Rabu, 07 Januari 2009

KAMAR KANG SANTRI

MENEROPONG SEPERCIK PERJALANAN QIRA'AH

Sudah bukan menjadi rahasia lagi kalau hampir semua orang di dunia ini membaca al Qur'an dengan satu riwayat saja hafs an ashim, terkecuali libya yang eksis dengan qolun an nafi' dan Maroko melalui warsy 'an nafi'. Perbedaan yang terjadi di antara imam kemudian disebut qira'ah. Sebagian orang menyangka sosok Hasan Bashri (110 H.) menjadi tonggak pertama kali dalam penanaman benih qira'at. Namun, pada dasarnya para Sahabat yang rajin menyebarkan agama Islam ke penjuru negeri punya andil besar saat munculnya wacana ini. Imam al-Dzahabi juga ikut memberi sumbangsih tersendiri dalam bukunya "al-Qurra' al-Kibar". Dalam karyanya ini secara lanjut mengklasifikasi qira'ah para ulama periode Sahabat. Menurut beliau dari berbagai riwayat dapat diklasifikasikan menjadi tujuh orang Sahabat masuk ke dalam tingkatan pertama. Mereka adalah Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, Ubay ibn Ka'ab, Abdullah ibn Mas'ud, Zaid ibn Tsabit, Abu Musa al-Asy'ari, Abu Darda'. Semua Sahabat di atas mempunyai edisi khusus dalam mushaf mereka meskipun pada akhirnya harus menjadikan mushaf Utsmani sebagai otoritas tertinggi. Semasa hidup mereka banyak sekali aktifitas-aktifitas positif yang dilakukan. Diantaranya mengajarkan bacaan al-Quran yang saling berbeda satu dengan yang lain. Sebut saja Abdullah ibn Mas'ud sebagai salah satu punggawa qira'ah yang kemudian diikuti oleh tiga imam qira'ah yakni 'Ashim, Hamzah dan Kisa'i. Meski berangkat dari background yang tidak berlawanan, namun ketiga tokoh qiraah ini memiliki corak pembacaan yang berbeda, bahkan pada kerangka teoritis terdapat kaidah khusus pada satu imam. Di Syam (Siria) Abu Darda' juga mengajarkan warna bacaan lain ke Ibnu 'Amir, yang digolongkan Imam Suyuthi ke dalam tingkatan paling tinggi di jajaran pembawa sanad.

Menjamurnya berbagai macam aliran maupun kehadiran orang-orang zindiq menimbulkan kehawatiran sebagian golongan. Golongan ini disinyalir lahir pertama kali dari sepak terjang Abdullah bin Saba'. Tidak salah kemudian pada akhirnya memicu lahirnya aturan baku. Aturan ini dikoarkan oleh dua sosok yang sangat berpengaruh pada masa itu. Mereka muncul tidak lama sesudah madrasah Hasan Basri berdiri. Pertama, Sibawaih (wafat 136 H.) beliau adalah pakar Ilmu nahwu yang mengesahkan qira'ah dengan kriteria ulama Basrah. Kedua, Abu Abid (wafat 223/224 H.) dan Abu Hamid al-Sijistani (wafat 248/255 H.). Secara bersamaan mereka mensyaratkan kebenaran qira'ah dengan menggunakan tiga perangkat, tidak terdapat cacat dalam pemakaian secara bahasa, mengikuti aturan mushaf utsmani, dan adanya konsensus masyarakat umum pada penerimaan qiraat tersebut yang cukup diwakili dominasi cendekiawan dengan kredibilitas serta kapabilitas tinggi. Periode setelahnya muncul Abu Bakar ibn Muqsim (wafat 354 H.). Hampir semua masyarakat umum menerima tiga syarat di atas, terkecuali Ibn muqsim. Pada saat itu dengan tegas menerima semua qira'at yang berstandar mushaf utsmani dan benar secara lughat (dua syarat pertama abu abid dan abu hamid). Atas pemikirannya yang terlalu berani pd th 322 Ibnu Muqsim dipanggil raja karena bacaannya yang tidak dibenarkan sebagian besar fuqaha' dan qurra'. Akan tetapi menjelang kematiannya ibn muqsim mencabut sumber kontroversi di atas dan kembali ke qira'ah biasa. Setelah Ibnu Muqsim meninggal Ibnu Makki (437 H.) menggagas tiga syarat baru yang menjadi klaim kebenaran qira'ah. Dua syarat pertama memiliki persamaan dengan pengajuan Abu Abid dan Abu Hamid. Adapun corak ketiga mempunyai kemiripan dengan penerimaan Hadis Shahih, yaitu diriwayatkan dari perawi tsiqah serta bersambung sampai ke Rasulullah Saw. Pada masa ini pula muncul pembagian qira'ah Masyhur dan Syadz, Mu'taraf versus Ghairu Mu'taraf. Pembagian tersebut sangat mungkin menjadi tonggak lahirnya unifikasi qira'at oleh Ibnu Mujahid (324 H.).

Abad kelima dan keenam menjadi periode munculnya proses belajar mengajar ilmu qira'ah secara tersistem. Adalah ibn Mujahid yang kemudian mengenalkan pembelajaran riwayat tiap qira'ah serta karakteristik pengucapannya. Tidak begitu lama lahirlah Imam Syathibi (590 H.) dengan magnum opus-nya "hirz al amani wa wajh al tihani" membuat rumusan ilmu qira'at secara sistematis. Saat mengajar Syathibi menyuruh murid-muridnya mengkhatamkan al-Quran minimal tiga kali. Dua kali khataman membaca dua perawi Imam. Khataman ketiga menggabungkan dua perawi tersebut. Sebelum Syathibi banyak bermunculan para Qori' dengan kuantitas lebih banyak saat membaca al-Quran. Imam al-Wahidi (468 H.) misalnya belajar qira'ah dengan jumlah tidak terhitung generasi sesudahnya. Itupun belum mampu menguras semua pengetahuan qira'at Ibn Mahran (w 381). Ibn al jazari menghitung thoriqoh periwayatan Ibn Mahran yang berhasil terdeteksi dalam pencapaian empat muridnya mencapai empat puluh limaHafs 'an'Asim ibn Mujahid membaca al-Quran secara sempurna berulang-ulang ke al-Husory dan al-Wahidy. Tampaknya apa yang telah terjadi di atas menjadi inspirasi tersendiri dalam pembakuan jalan periwayatan. Delapan riwayat di ketahui berasal dari Ibn syanabudz . Ibn mujahid mengambil tiga thoriqoh. Al-Naqqasy meriwayatkan tiga jalur. Abu Bakr al-Munaqqi memperoleh enam jalan dengan satu jalan sama dengan tiga perawi di atas. Senada dengan al-Wahidi, al-Husory (488 H.) yang menjadi salah satu guru Ibnu Mujahid saat belajar juga harus mengkhatamkan tujuh puluh kali. Pun pada Ibnu Mujahid. Dengan membaca riwayat variasi qira'ah secara sistematis.

Meskipun tindakan Ibn Mujahid mempunyai nilai plus, bahkan hampir di seluruh dunia saat ini menerapkan, tetapi pada tataran praksis Ibn Mujahid melakukan tindakan baru dan belum penah terjadi pada periode sebelumnya. Ibn Aby laila (w 148) misalnya, tidak langsung menyalahkan muridnya saat membaca karena seorang murid terkadang memakai riwayat masyhur lain. Begitu juga Nafi'. Seringkali saat mengajar al-Quran memberi kemudahan pada murid-muridnya untuk memilih wajah qira'at yang pernah di dengarnya. Hal senada juga terjadi pada Imam qira'ah lain, karena pada prinsipnya tujuan mereka hanyalah mengajarkan al-Quran.

Pengaruh Ibnu Mujahid sebagai seorang panutan pada akhirnya menetapkan tujuh qira'ah Masyhur sebagai otoritas tertinggi di antara warna qira'ah yang ada. Meskipun tindakan tersebut banyak ditentang ulama'-ulama' lain. Pemetaan pada tujuh qira'ah meliputi tujuh Imam plus dua perawi. Nafi' (Ibn 'Abdurrahman ibn Abi Na'im (169 H.) sebagai guru besar di Madinah mengesahkan Qolun; Abu Musa, Isa ibn Mina (220 H.) dan Warsy; Utsman ibn Sa'id al-Qibthi (197 H.) sebagai perawinya. Abdullah ibn Katsir al-Makki (120 H.) menurunkan qira'ah-nya ke Ahmad ibn Muhammad ibn 'Abdullah al-Bazzi (250 H.) dan Qunbul; Muhammad ibn Abdurrahman al-Makhzumi (291 H.). Abu 'Amr al-Bashri, salah satu qori' yang terkenal dengan idghom kabir mempunyai murid Abu 'Amr Hafs ibn Umar al-Duri (246 H.) dan Abu Syu'aib Soleh ibn Ziyad al-Susy (261 H.) sekaligus menjadi perawi. Hisyam ibn 'Amr (245 H.) dan Ibnu Dzakwan; 'Abu 'Amr Abdullah ibn Ahmad (245 H.) sebagai murid juga menjadi perawi Abdullah Ibn 'Amir (118 H.). Syu'bah ibn 'Ayyasy ibn Salim (193 H.) serta Abu 'Amr Hafs ibn Sulaiman (180 H.) dengan bacaannya yang dipakai seantero dunia saat ini meneruskan perjuangan 'Ashim dalam menyebarkan ilmu al-Quran. Hamzah ibn Habib al-Kufi (156 H.) memberikan otoritas qira'at ke Khalaf ibn Hisyam al-Bazzar (229 H.) maupun Khalad ibn Khalid (220 H.). Dan terakhir Ali ibn Hamzah al-Kisa'i (189 H.) memiliki dua perawi, yaitu Abu al-Harits (240 H.) serta al-Duri (perawi Abu 'Amr).

Syathibi kemudian membuat metodologi secara sistematis tentang kaidah yang dianut tujuh imam di atas. Semua tertulis dalam bukunya. Secara umum kandungan buku tersebut berisi dua pokok pembahasan. Pertama, kaidah yang diusung para Imam secara umum, meliputi idghom, mad, qosr, dua hamzah di satu kalimat maupun dua kalimat, memindah harakat hamzah ke lafal sebelumnya, waqaf, imalah, tarqiq dan taqlil. Kedua, perbedaan huruf. Pembahasan ini mencakup hampir seperempat isi kitab. Di dalamnya dikupas mulai surat al-Baqarah sampai surat"Al durrah Al Mudli'ah". Dalam karangannya al-Jaziri mengupas tiga Imam Qira'at selain tujuh di atas. Abu Ja'far; Yazid bin Al qa'qa' al makhzumi (128 H.) dengan perawi 'Isa ibn wardan (160 H.) serta Ibnu Jammaz; Sulaiman bin Muslim Al zuhri (170 H.). Ya'qub (205 H.) yang menjadikan Ruwais; Abu 'Abdillah Muhammad bin al-Mutawakkil (238 H.) dan ruh; 'Abu al Hasan bin 'Abd al-Mu'min (234/235 H.) sebagai perawi. Dan terakhir Abu Ya'qub Ishaq bin Ibrahim bin Utsman (286 H.) yang disandingkan Abu Hasan Idris bin 'Abdul al-Nass. Wewenang Ibnu Mujahid dalam membatasi tujuh qira'at di atas tampaknya di tentang Abu Syamah (665 H.). Senada dengan Abu Syamah, Al Jaziri juga (833 H.) menegaskan bahwa tiap variasi bacaan yang sama dengan kaidah bahasa Arab, tidak menyalahi aturan dengan mushaf Utsmani dan memiliki mata rantai sanad secara sah ke Rasulullah menjadi bacaan yang tidak boleh di tolak dan di ingkari. Salah satu pembuktiannya al-Jaziri juga mengikuti jejak al-Syathibi dengan menerbitkan tulisan berjudul Karim (292 H.). Keduanya menjadi perawi Khalaf (salah satu perawi Hamzah Imam Qira'at tujuh). Dengan berbentuk sya'ir al-Jaziri membuat sistematika penulisan yang hampir sama dengan al-Syathibi. Meskipun waktu terus berlalu namun telaah mengenai kajian ini sampai sekarang tampak tidak usang. Terbukti dengan menjamurnya ma'had-ma'had qiraah di seantero dunia.

Wallahu a'lamu bi al sawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar