikan ayat masyhuroh sebagai muqoyyid riwayat ibn mas'ud. Hasil taqyid tersebut mengakibatkan kewajiban potong tangan hanya tercakup pada anggota pada tangan kanan. Abu hanifah pada dasarnya tidak mewajibkan potong kaki kiri pada pencuri berdasarka riwayat di atas. Adapun kewajiban potong kaki kiri menurutnya diikutkan dari kemujmalan riwayat masyhuroh yang mencakup kewajiban potong pada kaki seorang pencuri.

b.Hadis

Hadis Rasulullah SAW sebagaimana yang kita ketahui terdiri dari ucapan, perbuatan, dan ketetapan. Kedudukan hadis terbagi menjadi mutawatir dan ahad. Sebagian Ulama' mengklasifikasi hadis menjadi tiga bagian mutawatir, masyhur dan ahad. Abu hanifah memposisikan hadis mutawatir sebagaiman Ulama' lain yang menerima hadis mutawatir tanpa ada qoyyid dan syarat khusus. Kedudukan hadis masyhur (hadis yang diriwayatkan satu orang kemudian diterima sebagian besar kaum muslimin) sebagaimana hadis mutawatir yang mungkin untuk dijadikan hujjah dalam mengambil keputusan hukum. Bahkan sebagian pengikut hanafiyyah menyatakan bahwa riwayat ibn mas'ud yang di terima abu hanifah termasuk riwayat masyhuroh dan tidak mencapai derajat mutawatir. Hal ini berbeda dengan riwayat hafsh yang biasa kita amalkan, karena seluruh Ulama' mendudukkan riwayat tersebut ke derajat mutawatir.

Abu hanifah mempunyai sikap yang berbeda atas hadis ahad daripada dua hadis di atas. Jika Imam malik dan syafi'i menerima hadis ahad sesuai dengan kualitas perawi (apalagi syafi'i yang menerima semua hadis yang diriwayatkan sa'id ibn musayab), maka abu hanifah mengajukan dua syarat khusus atas hadis ahad sehingga mampu dijadikan hujjah. Syarat tersebut meliputi dua bagian, syarat yang harus melekat pada diri seorang rawi berupa islam, berakal, dlobth, dan adalah, dan syarat yang lebih ditujukan pada substansi hadis :

-Kandungan hadis ahad tidak bertentangan dengan sumber-sumber lain yang di akui kehujjiyahannya semisal Al qur'an, hadis mutawatir dan hadis masyhur. Banyak sekali hadis-hadis ahad dengan status sohih yang mendapat label tersebut dari sebagian cendekiawan muslim di dlo'ifkan abu hanifah dengan alasan diatas. Salah satunya adalah hadis yang menerangkan tashriyah (seorang penjual susu kambing sebelum menjual hasil produksinya ke pasaran, terlebih dahulu di simpan dengan jangka waktu yang tepat sehingga muncul anggapan bahwa hasil produksi tersebut bermutu tinggi). Hadis tersebut di tolak dengan tegas karena bertentangan dengan kandungan nash yang secara umum menerangkan ketidakbolehan seseorang mendapatkan hasil yang tidak sesuai dengan pengeluarannya.

-.Perawi hadis ahad tidak melakukan dan memberi fatwa yang bertentangan dengan hadis tersebut. Salah satu hadis yang menjadi korban pemikirannya adalah hadis “ laa nikaha illa bi waliyyin . . . “, karena perawi hadis yaitu sayyidah aisyah tidak mengamalkan hadis ini ketika menikahkan anak saudaranya (abdurrahman bin abu bakr) tanpa sepengetahuan abdurrahman.

-.Perawi hadis tidak mengingkari hadis yang telah diriwayatkannya. Pada satu hadis yang berbunyi “ayyuma imra'atin nakahat bi ghairi idzni waliyyiha fa nikahuha baatil”. Abu hanifah menolak hadis tersebut karena diriwayatkan Al zuhry. Pada suatu hari Ibn juraih menanyakan hadis tersebut pada Al zuhry, akan tetapi hadis tersebut tidak di akui dan di ingkari keberadaannya. Imam Syafi'i dan muhammad bin hasan Al syaibani (murid abu hanifah ) dengan tegas menolak pendapat abu hanifah karena sangat dimungkinkan seorang rawi meriwayatkan sebuah hadis kemudian melupakannya.

-.Kandungan hadis tidak bertentangan keadaan yang sudah di terima masyarakat umum. Abu hanifah menilai adat yang sudah terjadi sejak zaman rasulullah SAW dan berlaku sampai sekarang merupakan keadaan yang sudah paten dan tidak mungkin berubah hanya dengan satu riwayat meskipun berasal dari seseorang yang di anggap tsiqoh. Dengan pendirian ini abu hanifah menolak hadis abu hurairah yang menerangkan bahwa Rasulullah SAW mengeraskan bacaan basmalah saat pertama kali membaca fatihah di dalam salat.

c.Ijma'

Ijma' secara umum dapat di katakan sebagai kesepakatan Ulama' pada masa tertentu atas permasalahan yang sedang terjadi. Secara khusus Abu hanifah tidak memberikan uraian secara langsung mengenai pendapatnya tentang ijma'. Akan tetapi Dr Baltaji mengambil kesimpulan bahwa Abu hanifah mengakui dan menerima kehujjiyahan ijma'. Salah satu faktor yang menjadi kesimpulannya adalah muncul kenyataan bahwa abu hanifah lebih menggunakan hasil keputusan yang disepakati para sahabat daripada qiyas yang menjadi sudah patokannya dalam beristimbath.

d.qiyas

Abu hanifah termasuk orang yang paling sering menggunakan qiyas dan akal dalam membuat keputusan hukum. Bahkan timbul sebagian anggapan orang bahwa abu hanifah membangun rumah manhajnya di atas qiyas. Pendapat tesebut mungkin akan dibenarkan sebagian orang karena banyak sekali hasil keputusan abu hanifah yang bertentangan dengan nash-nash hadis yang sudah mendapat label sohih dari sebagian besar Ulama'.

Qiyas yang biasa kita pahami adalah mengembalikan hukum permasalahan baru ke hukum yang telah ada dengan sebuah 'illat yang menyatukan keduanya akan di pakai abu hanifah manakala tidak menemukan jawaban yang sudah ada dalam nash. Bahkan Abu hanifah sendiri tidak akan memakai qiyas ketika menemukan hadis yang dia anggap sohih. Salah satu ucapannya berbunyi “kencing di masjid menurutku lebih baik daripada melakukan qiyas”.

2 Membuka lembaran konsep tak baku.

a.Qoul sahaby

Para sahabat sejak zaman Rasulullah SAW sering berijtihad atas kasus yang mereka temukan secara langsung tanpa kehadiran Rasul. Banyak sekali hadis yang meriwayatkan perbedaan sahabat dalam menentukan hukum sebelum mengembalikan keputusan final ke tangan Rasul SAW. Sampai zaman khulafa'urrasyidin banyak sekali perbedaan pendapat di antara sahabat yang berimbas pada munculnya dua produk hukum berbeda.

Abu hanifah termasuk orang yang suka berpegang pada qoul sahaby saat tidak menemukan rujukan dari Al qur'an maupun hadis, bahkan saat muncul dua keputusan di antara sahabat maka akan memilih keputusan tersebut tanpa melirik standarisasi qiyas yang biasa di gunakan.

Pernyataan di atas mendapat bantahan keras dari Al bazdawi yang menganggap Abu hanifah pada satu kasus lebih menggunakan qiyas daripada qoul sahaby. Al bazdawi memberikan bukti konkrit dari pernyataannya. Salah satunya dengan pendapat abu hanifah yang menyamakan wanita hamil pada saat di thalaq dengan anak kecil dan wanita lanjut usia.

b.Istihsan

Banyak sekali pemahaman istihsan yang di lontarkan cendekiawan muslim. Pemahaman tersebut kebanyakan dilontarkan ashab hanafiyah, imam malik dan pengikut-pengikutnya. Di antara mereka muncul sebagian orang yang mencoba mendeskripsikan pemahaman istihsan versi abu hanifah karena selama hidupnya tidak membuat konsep tersebut secara langsung.

Dr baltaji kemudian menyimpulkan beberapa konsep penting yang di usung Abu hanifah dalam beristihsan

-Tidak mengambil hukum dari qiyas kalau muncul hadis sohih dari rasul.

-Menggunakan pendapat yang bersumber dari ucapan, perbuatan maupun ijma' sahabat walaupun di temukan celah dalam melakukan qiyas.

-'Urf yang telah ada harus dijadikan rujukan ketika dihadapkan dengan masalah yang memberi peluang dalam berqiyas.

-Maslahat harus selalu dikedepankan meskipun bertentangan dengan qiyas. Satu contoh sebagaimana pernyataannya yang membolehkan seseorang duduk di tengah-tengah salat. Pendapat tersebut berbeda dengan abu yusuf dan Muhammad yang mengharamkannya.

c.'Urf, istishab, sadd adzdzara'i dan syar' man qablana.

Di atas telah di kemukakan tentang konsep abu hanifah yang lebih mendahulukan 'Urf ketika bertabrakan dengan qiyas. Posisi tersebut diletakkan di bawah As sunnah dan qoul sahaby. Pendapat abu hanifah di amini murid-muridnya yang menggunakan jalan ini ketika tidak ada sumber nash dan tidak bertentangan dengan nash.

Semua imam empat madzhab setuju tentang penggunaan istishab. Tetapi semuanya berbeda tentang kapasitas penggunaannya. Imam Syafi'i dan Ahmad termasuk orang yang sering menggunakan perangkat ini. Kemudian di susul Malik dan Abu hanifah.

Sadd adzdzara'i diartikan sebagai upaya menghalangi seseorang agar terhindar dari keharaman. Abu hanifah pada saat tertentu juga menggunakan konsep ini dalam mengambil keputusan hukum. Tetapi Abu hanifah lebih sering menggunakan qiyas ketika dua perangkat tersebut ta'arudl.

Sangat sedikit sekali Ulama' yang mengakui kehujjiyahan syar' man qablana. Literatur yang telah ada sampai saat ini belum ada yang menunjukkan prinsip Abu hanifah tentang perangkat tersebut. Kemudian setelah abu yusuf dan Muhammad meninggal dunia, mulailah pengikut hanafiyyah membuat penetapan dengan membuat pengakuan sebagai pegangan selama tidak ada hukum baru yang mengganti kedudukan hukum lama.

Abu hanifah memiliki karakteristik berbeda dengan imam lain. Salah satu hal yang mencolok adalah penggunaan khilah yang sudah keluar dari maqasid al syari'ah. Selain itu abu hanifah termasuk orang yang suka membahas masalah iftiradli dan keluar dari realita yang ada.

C. Penutup.

Islam menjamin kebebasan berpikir dan berpendapat. Ulama' masa dulu telah membuktikan bagaimana kebebasan tersebut mampu mendorong mereka membuka lembaran baru yang menjadi dokumentasi generasi sesudahnya. Setiap orang yang mengikuti sejarah Islam akan menyaksikan dengan jelas bahwa para imam-imam madzhab zaman dahulu benar benar mengerahkan segala kemampuan dan kekuatan mereka untuk berfikir dan menuangkan tinta pemikiran mereka.

Akan tetapi kebebasan tersebut agak memudar setelah runtuhnya dinasti abbasiyah. Apalagi setelah muncul sebagian orang yang memproklamirkan tertutupnya pintu ijtihad. Semoga tulisan ini mampu mendorong kita untuk mengikuti jejak pendahulu kita yang tertinggal berabad-abad lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar